Halo, Teman Jalan Oliverial!
Kalau kamu orang Aceh, pasti pernah dengar kata rampoe, kan? Ya. rampoe artinya campuran atau beraneka ragam. Biasanya merujuk untuk
benda yang tidak sama. Di sini saya nggak berani menyebut heterogen, ya. Pemaknaannya
bisa kesana kmari ntar.
Sama juga seperti cerita yang ingin saya bagikan
kepada Teman Jalan Oliverial di halaman ini. Kali ini tentang pengalaman
transit di Soekarno Hatta. Kok bisa ada ceritanya? Bisa, dong. Seokarno Hatta
selalu meninggalkan cerita untuk siapa saja yang singgah di sini.
Kalau Teman Jalan Oliverial kali ini bilang, “sudah
berulang kali transit di sini, masih saja nyasar dan ada saja cerita konyolnya.
Ntah apa yang yang ditanam di dasar bandara sampai bikin kita nyasar.”
Nah, lho! Sama. Saya juga setuju dengan Teman Jalan
kali ini. Cerita kita sungguh seperti gulee
rampoe atau gulee pliek. Aneka isi
tapi sangat lezat dinikmati. Semuanya berawal dari kata transit.
Bandara sebagai tempat berbagi cerita [Photo: Pexels] |
Turun Pesawat Jalur Bawah
Sepengalaman saya, cuma maskapai Garuda Indonesia yang
memberi fasilitas keluar melalui pintu depan dan langsung terhubung ke pintu
bandara. Nah, beberapa maskapai lain hanya untuk bangku tertentu saja.
Kebetulan perjalanan kali ini kami terbang dengan Batik Air dan mendapatkan
bangku belakang. Akhirnya kami naik dan turun lewat jalur bawah.
Saya dan dua Teman Jalan langsung ikut arus penumpang
lain. Naik turun tangga pesawat yang sempit dan kadang agak goyang itu. Apalagi
di usia sekarang berat badan saya terasa sekali sudah nggak bersahabat dengan
alam. Goyang sedikit saja, saya mulai overthinking.
Insekyur sendiri dengan situasi.
Begitu tiba di halaman bandara, perasaan jauh lebih
lega. Apalagi kalau sempat selfie dan pose mainstream
dengan latar belakang pesawat. Wah, kapan lagi bisa begini, kan? Dan lucunya
itu nggak cuma dilakukan oleh penerbang perdana. Penumpang yang bolak-balik
naik transportasi mahal ini juga melakukan hal yang sama. Slogannya satu, “setiap
perjalanan punya cerita yang berbeda.”
Tentu saja berbeda. Beda waktunya, baju, senyum. Bahkan
sebelumnya nggak punya uban, kali ini bisa jadi sudah setengah botak. Kalau dulu
wajah mulus dengan skinker andalan, kali ini wajah kusam terlalu stres. Beda banget.
Namun kami tidak berlama-lama berada di sana. Saya
hanya mendapatkan dua jepretan dengan latar tidak estetik alias bukan latar
pesawat. Saya hanya mendapatkan foto dengan tawa terpaksa dan blur. Latar belakangnya
pun para penumpang yang sibuk berfoto.
Bus yang mengantar kami ke gedung tiba. Saya dan Teman
Jalan langsung masuk bus. Duduk di bangku belakang yang ternyata salah sarah. Arah
duduk kami posisi mundur begitu bus mulai bergerak. Untungnya jarak tidak
begitu jauh, sehingga saya masih bisa mempertahankan isi perut yang cuma masuk
roti dan segelas air mineral di pesawat. Alangkah lucunya setelah turun pesawat
lewat jalur bawah malah muntah, kan?
Kerumunan di Tempat Pengambilan Bagasi
Begitu masuk ke dalam gedung bandara Terminal 2, kami
langsung berjalan di lorong mengikuti petunjuk. Perjalanan nggak jauh, kami
langsung ke tempat pengambilan bagasi. Perjalanan yang lumayan panjang dengan
naik turun tangga. sesekali berhenti untuk berfoto, itu semua cukup makan
waktu. Kami tiba di depan tempat pengambilan bagasi saat orang-orang sudah
mulai berkerumun.
Salah satu Teman Jalan saya nggak bawa bagasi. Cukup satu
buah ransel dengan isi komplit, beliau langsung ambil posisi pewe di bangku
panjang sambil main hape. Mengabari istri posisi terkini dan menunggu kami. Sementara
kami berdiri memperhatikan satu persatu koper yang keluar sambil sesekali
bercerita.
Kami juga mengamati kerumunan di tempat pengambilan
bagasi. Baik cara berkomunikasi sampai bahasa tubuh yang dikirimkan sebagai
pesan komunikasi. Ah, ngomongin komunikasi ini bisa panjang banget jadinya.
Di depan saya, ada seorang ibu yang kerempongan dengan
dua anaknya. Dia melakukan perjalanan dengan suami yang bertubuh macho. Si ibu
tampak kesulitan dengan kedua anaknya. Sementara si bapak hanya memegang satu
koper kabin sambil bermain ponsel. Dia sama sekali tidak peka kalau istrinya
butuh bantuan.
Begitu kopernya muncul, si bapak nggak langsung ngeh
kalau itu koper mereka. Dia menunggu perintah sang istri untuk mengambil koper
itu. Mungkin karena terlalu fokus dengan ponsel, dia lupa tugasnya di situ
untuk mengambil bagasi.
Di sisi lain, kami mengamati koper-koper yang bergerak
perlahan. Satu persatu bertemu dengan pemiliknya. Diturunkan, diambil, dan
ditarik meninggalkan area pengambilan bagasi. Kami melakukan hal yang sama. Begitu
koper sudah di tangan masing-masing, kami langsung berbalik arah kembali ke atas.
Transit terkadang tempat yang menyenangkan [Photo: Pexels] |
Sumber Informasi
Sebenarnya kami termasuk golongan yang terlalu percaya
diri. Kami berjalan saja mengikuti insting. Tidak jelas siapa yang mengikuti
apa. Kami hanya berjalan dan terus melangkah sampai disapa oleh petugas.
“Mau kemana, Bu? Ada yang bisa dibantu?” tanya petugas
berseragam itu.
“Mau ke Lombok,” sahut Teman Jalan saya.
“Ganti pesawat atau tidak, Bu?”
“Ya. Ganti pesawat.”
“Pesawat apa, Bu?”
“Garuda Indonesia,” jawab Teman Jalan saya. Ada bangga
dan bingung juga. Kami nggak sadar sudah jalan sejauh ini.
Lantas si petugas mengatakan kalau maskapai Garuda Indonesia
berada di Terminal 3. Kami harus menggunakan transportasi lain untuk sampai ke
Terminal 3.
Sama seperti sebelumnya, kami juga melakukan hal yang
sama. Jalan mengikuti insting dan sesekali melihat petunjuk. Tidak lupa momen
pindah terminal diabadikan oleh Teman Jalan. Soal ini, kebanyakan orang
melakukannya. Bandara Soeta Cengkareng lumayan instagramable, sih.
Setelah lelah berjalan dan mutar sana sini, kami sadar
kehilangan arah lagi. Satu hal yang kurang dari bandara Soeta Cengkareng,
petunjuknya agak kurang mengarah. Petunjuk yang menggantung sebagai sumber
informasi nggak bekerja maksimal sebagai penyampai pesan. Eak! Perkara media komunikasi
lagi.
Kami mendapat petunjuk dari petugas bandara tentang
apa yang harus kami lakukan dan informasi transportasi yang bisa kami pilih. Petugas
juga mengatakan jika kami ingin tiba ke Terminal 3 lebih cepat, kami bisa menumpang
taksi. Akan tetapi harus bayar. Sedangkan kalau mau menggunakan sky line atau shuttle bus, keduanya gratis.
Penerbangan kami nggak terlalu mepet, hanya saja kami
belum melakukan check in secara
daring. Teman Jalan kali ini meminta saya untuk melakukan check in untuk kami bertiga. Saya mengiyakan dan tetap mengikuti
arah sambil terus berjalan.
Kami tiba di depan waiting
room sky line dan menunggu
transportasi pindah terminal tiba. Nggak sampai lima menit yang ditunggu
datang. Beruntung kami mendapat tempat duduk. Saya dan Teman Jalan langsung
duduk sambil mengobrol.
Tiba di Terminal 3, saya dan Teman Jalan langsung
dibuat kacau dengan keramaian Terminal 3. Sekali lagi, petunjuknya terlalu
random. Akhirnya kami mulai celingak celinguk mencari sumber informasi.
Menikmati makanan fast food salah satu yang bisa dilakukan saat transit [Photo: Pexels] |
Pelancong Dari China
Saat di sky
line, kami satu gerbong dengan pelancong dari China. Mereka berbicara
bahasa mandarin dengan logat daerah. Dari logatnya, saya tahu mereka bukan dari
Beijing. Tiga tahun tinggal di Beijing, saya lumayan familiar dengan dialek
Beijing yang mengandung er lebih banyak dari biasanya. Tebakan saya, mereka
berasal dari bagian selatan. Bahasanya mirip Kantonis.
Mereka membahas kebiasaan pedagang dan penjaja jasa di
Indonesia. Sesekali mereka mengobrolkan kebodohan orang Indonesia yang gampang
mereka tipu. Bagian ini saya merasa agak miris, saking nggak enaknya buat
didengar saya memilih pura-pura nggak dengar dan nggak paham. Namun yang
namanya omongan buruk biasanya selalu punya kekuatan lebih gampang dimengerti
dari omongan yang baik.
Pelancong dari China ini berjalan nggak jauh dari kami.
Mereka juga mencari-cari dimana bagian untuk check in dan drop bagasi. Salah satunya bertanya pada saya, “xia mian ma? (di bawah, ya?)”
Rasa percaya diri kami yang tinggi saya wakili dengan
menjawab ya. Kami sama-sama turun dengan menarik koper berisi 10 kilogram
beban. Sampai ke bawah, kami mulai berputar-putar lagi. Pelancong dari China
itu naik lagi ke atas. Dia bertanya pada saya, “cuo le ba (salah, ya?).”
Saya mengangguk lalu bertanya, “qu nar? (kemana?)”
“Shang
mian (ke atas)”
Kami naik ke atas, ke lantai tiga. Ada pintu besar
yang di baliknya menutupi keramaian yang sebenarnya. Keramaian terminal tiga
yang sesungguhnya.
Sambil berjalan di antrian yang dibatasi dengan pita
biru mengikuti bentuk labirin, saya mulai mengeluarkan ponsel. Melakukan check in daring untuk kami bertiga. Boarding pass langsung diterbitkan untuk
kami bertiga juga. Saat di Banda Aceh saya sudah membuatkan grup untuk kami dan
semua informasi saya bagikan ke grup.
Online dan Offline
Apa Bedanya?
Selama mengantri untuk drop bagasi, dalam kepala
masing-masing muncul satu pertanyaan besar. Kami di sini ngapain? Kan sudah check in daring. Boarding pass juga sudah diterbitkan. Toh, pada akhirnya saat kami
drop bagasi kami tetap harus menunjukkan KTP dan kode check in.
Kalau dipikir-pikir check in online ini nggak ada bedanya dengan check in offline. Tetap mengantri dan mengeluarkan administrasi. Sama-sama
bikin repot. Justru kalau nggak punya paket data internet akan lebih repot lagi
rebutan sinyal bandara buat check in.
Secara pribadi, saya melihat ini untuk kemudahan para
petugas bandara, sih. Kerja mereka jadi lebih cepat. Apa yang mereka lakukan
hanya untuk mencetak boarding pass baru
agar mudah ditunjukkan kepada petugas di gate.
Nah, untuk kami bertiga, boarding
pass ini penting untuk pelaporan perjalanan dinas (perjadin) nantinya.
Perasan baru lega setelah berhasil check in, bagasi sudah aman, dan perut
yang tadinya masih aman sudah mulai berontak. Tidak seorangpun dari kami sempat
sarapan pagi. Perjalanan pagi-pagi sekali ternyata lumayan menyita rutinitas
wajib orang Indonesia. Sarapan pagi.
Toilet Wanita
Sebelum memutuskan sarapan pagi merangkap makan siang,
kami harus menggunakan toilet. Saya dan Teman Jalan mencari toilet. Sekali lagi
informasi agak ngeblur, kurang jelas. Sudah tertulis lebar-lebar di sana jika toilet
terletak di depan mata. Namun kami tidak menemukan toilet wanita. Hanya toilet
pria dan area untuk penggantian popok.
Saat meyakinkan diri tempat yang saya tuju nggak
salah. Salah satu pintu area pergantian popok terbuka sedikit. Mata saya
menangkap seorang ibu Asia Timur bertubuh tinggi langsing sedang membersihkan
anaknya.
Saya sungguh takjub saat melihat si ibu hanya
mengangkat bayinya dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengelus bokok si bayi
di wastafel. Ajaibnya si bayi begitu percaya pada kekuatan perlindungan sang
ibu. Dia anteng dan menikmati posisi terbang dengan tubuh setengah telanjang
itu.
Saking takjubnya, saya sampai lupa tujuan utama. Kalau
saja Teman Jalan nggak mengingatkan saya untuk terus mencari, mungkin saja saya
masih terpesona pada pemandangan di depan ruang ganti popok itu.
Setelah berputar-putar sampai ke area penerbangan
internasional, kami berbalik lagi. Tentu setelah mendapatkan informasi dari
petugas kebersihan yang sedang menjalankan tugas di sana. Kami kembali ke area
toilet tadi dan menemukan toilet wanita yang nyempil di antara toilet pria dan
ruang ganti popok. Posisinya hampir nggak kelihatan.
Di dalam toilet wanita sedang ramai. Kelompok jamaah
umrah sedang menggunakan toilet. Saya melihat ada beberapa nenek yang melepas
alas kaki saat memasuki toilet. Kemudian kesulitan untuk membersihkan toilet
yang kurang mengedepankan kearifan lokal.
Antrian menuju toilet lumayan panjang. Biasanya di
Soeta tidak perlu berlama-lama mengantri seperti bandara di Aceh. Usai menggunakan
toilet, kami keluar dan menuju foodcourt terdekat
untuk mengisi perut. Di sinilah isi dompet saya diuji keselamatannya.
Dua Lembar Uang
Soeta
Memang sudah bukan rahasia lagi kalau makan di bandara
itu harus lebih berani mengeluarkan uang. Perhitungan, tapi nggak
itung-itungan. Nah, lho! Konsepnya bagaimana ini? Hahaha.
Saya dan dua Teman Jalan sudah siap dengan ini. Teman
Jalan pertama menawarkan solusi makan di Solaria, katanya pilihannya banyak. Saya
setuju. Sedangkan Teman Jalan satunya lagi memang membawa bekal dari rumah.
Makanan sehat buatan istri.
Setelah memesan dua macam menu tambah satu air, saya
mengeluarkan dua lembar uang soeta untuk masuk meja kasir. Memang tepat sekali
tempatnya berpijak, di bandara Soeta.
Satu yang hal lagi yang saya sukai dari Teman Jalan
kali ini, mereka tidak mengeluh soal mahalnya harga makanan saat makan. Saya pernah
mendengar dari seseorang bahwa mengeluhkan mahalnya makanan di depan hidangan
saat makan akan mengurangi keberkahannya.
Ya, ampun! Untung saja kami makan dengan lahap dan
membahas hal lain yang lebih masuk akal. Sehingga melayangnya dua lembar uang
Soeta itu seperti sudah menjadi kelaziman. Sesuatu yang masuk dompet memang
numpang sebentar.
Petualangan
Sebenarnya
Kami duduk di Solaria lumayan lama. Sampai-sampai
angka sudah menunjukkan waktu Zuhur. Kami bangkit dari duduk dan langsung
menuju ke ruang tunggu di depan gate. Teman
Jalan dan saya bergantian mendirikan shalat dan menjaga bawaan di depan gate. Setelah Teman Jalan laki-laki
kembali, baru kami para wanita menikmati petualangan sebenarnya saat transit.
Menyapa setiap gerai dan melirik apa yang kami suka. Melirik
harga dan mempertimbangkan apa yang ada di sana. Semua kami lakukan dengan
senang hati tanpa beban. Sebagai bookish
addict, saya sangat menikmati silaturahmi dengan buku di gerai Periplus. Harganya,
jangan tanya. Bukan cuma dua lembar uang Soeta, tapi ada yang lima lembar
lebih.
Sejujurnya saya sangat tergoda, tapi berusaha menahan
diri agar tidak khilaf mengeluarkan debit
card apalagi bayar pakai QRIS. Ya, karena hanya dengan dua cara itu rasa
bersalah tidak muncul. Jumlah lembaran Soeta tidak kelihatan berapa yang
berpindah tangan.
0 Komentar