Dear, Olivers! Pernahkah kamu membeli Sepatu baru kemudian menyimpannya untuk waktu yang lama? Lalu terjadi sesuatu dengan sang sepatu yang bikin hati ketar ketir. Duh, kalau kalian pernah mengalami masalah sepatu ini, kita punya cerita yang sama.
Sepatu Sandal Mustard
Kisah
sepatu sandal mustard ini berawal dari teman yang hobi nonton live di toko
orens. Kebetulan dia menemukan promo sepatu dengan harga yang sangat fantastis.
Seratus ribu dapat dua. Wah, gimana nggak menggiurkan coba?
![]() |
Pesawat sebagai transportasi kelas atas [Photo: Pexels] |
Sebagai
orang yang menempatkan sepatu bagian dari kebutuhan harian, harga ini tentu
menggiurkan sekali. Saya langsung bilang yes meskipun nggak suka warna kuning. Ada
beberapa outfit yang matching dipakai dengan sepatu itu. Hm, nggak salah untuk
mencoba keluar dari warna zona aman.
Ternyata
begitu sepatunya sampai, saya suka sekali. Mereknya bukan abal-abal, lho. Biasanya
dari toko resmi sepatu ini harganya nggak kurang dari seratusan. Saya jadi
penasaran apa yang membuat harga sepatu ini murah sekali. Sedikitpun nggak
kepikiran di kepala kalau ini harga cuci gudang. Di dalam kepala saya yang
terpikir ini harga promo atau payday sale.
Begitu
sepatu sampai, saya nggak langsung pakai karena tidak ada pakaian yang matching
untuk dikenakan minggu itu. Maklumlah, selama seminggu itu agenda di kampus
padat merayap. Jadi sepatu hitam dan krem menjadi andalan untuk minggu itu. Sampai
akhirnya saya mendapatkan Surat Tugas ke Lombok menghadiri Konferensi Nasional
Komunikasi Islam (KNKI) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Prodi Komunikasi
Islam (ASKOPIS).
Sepatu
sandal mustard ini langsung masuk ke dalam daftar barang yang harus dibawa. Demi
menghemat tempat, saya putuskan untuk memakai sepatu sandal mustard ini dalam
penerbangan dari Aceh ke Lombok.
Girly Style dan Pindah Terminal
Kata
orang, bukan saya kalau nggak suka mondar mandir. Saya sendiri cukup paham
kalau memakai gaya girly agak kurang cocok buat diri sendiri kalau
melakukan penerbangan jauh. Bagaimanapun girly style cakep di foto, tapi
nggak nyaman diajak jalan.
Perjalanan
ini mulai terasa nggak nyaman saat tiba di bandara Soekarno Hatta. Pesawat Batik
Air yang kami tumpangi mendarat di Terminal 2, sementara kami harus pindah ke
Terminal 3 untuk penerbangan ke Lombok dengan maskapai Garuda Indonesia.
Meskipun
bukan pertama kali di bandara Soekarno Hatta, kami sempat nyasar juga. Setelah pindah
terminal, kami mulai kesana kemari. Mencari ini dan itu. Berfoto di sana dan di
sini. Mengintip toko ini dan toko itu. Akhirnya kami berhenti di depan gate
untuk menunggu penerbangan ke Lombok.
Saya
berhenti karena merasa nggak nyaman untuk jalan, tapi sama sekali nggak
ngelirik ke kaki. Apa yang terjadi dengan kaki saya? Saya tidak tahu.
Ketak Ketok Sepatu Pletak dan Drama Sepatu Baru
Perjalanan
mulai nggak enak saat mendarat di Lombok. Saya mendengar sendiri suara ketak
ketok sepatu pletak yang mulai tercabut. Sepatu itu masih bisa dipakai. Beberapa
orang juga mungkin saja melirik kejanggalan yang saya rasakan, tapi tidak
berkomentar apapun.
![]() |
Sepatu kuning mustard yang hanya dipakai kurang dari tiga jam. [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Saya
sempat berfoto ke tulisan Lombok di bandara Praya. Bahkan sempat menjadi tukang
foto untuk beberapa orang. Sampai akhirnya saat menunggu jemputan ke hotel, panitia
menyuruh saya duduk di bangku yang cukup nyaman. Dalam hati saya berkata, “baik
banget ini panitia. Tahu saja kalau saya lagi lelah.”
Kebaikannya
sangat misterius sampai kami tiba di rumah makan Ayam Taliwang yang katanya terkenal
di Mataram. Kami singgah di sini, lalu makan. Di sinilah kejanggalan itu saya
temukan sendiri. Kaki saya seperti tidak masuk ke dalam sepatu. Saya mengintip
ke bawah.
Omaigat!
Sepatu sudah lepas dari sol. Padahal lambang merek sepatunya masih tercetak
mulus dan baru. Saya bertanya kepada teman seperjalanan, “ada kelihatan toko
sendal nggak di sekitaran sini? Sandal jepit juga boleh.”
Pertanyaan
kenapa langsung meluncur dari mulut-mulut mereka. Saya merespon dengan kata, “Saya
chat, ya.”
Seketika
mereka tertawa. Ngakak.
“Kalau
nggak rusak, nggak ketahuan kalau itu diskon,” kata Bu Ade. Teman seperjalanan
yang juga dosen saya dulu.
“Biar
saya carikan,” kata teman seperjalanan saya yang juga senior. Dia langsung
meninggalkan meja makan dan keluar.
Keramahan Orang Mataram
Tidak
lama kemudian, teman saya menelepon. Katanya dia sudah berada di tempat yang
menjual sandal jepit. Ada banyak ukuran dan warna. Dia bertanya, “Ulfa mau
warna apa dan ukuran apa?”
“Nomor
36 warna bebas, Bang.”
“Nggak
ada ukuran angka. Cuma S, L, dan XL.”
Saya
mulai bingung, tapi tampaknya penjualnya punya ukuran kaki yang sama dengan
saya. Jadi, dia membeli sesuai dengan ukuran kaki saya. Nggak sampai setengah
jam, teman saya kembali ke Rumah Makan Ayam Taliwang dan menenteng sandal jepit
Swallow warna orens.
Alamak!
Saya lupa mengabari jangan beli warna yang mencolok. Melihat tatapan kasihannya
pada saya, hati saya pun ikhlas menerima. Saya memang harus memakainya segera,
tanpa banyak protes.
![]() |
Sandal jepit paling nyaman di segala suasana. [Photo: Pixabays] |
Lantas
teman saya bercerita kalau dia sudah melihat saya agak aneh sejak di bandara. Orang-orang
juga melihat. Apalagi dia sadar kalau sepatu sandal yang saya kenakan ini
memang baru. Kenapa bentuknya jadi aneh.
“Setahu
saya Ulfa nggak begitu kalau pakai sepatu hak tinggi. Nggak pletak pletok,”
katanya. Saya tersenyum saja. Antara malu dan nggak tahu harus berkomentar apa.
Saya
melihat kunci motor di atas meja, “punya siapa, Bang?”
Pertanyaan
saya dijawab dengan gelengan kepala. Dia sendiri tidak tahu siapa pemilik
sepeda motor itu. Katanya dia juga sedang mencari orang yang mencarikan sepeda
motor itu.
Orang
itu begitu saja meminjamkan sepeda motornya kepada teman saya saat beliau
bertanya dimana toko sandal. Tanpa menolak dan berpikir nggak enak, teman saya
langsung menerima sepeda motor itu dan berputar ke sana kemari sekejap untuk
mencari obat dan sandal jepit.
Rencana Tinggal Rencana
Saya
berkata pada teman seperjalanan harus mencari sepatu sport atau kets untuk
perjalanan agak jauh. Ternyata setelah berada di Senggigi, agenda lumayan
padat. Belum lagi tidak ada toko sepatu terdekat. Orang di sana berbelanja ke Mataram.
Akhirnya
rencana hanya tinggal rencana, sampai pulang ke Banda Aceh saya hanya bermodal
sandal jepit. Tanpa peduli soal tatapan orang dan komen di media sosial, saya
tetap memakai sandal jepit. Bahkan setiap foto saya di one day trip semua
dalam kondisi memakai sandal jepit orens.
0 Komentar