Wush, Wush, Wush

 Saya suka duduk di warung kopi, tapi jarang fokus bisa bekerja di sana. Apalagi kalau itu terkait melepaskan ide. Biasanya saya menggunakan warkop untuk menggunakan fasilitas internet. Apalagi kalau bukan memposting artikel di blog, mengirim tulisan ke media, mengisi portal mengajar, atau sekedar mengirim email dan mengoptimasi media sosial.

Sama seperti akhir Juni 2024, ketika saya datang ke warkop yang namanya sangat meu-Aceh. Ada lima tujuan utama saya datang ke sana. Pertama, memposting sekitar empat artikel ke blog untuk tabungan tugas selama empat hari. Maklumlah, awal Juli selama seminggu saya akan sibuk dengan urusan sidang mahasiswa. Kedua, mentranfer semua data dari laptop HP lama ke G-Drive agar bisa diakses dari laptop Axioo baru saya. Ketiga, menggesek rangka motor yang katanya dekat sekali dengan warkop itu. Keempat, bertemu kaprodi yang rajin ngetem di sana. Sepertinya sah-sah saja kalau saya katakan kantornya sudah di warkop itu dibandingkan di kantor resmi yang jauh masuk ke pelosok hutan sana. Kelima, saya kangen dengan kudapan tradisionalnya yang manis-manis itu. Saat stress, tubuh saya seperti kekurangan gula. Saya butuh yag manis-manis, padahal itu nggak perlu karena saya sudah manis (whuahahahaha!).

Salah satu jenis meja dan kursi di warkop daerah Aceh
[Photo: iStock/Rizal Aiyub]

Hari itu Jumat aktivitas di Aceh lebih pendek karena terpotong shalat Jumat. Aktivitas di pusat pelayanan publik juga sedikit melemah. Saya sadar ini, tapi memang hanya hari Jumat ini saya sedikit lowong. Biasanya setiap Jumat saya berada di perjalanan atau memilih ngebabu di rumah. Hari ini tidak, karena mahasiswa sedang berlomba menuju meja sidang, saya pun harus sedia menerima kedatangan yang mau ujian komprehensif atau bimbingan skripsi.

Laptop saya on sambil posting artikel ke blog, lalu mengunggah data ke drive. Sampai waktu sudah menunjukkan pukul dua belas kurang. Tirai warkop yang dijalankan di sebuah rumah ini mulai ditutup. Satu persatu lelaki mulai meninggalkan warung kopi.

“Perempuan bisa tinggal di dalam nggak?” tanya saya pada Heri, kaprodi di homebase saya mengajar.

“Bisa. Aman, Kak,” katanya. Dia mulai menutup McBook Air barunya, mengemas charger ke dalam pouch, dan merapikan pakaian takwa. “Kakak nggak kemana-mana, kan? Di sini aja,kan?”

“Iya. Di sini saja sampai selesai shalat Jumat. Paling telat pulangnya ntar jam empat,” kata saya. Saya sendiri nggak yakin. Sepertinya nggak masalah kalau saya pulang lebih awal, tapi tidak akan kebablasan sampai pukul lima, karena batas penjemputan anak sampai pukul lima. Butuh waktu lebih kurang setengah jam dari kota ke Ranto Panyang, tempat day care si balita berlokasi.

Heri pergi, tinggallah saya dengan Fahmi. Dia masih bekerja dengan laptopnya, seperti sedang membuat layout buku atau mengedit buku atau sejenisnya. Kami mulai sama-sama fokus. Sesekali saya bertanya padanya. Sampai akhirnya dia juga bangkit dari duduknya dan pergi ke masjid untuk shalat Jumat.

“Wah, kakak jadi sendirian, nih,” kata saya. Entah kenapa ada rasa hilang dan ditinggalkan saat Fahmi mulai berjalan ke arah luar.

“Nggak apa-apa, Kak. Aman, kok. Ada CCTV kalau ada apa-apa. Di ruang VIP juga ada orang,” katanya.

Baiklah. Dalam hati saya berkata, “bukan itu yang saya khawatirkan. Ini sejak tadi ada keriuhan ntah dimana.”

Untuk menghalau semua riuh yang terdengar, saya menyolok earphone ke telinga. Padahal belum tentu juga ada yang saya dengar. Hanya menyumpal saja. Sudah menjadi kebiasaan sejak pulang dari Beijing saya menyumpal telinga di earphone meski tanpa suara. Ini sejenis bahasa nonverbal untuk mengatakan kepada oang-orang kalau saya sedang tidak mau diajak bicara.

Di Aceh, banyak yang tidak paham dengan kode nonverbal ini. Pasti ada saja yang bertanya atau berkomentar, “lagi dengar apa?”

“Lagi nge-zoom, ya.”

“Fokus banget, sih?”

Ya, tujuan saya menyumpal telinga dengan earphone memang agar lebih fokus. Berbeda dengan siang hari ini. Saya ingin mengalihkan dari sesuatu. Meyumpal telinga dari kebisingan dunia lain ternyata tidak mempan. Akhirnya saya mencari satu album lagu di YouTube. Bermula dari original soundtrack dracin sampai lagu-lagu barat yang sedang viral menjadi backsound di Instagram. Keriuhan masih terdengar seperti layaknya keramaian di warung kopi pada umumnya. Aneh!.

Ngopi dan bekerja di warkop sudah menjadi bagian
dari masyarakat Aceh.
[Photo: Pexels/Engin Akyurt] 

Saya yang mulai merasa terganggu tidak tahu harus berbuat apa. Tangan saya tetap begerak, menari di atas keyboard, menggulirkan mouse, sampai akhirnya saya menyerah. Kudapan favorit yang terhidang di atas meja tidak lagi mengundang selera. Lapar pun tidak.

Pertanyaan Magis

“Kamu kenapa? Santai saja.” Jantung saya berdegup kencang ketika sebuah suara sayup tapi jelas terdengar di telinga. Suara seorang lelaki, agak muda, dan perhatian.

Reflek saya menoleh ke belakang dan hanya menemukan dinding bercat putih kusam di belakang. Ada kulkas yang nyaris kosong juga di sana. Selain kopi botolan dan lemon dengan kulit kuning cerah, tidak ada apa-apa lagi di sana. Saya memastikan dari mana suara itu berasal. Berharap di balik dinding ada orang yang duduk di sana, tapi ini Jumat. Semalas-malasnya orang ke masjid, mereka nggak akan pamer tampang di luar rumah.

“Salam kenal, ya,” suara itu terdengar lagi. kali ini seperti angin yang bertiup di tengkuk. Wush, wush, wush.

Aduh, sudah nggak wajar ini. Kenapa pula minta kenalan pada saya. Saya berusaha mengarahkan pikiran pada folder-folder di laptop yang diunggah ke G-Drive. Fokus pada foto-foto yang saya sisipkan ke dalam artikel travel untuk ditayangkan. Telapak tangan saya berkeringat ketika mengarahkan mouse ke satu playlist lagu pop barat populer.

“Mereka juga ingin kenalan. Kamu sedang sibuk,” bisikan itu terdengar lagi. masih di tengah keriuhan warung kopi yang tidak tampak. Saya mulai mempertanyakan diri saya.

Ah, ini pasti halusinasi akibat membaca novel Mintajiwa yang akan saya review. Bagian fantasi yang menceritakan Amintajiwa yang diangkat menjadi putri mahkota memang terlalu manis untuk dilogika. Saya melepas earphone, menyalahkan benda kecil berwarna mint itu sebagai masalah utama. Sejak membeli tiga tahun lalu di Miniso, saya memang nggak pernah memakainya. Baru sekali pakai hari ini.

Tanpa earphone pun saya masih mendengar keriuhan itu. Lengkap dengan suara wush, wush, wush di dekat saya. Ini udah nggak benar, saya harus pindah posisi.

Saya bangkit dari kursi, tapi berat. Seperti ada yang menahan. Bahkan kaki seperti terkunci di lantai. Saat itu pula saya mendengar kalimat yang mengerikan, “jangan pindah. Lelaki di depan sana tidak bersahabat. Di sini saja, ada aku.”

Mamaaaakkkk!! Saya mau pulang. Saya nggak melihat siapapun di ruangan ini. Lelaki mana yang dimaksud. Apa pula dia sok romantis berbisik-bisik.

“Mau berapa lama di sini? Aku mau kerja!” akhirnya saya bergumam tanpa bisa mengendalikan diri sendiri. Sejujurnya saya lebih takut manusia yang tiba-tiba menyelinap ke warkop di saat sepi begini daripada hantu menggoda. Katanya butuh usaha kuat dan ilmu yang tidak lemah untuk berinteraksi dengan manusia. Setelah itu dia akan melemah. Ntah, iya?

“Aku hanya menemanimu.”

“Pekerjaanku banyak.”

“Aku tahu.”

Saya berusaha mengingat semua doa dan hapalan dalam ingatan. Tidak satupun muncul di benak. Kemana semua itu pergi. Ini rasanya seperti ikut lomba hapalan ayat pendek dan naik ke atas pentas, tapi kemudian demam panggung. Sial!

[Photo: Pexels]

Wush, wush, wush.

Suara seperti angin itu kembali terdengar. Kali ini seperti ada keriuhan yang lebih dekat di belakang saya. Saya masih tidak bisa berpindah, berusaha fokus sambil mendengar suara indah Sa Ding Ding menyanyikan Upward to the Moon  yang menjadi original soundtrack Ashes of Love. Saya sepertinya salah pilih lagu. Lagu ini terlalu gloomy.

Tangan kiri menyerang, tangan kanan memetik senar.

Melakukan perjalanan dalam perahu ketidaksadaran

Ketika masalah membuka lotus merah

Jangan berhenti, jangan memberiku gangguan

Jari tangan kiriku menyentuh bulan, tangan kananku memilih benang merah

Untuk diberikan kepadamu dan takdir kita berhasrat dan ditakdirkan cinta

Dalam cahaya bulan

Kamu dan aku

Pesan Sebelum Hilang

Wush, wush, wush, masih terasa. Saya mulai tegang dan tetap berusaha fokus. Tidak lama kemudian Fahmi kembali dari masjid, dia langsung duduk menuju mejanya menghadap laptop.

“Aku pergi. Jangan bersedih lagi,” masih bisikan dari suara yang sama.

Aaaa, mamakkkk!! Ini apaan, sih? Tapi serius, suara wush wush wush menghilang. Suara riuh warung kopi yang tadi begitu jelas dan membuat kuping tak nyaman juga lenyap. Berganti kesunyian warung kopi yang belum didatangi pelanggan ba’da Jumat.

Semuanya kembali normal sampai Ashar menjelang. Mahasiswa datang menemui saya menanyakan tugas, juga beberapa tes dadakan untuk mahasiswa baru yang dilakukan oleh Heri. Saya pamit pulang pada pukul setengah lima sore.

Beberapa pertanyaan melintas dikepala saat mengendarai motor. Siapa ‘dia’? kami tidak sempat berkenalan dengan benar. Jangan-jangan dia sama seperti kebanyakan cowok fiksi di cerita fantasi yang membuat pembaca klepek-klepek dan mengabaikan lelaki normal di alam nyata.

Saya juga menyesali ketegangan yang sempat terjadi. Harusnya saya bersikap biasa saja. Jangan bersikap seolah dia pengganggu. Lucunya lagi, kenapa dia tahu saya sedang bersedih. Ah, padahal saya sudah menyibukkan diri saat sedih agar terhindar dari gesekan dengan dunia lain.

Posting Komentar

0 Komentar