Setelah ditinggal pesawat pada penerbangan pertama ke Beijing, saya semakin awas untuk membuka mata selebarnya pada setiap detik. Kali ini bukan lagi soal ditinggal pesawat, saya khawatir ada yang terlewat karena saya terlalu santai. Ternyata terlalu kaku seperti ini juga berdampak nggak baik.
Saya ingat betul hari itu. Setelah proses daftar
ulang yang panjang di school of
international student, saya kehilangan teman-teman baru yang ikut mengantri
dan membantu menerjemahkan dalam bahasa mandarin. Mereka sudah kembali ke
asrama atau ke kantin, entah kemana tidak ada yang tahu. Kenyataannya saya
memang sepertinya belum siap melepas satu dari sekian banyak kenalan baru saya.
Gedung rektorat Communication University of China, Beijing [Photo: Search by Google] |
Di international
center yang katanya hotel khusus untuk mahasiswa asing, saya mendaftarkan
diri untuk masuk asrama. Tidak ada yang paham bahasa Inggris saya. Para zhendai (resepsionis) hanya mengerti
kosa kata, bukan kalimat. Untung saja ada mahasiswa asal Hong Kong bernama
Venus yang membantu saya menjadi penerjemah. Dia menerjemahkan bahasa Inggris
saya ke dalam bahasa mandarin kepada zhendai.
Tidak lama menunggu, kamar saya diproses. Tidak
lama dan Venus bersama ibunya rela menunggu saya di lobi sampai semua urusan
beres. Zhendai memberikan kartu akses
kamar di gedung A. Kamar saya ada di lantai empat, kamar A409.
“You have a
roommate,” kata Venus kepada saya menerjamahkan apa yang dikatakan zhendai saat memberikan kartu akses ke
kamar.
“How many
roommate?” tanya saya. Khawatir juga mendengar cerita kawan-kawan yang
sudah duluan kuliah di Nanchang
University. Mereka cerita kalau di beberapa kampus ada yang satu kamarnya
berisi empat sampai enam orang. Sungguh tidak nyaman. Apalagi jika harus
tinggal dengan mahasiswa berbeda negara. Begh, seringnya mereka jorok dan tidak
suka diatur.
Saya mulai was-was di awal. Jawaban Venus kemudian
membuat saya lega, “only one.”
Saya pun lega sekali. Venus tinggal di lantai
satu. Dia tidak perlu naik tangga atau menggunakan elevator naik ke atas. Saya
memilih menggunakan elevator sambil menarik koper kecil dengan berat 15
kilogram dan sebuah ransel besar dengan berat yang sama. Begitu keluar
elevator, pemandangan yang terlihat lumayan mengejutkan juga.
Lantainya dilapisi ambal, jadi saat siapapun yang
berjalan menyusuri koridor tidak akan kedengaran. Kecuali dia sengaja jalan
sambil bernyanyi. Koridor agak gelap, tapi begitu berjalan di sepanjang
koridor, lampu akan menyala otomatis. Kita auto berasa jadi selebritis menyusuri
karpet biru, bukan merah.
Saya berada di depan kamar A409, letaknya di ruas
kiri gedung A. Pintu kamarnya terbuat dari kayu tebal yang kokoh. Sepertinya
juga berat. Begitu mendekatkan kartu akses ke posisi pemindai di pintu, akan
ada suara diikuti lampu berwarna hijau selama beberapa detik. sebelum lampu
padam atau berubah warna, saya langsung membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.
Wow, kamar luarnya persis hotel. Ada twin bed, nakas, meja rias, sofa dan
meja, lemari yang menempel ke dinding, jendela kaca yang hampir selebar
dinding, dan kamar mandi di dalam. Ini benar-benar hotel, bukan asrama.
Kamarnya tidak berbau lembab seperti kamar yang
sudah lama ditinggal. Mungkin ada cleaning
service yang membersihkannya sebelum saya masuk. Sprei putih juga fit ke
kasur, licin seperti baru disetrika.
Homesick
saya
kambuh. Air mata tak tertahankan keluar. Lebih parah lagi saya belum ada akses
internet dan tidak punya kartu lokal untuk mengabari orang rumah. Pulsa
Telkomsel saya sudah habis kena roaming di
Kuala Lumpur saat menghubungi Ika dan mengabarkan posisi pada keluarga di
Takengon.
Saya membuka koper, tapi tidak langsung unpacking. Hanya mengambil kimono handuk
dan toiletries untuk membasuh diri.
Usai mandi, saya berpakaian rapi. Rencana hendak keluar cari SIM card lokal dan beberapa makanan yang
bisa dimakan. Entah kelelahan atau memang terbawa suasana yang sejuk di kamar,
saya pun tertidur dengan posisi tidak benar.
Tiga jam kemudian saya terbangun. Di luar masih
terang, tapi mulai menunjukkan matahari mulai bergerak ke peraduan. Saya
teringat rencana sebelum ketiduran. Beli kartu sim dan cari makanan halal.
Kalaupun nggak ada, saya akan mengikuti saran teman-teman yang sudah duluan
kuliah di luar negeri. Beli buah saja, buah-buahan sudah pasti halal.
Saya mengambil tas selempang rajut pemberian ibu
kos berwarna baby peach yang
tergeletak di sofa. Saya sudah memasukkan dompet, kartu akses kamar, dan notes
di sana. Tentu saja notes ini untuk memudahkan saya berkomunikasi dan mencatat
hal-hal yang saya anggap penting nantinya.
Ketika akan keluar kamar, saya melihat pintu kamar
mandi sedikit terbuka. Saya pun lupa apa sempat menutup pintu kamar mandi atau
tidak. Di cermin yang menempel di atas wastafel, saya melihat pantulan
perempuan berwajah cantik sedang menunduk. Sepertinya dia hendak menggosok gigi
atau melakukan sesuatu di sana. Wajahnya khas Asia Timur dengan rambut lurus menutupi
sedikit wajah tirusnya.
Wastafel di kamar mandi hotel [Photo: Pexels] |
Ah,
itu pasti roommate saya. Begitu dalam benak saya berkata.
Saya nggak sempat pamit dan langsung keluar. Sampai di elevator, saya menyesal
juga bersikap tidak peduli begitu. Harusnya saya menyapa dulu sebagai basa
basi. Berkenalan dulu. Siapa tahu dari dia saya mendapat informasi tentang hal-hal
yang saya butuhkan.
Saya meragu untuk langsung pergi, rasanya ingin
kembali ke kamar lagi untuk menyapa. Namun begitu pintu elevator terbuka, saya
melihat beberapa orang mahasiswa Afrika yang bertemu dengan saya saat
pendaftaran sedang bergerombol. Saya menyapa mereka, mendapatkan informasi dari
mereka, lalu pergi ke sesuai instruksi. Meski nggak terlalu mengerti dengan
penjelasan mereka, saya tidak takut tersesat. Saya punya map di tangan. Bisa
menggunakan map yang dibagikan saat daftar ulang untuk menelusuri seluruh area
sekitar kampus.
Saya berjalan ke luar kampus hingga malam. Bahkan
saya sempat singgah di super market dan bertemu dengan beberapa cewek muslim
dari Mesir. Mereka banyak memberi masukan dan petunjuk kepada freshman seperti saya. Setelah bertukar
nomor ponsel, kami berpisah. Saya kembali ke hotel yang berfungsi sebagai
asrama saya tahun ini.
Begitu tiba di asrama, saya langsung tepar karena lelah.
Tidak terbiasa berolahraga dan jalan kaki di Indonesia ternyata membuat tubuh
jompo lebih awal. Seketika saya lupa untuk berkenalan dengan roommate.
Esok paginya saya bertanya-tanya kemana roommate saya nggak pulang semalaman.
Bahkan di siang hari juga nggak kelihatan. Sampai saya bertemu dengan Eveline
yang bahasa mandarin bu cuo (lumayan).
Saya bercerita punya roommate, tapi
tidak melihatnya seharian.
Seminggu kemudian sebuah pesan di atas post it hijau saya temukan di cermin
rias. Roommate saya yang menulis
dalam bahasa Inggris, “Hai, aku Dene dari
USA. Aku roommate kamu, tapi aku akan tinggal di luar asrama. Aku hanya akan ke
kamar untuk beristirahat saja di antara jeda kelas. Can’t wait to see you
soon.”
Dia juga meninggalkan id Wechat yang kami gunakan
sebagai platform percakapan di China
seperti Whatapp. Saya belum punya Wechat, tapi tetap membalas Dene melalui SMS.
Waktu itu pertanyaan besar muncul di kepala saya. Can’t wait to see you soon. Dia kan
sudah bertemu saya meski tidak sempat mengobrol. Mungkin karena saya tidur.
[Photo: Pexels] |
“Kayaknya roommate
aku ganti, kemarin-kemarin bukan dari USA. Dia tuh kelihatan Asia banget.
Jepang atau China atau sejenisnya lah,” kata saya pada Eveline.
Jawaban Eveline cukup masuk akal, “dia ABC kali, Fa. Di Ceka kan banyak
ABC.” ABC singkatan American Born
Chinese, sebutan untuk chinese
american. Eveline juga menyebut kata Cina dengan Ceka, singkatan dari zhongguo (cong kuo). Setelah percakapan
dengan Eveline itu, saya nggak pernah lagi mengingat soal roommate.
Di pertengahan semester, saya kembali ke kamar
lebih cepat dan terkejut dengan suara dari dalam kamar, “hello, Olivia. I am here.”
Saya menemukan gadis kurus berambut pirang lurus sedang bergelung dalam selimut dengan AC menyala di temperatur paling rendah. Wajahnya sangat bule dengan hidung mancung mungil. Dia Dene, roommate saya yang kami pikir ABC. Namun beberapa bulan kemudian, setelah saya bisa berkomunikasi dengan bahasa mandarin standar dengan para zhendai, saya baru tahu kalau tidak ada roommate di kamar A409 selain Dene. Hari saya masuk ke kamar itu, saya adalah orang pertama yang masuk ke kamar itu.
Mengetahui fakta ini, seketika bulu kuduk saya meremang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan langkah pertama saya di kamar A409. Orang yang saya lihat di cermin wastafel kamar mandi bukan Dene, tapi siapa?
0 Komentar