Bagi pecinta buku, harga mahal atau murah suatu buku bukanlah halangan untuk tetap membaca. Jika harganya terlal mahal, tentu jumlah buku yang akan dibeli bakal dibatasi. Lalu bagaimana bila kita sedang berada di sebuah kota yang harga bukunya lebih murah dari seporsi makan siang? bukahkah mungkin saja kita akan lupa diri ketika membuka dompet untuk membeli buku?
Begitu jugalah di Beijing. harga buku lebih murah
daripada harga seporsi nasi yang menunya sangat sederhana. Seporsi nasi goreng
telur ayam di kantin muslim paling murah 10 yuan, setara dengan 20 ribu rupiah
kurs saat ini. sementara, buku tebal dalam bahasa Inggris yang dijual di
Indonesia bisa menyita jatah makan seminggu, di Cina bisa dijual setengah dari
porsi nasi goreng.
[Photo: Pexels] |
Saya sempat terkaget-kaget ketika mendengar laoban (bos atau penual) di Beijing
menyebut angka sangat minim tersebut. awalnya saya iseng melihat-lihat
buku-buku yang dipajang di tepi jalan. Teman saya menyarankan untuk membeli buku
pelajaran anak SD untuk meningkakatkan kemampuan bahasa Mandarin saya.
Saya buka-buka saja tanpa semangat. Buku tersebut
tidak terlalu tebal, tapi tidak bisa dikatakan tipis. Di sana tertulis 2 yuan. Kurang
yakin, saya pun bertanya kepada laoban. “Laoban,
duo shao qian? (Berapa harganya?)”
Si laoban menjawab, “dua yuan.” Akhirnya, saya
membeli tiga buku utuk belajar di asrama. Ketika saya berikan 10 yuan, ia tidak
mengembalikan 4 yuan, melainkan 5 yuan. Dia mengatakan, kalau ia memberi diskon
dan bonus karena menjelang festival musim gugur.
Itu bukan kali pertama saya dibuat kaget oleh
penjual buku. Saat pulang dari supermarket di luar kampus pun saya masuk ke
salah satu toko buku. Sebagian besar buku yang dipajang berbahasa mandarin dan
saya tak berminat menyentuhnya sekarang ini. jika ada yang menyajikan dua
bahasa (Inggris-Mandarin) saya putuskan untuk membeli satu.
Saat melihat-lihat, ada novel bagus tampilan dan
judulnya. Berkisah tentang kejadian tragis Natal. Isinya serupa cerita-cerita
mini yang kosa katanya pun mudah dipahami. Teman saya membeli satu. Katanya dia
ingin meningkatkan bahasa Inggrisnya pula.
Saat dia bertanya berapa harga buku tersebut, saya
kaget. Hanya 5 yuan. Saya pastikan lagi, 5 yuan atau 50 yuan. Dia mengangkat
tangan dan menunjukkan angka lima di hadapan saya.
Benar. Hanya 5 yuan. Jika dikalikan dua ribu, buku
sebagus itu berarti hanya 10 ribu. Di Indonesia, semurah-murahnya buku tidak
kurang dari 25 ribu perbuku. Itu pun karya penulis yang tak punya nama dan
biasa saja kualitas kertasnya. Bahkan buku Harry Potter versi bahasa Inggris
atau satu set lengkap (8 buku) harganya Cuma 125 yuan atau seharga 250.000
rupiah saja. sementara di Indonesia saya membeli buku Harry Potter ketujuh
justru lebih mahal dari 1 set buku di Beijing.
Pantas saja ketika berada di subway sering kali
saya lihat anakmuda membaca buku sambil menikmati perjalanannya. Di taman
kampus, di bank, dan beberapa tempat umum ketika memiliki sedikit waktu luang,
pasti banyak orang, terutama anak muda yang membaca buku.
Pemandangan yang berbeda sekali dengan Indonesia,
bahkan di Aceh, daerah yang salah satu kesitimewaannya justru di bidang
pendidikan.
💗💗💗
Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di rubrik Citizen Reporter harian Serambi Indonesia edisi Minggu, 6 Oktober 2013.
0 Komentar