Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Ini buku kedua dari Eka Kurniawan yang SELESAI saya baca tanpa drama. Buku pertama yang saya baca dengan serius berjudul O, Tentang Seekor Monyet yang InginMenikahi Kaisar Dangdut. Judulnya memang kocak, tapi kisahnya nggak kocak. Sementara Cantik Itu Luka yang fenomenal dan diterjemahkan dalam puluhan bahasa belum mampu saya tamatkan dengan sempurna. Tidak saya baca dengan detil. Sebagai bentuk keinginan untuk membaca Cantik Itu Luka, saya membeli edisi 20 tahun novel itu dengan hard cover dan gambar berwarna tosca.

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas saya beli sekitar empat tahun lalu dari toko buku daring teman. Sesama bookstagram yang belakangan hiatus dari aktivitas meresensi buku secara aktif. Selalu ada alasan untuk menolak atau menunda untuk membaca buku ini. Sampai akhirnya ada tantangan dari komunitas Kubu Setengah Tujuh. Membaca buku karya Eka Kurniawan.

Novel Eka Kurniawan
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
[Photo: Ulfa Khairina]


Blurb

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa, dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung memutuskan untuk tidur panjang, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.

Membaca blurb di atas tentu membuat sebuah pertanyaan besar di kepala. Ada apa dengan kedua bocah itu dan bagaimana kelanjutan kisah kedua polisi pemerkosa itu. Saya sempat berpikir bahwa cerita ini tentang perempuan yang membalas dendam atas pemerkosaan itu.

Meski sedikit benar, tapi bukan pembalasan dendam seperti itu yang dimaksud dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ada kisah lain yang terselubung dengan istilah dan pengandaian dan tersembunyi di balik satu kata kunci. Burung. Ya, burung.

Seperti yang dijelaskan di blurb, burung yang dimaksud adalah alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai. Alegori adalah gaya bahasa yang menggunakan kiasan atau penggambaran untuk menyampaikan makna yang abstrak.

Dua Bocah, Dua Polisi, dan Perempuan Sinting

Di usia remaja, dua bocah bernama Ajo Kawir dan Si Tokek mencari jati diri dengan melakukan hal menurut mereka menyenangkan sebagai remaja atau orang dewasa. Mereka suka bereksprimen dengan anugerah Tuhan yang diberikan kepada mereka. Kemaluan dan kemampuan untuk mempergunakannya. Namun di usia mereka yang sangat bocah, siapa yang sudi memberikan gratis?


Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Cover Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
[Photo: Search by Google]

Salah satu jalan yang mereka tempuh untuk menyenangkan masa remaja mereka adalah berfantasi setelah mengintip adegan dewasa di rumah-rumah yang berlubang. Mereka mengintip siapa saja yang membuat mereka penasaran. Sampai akhirnya Si Tokek menemukan satu kesempatan untuk mengintip seorang perempuan sinting bernama Rona Merah.

Dia bukan hanya mengintip kesintingan Rona Merah, dia juga mengintip permainan lain yang dilakukan oleh dua orang polisi dengan tanda di wajah. Keduanya menampilkan permainan yang sangat menyenangkan untuk Si Tokek. Si Tokek tidak mau menikmatinya sendiri, dia mengajak Ajo Kawir yang berakhir petaka.

Saat mengintip dua polisi memperkosa Rona Merah, Ajo Kawir malah ketahuan. Sialnya dia disuruh menonton aksi mereka dibawah ancaman pistol. Ajo Kawir sangat shock. Sejak itu, alat reproduksinya tidak berfungsi.

Berbagai Cara dan Cinta

“... seperti belati berkarat. Tak bisa memakai untuk memotong apa pun. Kita bahkan tak layak untuk membicarakannya.” (halaman 62).

Kondisi Ajo Kawir memang menyedihkan. Dia sudah mencoba berbagai cara untuk membuat burung bangun, sayangnya itu tidak terjadi. Bahkan saking putus asanya dia sempat ingin memotongnya. Untungnya Si Tokek cepat menyadarinya, sehingga tujuan Ajo Kawir tak terlaksana.

Masalah bagi Ajo Kawir saat dia jatuh cinta pada Iteung, gadis yang mengajaknya berkelahi dan menolongnya. Dia mendapat perlakuan yang kasar sekaligus buruk dari Iteung. Sayangnya, Ajo Kawir tidak berani mengambil resiko lebih jauh karena kelemahannya ada pada masa depan yang tidak berfungsi.

Akhirnya mereka memang menikah juga. Iteung tidak peduli soal kelemahan Ajo Kawir. Ajo Kawir pun mencari solusi lain untuk menyenangkan Iteung, tapi Iteung tidak. Dia merasa ada yang hilang dan mencari pelampiasan pada teman seperguruannya. Saat Iteung hamil, dia Ajo Kawir sangat marah. Dia langsung membunuh Si Macan, lelaki yang menjadi buronan selama ini.

Penjara dan Sebuah Perenungan

Setelah membunuh Si Macan, Ajo Kawir masuk penjara. Selama di dalam penjara, dia belajar tentang mesin. Banyak perenungan dan filosofi tentang burung yang tertidur lama dia pelajari di sana. Keluar dari penjara, dia membeli truk dari uang yang diberikan sebagai upah membunuh Si Macan.

Sebagai supir truk, Ajo Kawir menghadapi banyak tantangan di jalan raya. Penjara dan diamnya si burung membuatnya lebih tenang dalam menghadapi semua masalah. Ajo Kawir berubah, dia bukan lagi Ajo Kawir muda yang gampang naik darah dan suka berkelahi.

Ajo Kawir selalu menyimpan foto anak kecil di mobilnya, foto anak Iteung yang bukan benihnya. Anak itu dibesarkan oleh orang tuanya, tapi Iteung mendekam di penjara karena membunuh seseorang.

Dendam Terbalas

Saat Iteung keluar dari penjara, dia mencari dua polisi yang foto dan alamatnya diberikan oleh Paman Gembul, lelaki yang memberi misi membunuh Si Macan pada Ajo Kawir. Iteung keluar dan membalaskan dendam pada dua polisi yang dia anggap menghancurkan kebahagiaannya.

Sayangnya, saat keduanya bertemu dengan pebuh suka cita polisi datang membekuk Iteung kembali. Rindu mereka belum terbalaskan, tapi Iteung harus kembali masuk ke penjara karena membunuh dua polisi. Lucunya, benar kata orang, setelah dua polisi itu mati justru apa yang ditunggu Ajo Kawir dengan sabar justru terjadi.

Alegori Seekor Burung

Meskipun digambarkan dengan jelas dan dipaparkan dengan gamblang tanpa sensor, Eka Kurniawan mencoba menyampaikan kritik melalui buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Bagi pembaca Eka Kurniawan yang menikmati buku ini sebagai cerita, maka akan menemukan kejanggalan dan kevulgaran yang diceritakan dengan transparan.


burung
Eka Kurniawan mengalegorikan burung tidur sebagai keberanian
[Photo: Pexels]


Sebaliknya, jika menyerapi setiap pengistilahan dan pengandaian burung dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas akan menemukan makna lain yang satire dari buku ini. Dalam pemaparannya, Eka Kurniawan memang menyampaikan pengandaian yang tergolong vulgar untuk menggambarkan segala sesuatu yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi.

Makna burung yang memilih tidur panjang juga merujuk kepada sikap atau keputusan yang tepat seringkali tidak bisa langsung dilakukan. Kebiadaban, kesalahan, kebobrokan suatu sistem masyarakat menjadi alasan yang kuat saat otak manusia terkadang tidak berfungsi. Eka Kurniawan menggambarkannya dengan kemaluan sebaggai otak kedua manusia yang lebih banyak bekerja daripada otak itu sendiri.

Pada halaman 126 Eka Kurniawan mengurai melalui sebuah kalimat yang diucapkan oleh Ajo Kawir. Percakapan ini berlangsung dengan Si Bocah, kenek truk yang nyaris dibokong oleh supir truk lain.

“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala.”

Jika membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, kalimat ini ada benarnya. Secara tidak langsung juga mewakili keseluruhan isi dari buku yang bermaksud mengkritik kelakuan manusia.

Posting Komentar

12 Komentar

  1. Ceritanya menarik ya. Tapi bacanya harus dg penuh konsentrasi kyknya. Banyak kalimat yg bikin bingung sepertinya.

    BalasHapus
  2. Novel-novel Eka Kurniawan judul-judulnya selalu antimainstream, berbanding lurus dengan isinya yang out of the box. Apalagi novel Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas ini sampai di-film-kan, bikti kalau isinya ga kaleng-kaleng.
    Kalau saya sendiri suka 'Corat-coret di Toilet', kumpulan cerpen Eka Kurniawan yang isinya memang semenyentrik itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, benar banget. Favorit saya sementara ini O

      Hapus
  3. Harus fokus dan serius nih bacanya, karena banyak kata yang perlu dipahami lebih dalam ya. Banyak yang tersirat gitu kayanya. Tapi, aku juga suka sih karya-karyanya beliau.

    BalasHapus
  4. Iya, Bun. Harus fokus kalau mau langsung paham maknanya. Kadang harus baca ulang paragrafnya juga. Hehehe

    BalasHapus
  5. Waah kalau lihat ulasan ini, agak vulgar ya bahasa yang digunakan oleh Eka Kurniawan ini. Aku belum pernah baca karyanya, tapi aku sering skip novel yang nulis blak-blakan Gini. Cukup 'berani' juga isinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mbak. Isinya cukup blak-blakan. Butuh keberanian untuk memulai membaca bagi yang tidak terbiasa dnegan gaya bahasa vulgar Eka Kurniawan ini.

      Hapus
  6. Saya belum pernah baca karya Eka Kurniawan jadi belum tahu gaya menulisnya, jika menggunakan beberapa kiasan sepertinya harus fokus ya bacanya, maksudnya ceritanya mengajak pembaca untuk berpikir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak seberat yang kita pikirkan kok, Mbak. Cuma kalau mau serius, ya arahnya jugas serius. Hehehe

      Hapus
  7. degub jantungku ikutan sedikit menyala, sebelum mampir kesini menyantap berita mengenaskan yang ada hubungannya dendam. Sedikit agak mereda setelah mengetahui filosofi burung tidur ada maknanya ya ternyata

    BalasHapus
  8. Hahaha, iya, Mbak. Memang Pak Eka kalau nulis suka vulgar, tapi semuanya punya makna. Tergantung nyali siap atau tidak.

    BalasHapus