Cerita Rampoe Empat Jam Transit di Cengkareng

 Halo, Teman Jalan Oliverial!

Kalau kamu orang Aceh, pasti pernah dengar kata rampoe, kan? Ya. rampoe artinya campuran atau beraneka ragam. Biasanya merujuk untuk benda yang tidak sama. Di sini saya nggak berani menyebut heterogen, ya. Pemaknaannya bisa kesana kmari ntar.

Sama juga seperti cerita yang ingin saya bagikan kepada Teman Jalan Oliverial di halaman ini. Kali ini tentang pengalaman transit di Soekarno Hatta. Kok bisa ada ceritanya? Bisa, dong. Seokarno Hatta selalu meninggalkan cerita untuk siapa saja yang singgah di sini.

Kalau Teman Jalan Oliverial kali ini bilang, “sudah berulang kali transit di sini, masih saja nyasar dan ada saja cerita konyolnya. Ntah apa yang yang ditanam di dasar bandara sampai bikin kita nyasar.”

Nah, lho! Sama. Saya juga setuju dengan Teman Jalan kali ini. Cerita kita sungguh seperti gulee rampoe atau gulee pliek. Aneka isi tapi sangat lezat dinikmati. Semuanya berawal dari kata transit.

Transit di bandara Cengkareng
Bandara sebagai tempat berbagi cerita
[Photo: Pexels]


Turun Pesawat Jalur Bawah

Sepengalaman saya, cuma maskapai Garuda Indonesia yang memberi fasilitas keluar melalui pintu depan dan langsung terhubung ke pintu bandara. Nah, beberapa maskapai lain hanya untuk bangku tertentu saja. Kebetulan perjalanan kali ini kami terbang dengan Batik Air dan mendapatkan bangku belakang. Akhirnya kami naik dan turun lewat jalur bawah.

Saya dan dua Teman Jalan langsung ikut arus penumpang lain. Naik turun tangga pesawat yang sempit dan kadang agak goyang itu. Apalagi di usia sekarang berat badan saya terasa sekali sudah nggak bersahabat dengan alam. Goyang sedikit saja, saya mulai overthinking. Insekyur sendiri dengan situasi.

Begitu tiba di halaman bandara, perasaan jauh lebih lega. Apalagi kalau sempat selfie dan pose mainstream dengan latar belakang pesawat. Wah, kapan lagi bisa begini, kan? Dan lucunya itu nggak cuma dilakukan oleh penerbang perdana. Penumpang yang bolak-balik naik transportasi mahal ini juga melakukan hal yang sama. Slogannya satu, “setiap perjalanan punya cerita yang berbeda.”

Tentu saja berbeda. Beda waktunya, baju, senyum. Bahkan sebelumnya nggak punya uban, kali ini bisa jadi sudah setengah botak. Kalau dulu wajah mulus dengan skinker andalan, kali ini wajah kusam terlalu stres. Beda banget.

Namun kami tidak berlama-lama berada di sana. Saya hanya mendapatkan dua jepretan dengan latar tidak estetik alias bukan latar pesawat. Saya hanya mendapatkan foto dengan tawa terpaksa dan blur. Latar belakangnya pun para penumpang yang sibuk berfoto.

Bus yang mengantar kami ke gedung tiba. Saya dan Teman Jalan langsung masuk bus. Duduk di bangku belakang yang ternyata salah sarah. Arah duduk kami posisi mundur begitu bus mulai bergerak. Untungnya jarak tidak begitu jauh, sehingga saya masih bisa mempertahankan isi perut yang cuma masuk roti dan segelas air mineral di pesawat. Alangkah lucunya setelah turun pesawat lewat jalur bawah malah muntah, kan?

Kerumunan di Tempat Pengambilan Bagasi

Begitu masuk ke dalam gedung bandara Terminal 2, kami langsung berjalan di lorong mengikuti petunjuk. Perjalanan nggak jauh, kami langsung ke tempat pengambilan bagasi. Perjalanan yang lumayan panjang dengan naik turun tangga. sesekali berhenti untuk berfoto, itu semua cukup makan waktu. Kami tiba di depan tempat pengambilan bagasi saat orang-orang sudah mulai berkerumun.

Salah satu Teman Jalan saya nggak bawa bagasi. Cukup satu buah ransel dengan isi komplit, beliau langsung ambil posisi pewe di bangku panjang sambil main hape. Mengabari istri posisi terkini dan menunggu kami. Sementara kami berdiri memperhatikan satu persatu koper yang keluar sambil sesekali bercerita.

Kami juga mengamati kerumunan di tempat pengambilan bagasi. Baik cara berkomunikasi sampai bahasa tubuh yang dikirimkan sebagai pesan komunikasi. Ah, ngomongin komunikasi ini bisa panjang banget jadinya.

Di depan saya, ada seorang ibu yang kerempongan dengan dua anaknya. Dia melakukan perjalanan dengan suami yang bertubuh macho. Si ibu tampak kesulitan dengan kedua anaknya. Sementara si bapak hanya memegang satu koper kabin sambil bermain ponsel. Dia sama sekali tidak peka kalau istrinya butuh bantuan.

Begitu kopernya muncul, si bapak nggak langsung ngeh kalau itu koper mereka. Dia menunggu perintah sang istri untuk mengambil koper itu. Mungkin karena terlalu fokus dengan ponsel, dia lupa tugasnya di situ untuk mengambil bagasi.

Di sisi lain, kami mengamati koper-koper yang bergerak perlahan. Satu persatu bertemu dengan pemiliknya. Diturunkan, diambil, dan ditarik meninggalkan area pengambilan bagasi. Kami melakukan hal yang sama. Begitu koper sudah di tangan masing-masing, kami langsung berbalik arah kembali ke atas.

Transit di bandara
Transit terkadang tempat yang menyenangkan
[Photo: Pexels]


Sumber Informasi

Sebenarnya kami termasuk golongan yang terlalu percaya diri. Kami berjalan saja mengikuti insting. Tidak jelas siapa yang mengikuti apa. Kami hanya berjalan dan terus melangkah sampai disapa oleh petugas.

“Mau kemana, Bu? Ada yang bisa dibantu?” tanya petugas berseragam itu.

“Mau ke Lombok,” sahut Teman Jalan saya.

“Ganti pesawat atau tidak, Bu?”

“Ya. Ganti pesawat.”

“Pesawat apa, Bu?”

“Garuda Indonesia,” jawab Teman Jalan saya. Ada bangga dan bingung juga. Kami nggak sadar sudah jalan sejauh ini.

Lantas si petugas mengatakan kalau maskapai Garuda Indonesia berada di Terminal 3. Kami harus menggunakan transportasi lain untuk sampai ke Terminal 3.

Sama seperti sebelumnya, kami juga melakukan hal yang sama. Jalan mengikuti insting dan sesekali melihat petunjuk. Tidak lupa momen pindah terminal diabadikan oleh Teman Jalan. Soal ini, kebanyakan orang melakukannya. Bandara Soeta Cengkareng lumayan instagramable, sih.

Setelah lelah berjalan dan mutar sana sini, kami sadar kehilangan arah lagi. Satu hal yang kurang dari bandara Soeta Cengkareng, petunjuknya agak kurang mengarah. Petunjuk yang menggantung sebagai sumber informasi nggak bekerja maksimal sebagai penyampai pesan. Eak! Perkara media komunikasi lagi.

Kami mendapat petunjuk dari petugas bandara tentang apa yang harus kami lakukan dan informasi transportasi yang bisa kami pilih. Petugas juga mengatakan jika kami ingin tiba ke Terminal 3 lebih cepat, kami bisa menumpang taksi. Akan tetapi harus bayar. Sedangkan kalau mau menggunakan sky line atau shuttle bus, keduanya gratis.

Penerbangan kami nggak terlalu mepet, hanya saja kami belum melakukan check in secara daring. Teman Jalan kali ini meminta saya untuk melakukan check in untuk kami bertiga. Saya mengiyakan dan tetap mengikuti arah sambil terus berjalan.

Kami tiba di depan waiting room sky line dan menunggu transportasi pindah terminal tiba. Nggak sampai lima menit yang ditunggu datang. Beruntung kami mendapat tempat duduk. Saya dan Teman Jalan langsung duduk sambil mengobrol.

Tiba di Terminal 3, saya dan Teman Jalan langsung dibuat kacau dengan keramaian Terminal 3. Sekali lagi, petunjuknya terlalu random. Akhirnya kami mulai celingak celinguk mencari sumber informasi.

menikmati transit di Cengkareng
Menikmati makanan fast food salah satu yang bisa dilakukan saat transit
[Photo: Pexels]


Pelancong Dari China

Saat di sky line, kami satu gerbong dengan pelancong dari China. Mereka berbicara bahasa mandarin dengan logat daerah. Dari logatnya, saya tahu mereka bukan dari Beijing. Tiga tahun tinggal di Beijing, saya lumayan familiar dengan dialek Beijing yang mengandung er lebih banyak dari biasanya. Tebakan saya, mereka berasal dari bagian selatan. Bahasanya mirip Kantonis.

Mereka membahas kebiasaan pedagang dan penjaja jasa di Indonesia. Sesekali mereka mengobrolkan kebodohan orang Indonesia yang gampang mereka tipu. Bagian ini saya merasa agak miris, saking nggak enaknya buat didengar saya memilih pura-pura nggak dengar dan nggak paham. Namun yang namanya omongan buruk biasanya selalu punya kekuatan lebih gampang dimengerti dari omongan yang baik.

Pelancong dari China ini berjalan nggak jauh dari kami. Mereka juga mencari-cari dimana bagian untuk check in dan drop bagasi. Salah satunya bertanya pada saya, “xia mian ma? (di bawah, ya?)”

Rasa percaya diri kami yang tinggi saya wakili dengan menjawab ya. Kami sama-sama turun dengan menarik koper berisi 10 kilogram beban. Sampai ke bawah, kami mulai berputar-putar lagi. Pelancong dari China itu naik lagi ke atas. Dia bertanya pada saya, “cuo le ba (salah, ya?).”

Saya mengangguk lalu bertanya, “qu nar? (kemana?)”

“Shang mian (ke atas)”

Kami naik ke atas, ke lantai tiga. Ada pintu besar yang di baliknya menutupi keramaian yang sebenarnya. Keramaian terminal tiga yang sesungguhnya.

Sambil berjalan di antrian yang dibatasi dengan pita biru mengikuti bentuk labirin, saya mulai mengeluarkan ponsel. Melakukan check in daring untuk kami bertiga. Boarding pass langsung diterbitkan untuk kami bertiga juga. Saat di Banda Aceh saya sudah membuatkan grup untuk kami dan semua informasi saya bagikan ke grup.

Online dan Offline Apa Bedanya?

Selama mengantri untuk drop bagasi, dalam kepala masing-masing muncul satu pertanyaan besar. Kami di sini ngapain? Kan sudah check in daring. Boarding pass juga sudah diterbitkan. Toh, pada akhirnya saat kami drop bagasi kami tetap harus menunjukkan KTP dan kode check in.

Kalau dipikir-pikir check in online ini nggak ada bedanya dengan check in offline. Tetap mengantri dan mengeluarkan administrasi. Sama-sama bikin repot. Justru kalau nggak punya paket data internet akan lebih repot lagi rebutan sinyal bandara buat check in.

Secara pribadi, saya melihat ini untuk kemudahan para petugas bandara, sih. Kerja mereka jadi lebih cepat. Apa yang mereka lakukan hanya untuk mencetak boarding pass baru agar mudah ditunjukkan kepada petugas di gate. Nah, untuk kami bertiga, boarding pass ini penting untuk pelaporan perjalanan dinas (perjadin) nantinya.

Perasan baru lega setelah berhasil check in, bagasi sudah aman, dan perut yang tadinya masih aman sudah mulai berontak. Tidak seorangpun dari kami sempat sarapan pagi. Perjalanan pagi-pagi sekali ternyata lumayan menyita rutinitas wajib orang Indonesia. Sarapan pagi.

Toilet Wanita

Sebelum memutuskan sarapan pagi merangkap makan siang, kami harus menggunakan toilet. Saya dan Teman Jalan mencari toilet. Sekali lagi informasi agak ngeblur, kurang jelas. Sudah tertulis lebar-lebar di sana jika toilet terletak di depan mata. Namun kami tidak menemukan toilet wanita. Hanya toilet pria dan area untuk penggantian popok.

Saat meyakinkan diri tempat yang saya tuju nggak salah. Salah satu pintu area pergantian popok terbuka sedikit. Mata saya menangkap seorang ibu Asia Timur bertubuh tinggi langsing sedang membersihkan anaknya.

Saya sungguh takjub saat melihat si ibu hanya mengangkat bayinya dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengelus bokok si bayi di wastafel. Ajaibnya si bayi begitu percaya pada kekuatan perlindungan sang ibu. Dia anteng dan menikmati posisi terbang dengan tubuh setengah telanjang itu.

Saking takjubnya, saya sampai lupa tujuan utama. Kalau saja Teman Jalan nggak mengingatkan saya untuk terus mencari, mungkin saja saya masih terpesona pada pemandangan di depan ruang ganti popok itu.

Setelah berputar-putar sampai ke area penerbangan internasional, kami berbalik lagi. Tentu setelah mendapatkan informasi dari petugas kebersihan yang sedang menjalankan tugas di sana. Kami kembali ke area toilet tadi dan menemukan toilet wanita yang nyempil di antara toilet pria dan ruang ganti popok. Posisinya hampir nggak kelihatan.

Di dalam toilet wanita sedang ramai. Kelompok jamaah umrah sedang menggunakan toilet. Saya melihat ada beberapa nenek yang melepas alas kaki saat memasuki toilet. Kemudian kesulitan untuk membersihkan toilet yang kurang mengedepankan kearifan lokal.

Antrian menuju toilet lumayan panjang. Biasanya di Soeta tidak perlu berlama-lama mengantri seperti bandara di Aceh. Usai menggunakan toilet, kami keluar dan menuju foodcourt terdekat untuk mengisi perut. Di sinilah isi dompet saya diuji keselamatannya.

Dua Lembar Uang Soeta

Memang sudah bukan rahasia lagi kalau makan di bandara itu harus lebih berani mengeluarkan uang. Perhitungan, tapi nggak itung-itungan. Nah, lho! Konsepnya bagaimana ini? Hahaha.

Saya dan dua Teman Jalan sudah siap dengan ini. Teman Jalan pertama menawarkan solusi makan di Solaria, katanya pilihannya banyak. Saya setuju. Sedangkan Teman Jalan satunya lagi memang membawa bekal dari rumah. Makanan sehat buatan istri.

Setelah memesan dua macam menu tambah satu air, saya mengeluarkan dua lembar uang soeta untuk masuk meja kasir. Memang tepat sekali tempatnya berpijak, di bandara Soeta.

Satu yang hal lagi yang saya sukai dari Teman Jalan kali ini, mereka tidak mengeluh soal mahalnya harga makanan saat makan. Saya pernah mendengar dari seseorang bahwa mengeluhkan mahalnya makanan di depan hidangan saat makan akan mengurangi keberkahannya.

Ya, ampun! Untung saja kami makan dengan lahap dan membahas hal lain yang lebih masuk akal. Sehingga melayangnya dua lembar uang Soeta itu seperti sudah menjadi kelaziman. Sesuatu yang masuk dompet memang numpang sebentar.

Petualangan Sebenarnya

Kami duduk di Solaria lumayan lama. Sampai-sampai angka sudah menunjukkan waktu Zuhur. Kami bangkit dari duduk dan langsung menuju ke ruang tunggu di depan gate. Teman Jalan dan saya bergantian mendirikan shalat dan menjaga bawaan di depan gate. Setelah Teman Jalan laki-laki kembali, baru kami para wanita menikmati petualangan sebenarnya saat transit.

Menyapa setiap gerai dan melirik apa yang kami suka. Melirik harga dan mempertimbangkan apa yang ada di sana. Semua kami lakukan dengan senang hati tanpa beban. Sebagai bookish addict, saya sangat menikmati silaturahmi dengan buku di gerai Periplus. Harganya, jangan tanya. Bukan cuma dua lembar uang Soeta, tapi ada yang lima lembar lebih.

Sejujurnya saya sangat tergoda, tapi berusaha menahan diri agar tidak khilaf mengeluarkan debit card apalagi bayar pakai QRIS. Ya, karena hanya dengan dua cara itu rasa bersalah tidak muncul. Jumlah lembaran Soeta tidak kelihatan berapa yang berpindah tangan.

Kami baru berhenti bertualang ketika angka jarum jam sudah mendekati waktu boarding. Saat itu sepatu sandal saya juga mulai terasa agak tidak nyaman. Cerita rampoe empat jam transit di Cengkareng sungguh membuat perjalanan lebih menyenangkan.

Posting Komentar

0 Komentar