Saya cukup excited saat membaca kabar di akun penerbit Buku Republika tentang Asma Nadia yang menerbitkan buku baru. Judulnya memang terkesan copy paste dari novel yang sangat menginspirasi, Assalamualaikum Beijing. Bahkan saya sempat berpikir kalau novel ini merupakan lanjutannya. Ternyata keduanya juga novel yang berbeda.
Tetap saja, saya langsung semangat begitu Buku
Republika mencari book reviewer yang
mau berkolaborasi. Alhamdulillah, tanpa disangka saya juga terpilih menjadi
salah satu dari lima book reviewer yang
mengulas novel Assalamualaikum Baitullah di
akun Instagram. Tentu saja, saya sudah lama sekali merindukan karya Bunda Asma.
Asma Nadia [Photo: suara.com] |
Perkenalan
dengan Bunda Asma Nadia
Saya mengenal Asma Nadia dari majalah Annida saat
masih duduk di bangku Tsanawiyah. Waktu itu pustakawan yang bertugas di sekolah
adalah seorang jilbaber yang bertugas menyortir setiap buku masuk ke sekolah. Tidak
semua buku sesuai untuk anak setara SMP, tapi bukan berarti mereka tidak
memberi solusi. Mereka juga menyediakan buku-buku Islami yang boleh dipinjamkan
kepada murid yang suka membaca. Salah satunya saya. Ya, S-A-Y-A.
Saya suka membaca cerpen-cerpen yang ditulis oleh
Asma Nadia. Bukan hanya menambah pengetahuan keislaman sedikit demi sedikit,
tapi juga kocak. Saya bisa tertawa sendiri membaca deskripsi Bunda Asma yang
menurut saya sangat luar biasa untuk refreshing.
Beban saya sebagai anak sekolahan langsung lenyap setelah membaca
cerpennya.
Saat duduk di kelas tiga Tsanawiyah, saya mulai
mencicil salah satu kumpulan cerpen Bunda Asma Nadia berjudul Kerlip Bintang Diandra. Sehari seribu
rupiah saja di toko buku dan pakaian Islami di dekat kedai orang tua saya. Terkadang, sambil menunggu
waktu pulang bersama Mak ke rumah kami yang berjarak sekitar lima kilometer
dari pasar, saya juga membaca buku-buku Bunda Asma Nadia di kedai.
Bunda
Asma Nadia di Mata Saya
Saya ngefans berat dengan Bunda Asma Nadia karena
cerita-ceritanya. Terbayangkan jika saya menjadi anaknya, saya tentu bangga
sekali memiliki ibu seorang penulis. Namun saya juga bangga dengan Mak yang
memberi kebebasan saya memilih cita-cita. Saat itu saya katakan kepada Mak
kalau saya ingin menjadi penulis seperti Bunda Asma Nadia.
Mak menanggapi dengan kalimat, “katuleh aju. Peu kaneuk tuleh man?
(tulislah saja. Memangnya apa yang mau dituliskan?)”
Sejujurnya saya juga tidah tahu akan menuliskan
apa. Namun saya merasa hal-hal sederhana yang saya alami di sekolah sangat
layak diketahui oleh dunia. Saya harus berbagi cerita masa remaja saya dalam
bentuk buku cerita seperti yang dilakukan oleh Bunda Asma Nadia. Serius, saya
ingin menjadi penulis produktif.
Di mata saya Bunda Asma Nadia sangat keren. Beliau
bisa menyeret kita dalam alur cerita yang berbagai jenis genrenya. Ketika Bunda
Asma bercerita kisah sedih, saya bisa menangis sesenggukan. Ketika Bunda Asma
Nadia bercerita kisah lucu, saya pun bisa terpingkal-pingkal. Saya juga bisa
tersipu malu sata membaca kisah romantis tentang pasangan dan mencari pasangan
dalam kisah cinta yang dibangun oleh Bunda Asma Nadia.
Hidup bisa sebahagia itu hanya dengan berbagi
cerita dengan orang lain. Sebagai pencerita, Bunda Asma Nadia sangat
menginspirasi saya menjalani hidup sebagai pembaca. Lalu saya ingin menjadi
penulis dalam keadaan susah ataupun senang.
Waktu itu yang saya tahu Bunda Asma Nadia hanya
bekerja sebagai penulis. Waktu penuh di rumah untuk mengurus anak dan suami. Meskipun
saya ingin menjadi wanita yang berkarir sukses, saya ingin sukses tanpa
meninggalkan anak dan keluarga. melihat Bunda Asma Nadia bisa melakukannya,
saya yakin bisa melakukannya juga tanpa harus meninggalkan kewajiban saya
sebagai ibu dan istri.
Wow! Saya nggak nyangka di usia belasan sudah
memikirkan masa depan menjalani kehidupan dengan seseorang yang tidak terbayang
siapa. Namun keinginan itu berubah ketika saya sudah duduk di bangku Aliyah. Saya
sudah punya cita-cita serius. Ingin menjadi arsitek sekaligus penulis.
Inspirasi saya tetap Bunda Asma Nadia. Saya ingin
menceritakan kehidupan seorang arsitek dengan detil dalam setiap kisah-kisah
saya. Ternyata saya tidak menjadi arsitek, tapi malah menjadi seorang dosen. Kata
orang, saya juga seorang penulis.
Menabung
Keabadian dan Menginspirasi Orang Lain
Jika banyak seminar kepenulisan dan catatan
tentang dunia menulis mengedepankan penghasilan ratusan juta dari menulis, saya
belum pernah mendengar ini dari Bunda Asma Nadia. Meskipun aplikasi KBM juga
mengedepankan penulis dengan penghasilan jutaan, tapi uang bukan motivasi utama
dalam menulis.
Mungkin sekarang sudah berubah dengan munculnya
istilah writerpreneur. Namun saya
menulis akhirnya lebih kepada misi lain. Menabung keabadian dan menginspirasi
orang lain. Sama seperti yang dilakukan oleh Bunda Asma Nadia pada saya ketika
masih duduk di bangku Tsanawiyah.
Saat ini, ketika orang bertanya berapa ratus juta yang saya dapatkan dari menulis, saya nggak bisa jawab. Karena penghasilan saya memang nggak sampai ratusan juta. Bahkan saya tidak tahu bagaimana rasanya membeli barang besar seperti mobil dari uang hasil menulis.
Ada satu yang bisa saya jaminkan kepada orang-orang yang bertanya apa yang saya rasakan dengan menulis. Sama seperti ketika saya membaca tulisan Bunda Asma Nadia dulu. Menulis membuat kita hidup. Saya merasa lebih hidup dengan menulis. Bahkan saya tidak takut mati. Saya boleh mati dikubur dan dimakan cacing dalam tanah, tapi nama dan karya saya abadi.
0 Komentar