Pada semester kedua kuliah di Beijing, saya baru tahu kalau setiap semester ada trip ke tembok China. Tempatnya sama, yaqin (uang jaminan) juga sama. Bahkan tempat makannya sama. Bagi yang sudah pernah ke Mutianyu Greatwall sebelumnya, mereka memilih tidak ikut lagi. Namun bukan berarti sedikit yang memilih ikutan lagi.
Mereka sepakat dengan saya, setiap pendakian punya
cerita. Setiap semester juga akan mendapat pengalaman berbeda bersama teman
yang berbeda. Terlebih penting, ada lagi yang sependapat dengan saya. Kapan
lagi ke tembok Cina gratis? Kalau ngetrip sendiri pasti mahal.
Salah satu pemandangan tembok Cina [Photo: Pexels] |
Setelah melewati pengalamanmendaki pertama kali dan excited dengan
pemandangan tembok memanjang di atas gunung, saya penasaran dengan pendakian
kedua. Ada apa dan apa yang saya dapatkan, ya? Tentu saja nggak seheboh yang pertama
kali yang mencari teman.
Tidak
Sulit Mengumpulkan Teman
Semester kedua saya sudah mampu berkomunikasi
pas-pasan dengan teman sekelas. Saya juga sudah punya teman akrab. Punya sirkel
juga yang asyik diajak jalan. Kami menyebut diri no lonely club alias bukan kelompok anak-anak kesepian karena
persendirian. Klub kami terdiri dari tujuh orang yang datang dari negara Indonesia,
Thailand, Rusia, Ekuador, Madagaskar, Romania, dan Iran. Biasanya kami akan
duduk sederetan ke belakang bertujuh. Seringnya, saya duduk sebangku dengan
teman Thailand dan makan siang ditambah dengan teman asal Rusia.
Saya mengajak mereka ke tembok China. Teman asal
Thailand dan Rusia langsung menyetujui karena kami satu frekwensi, penganut
jalan-jalan gratis. Teman asal Ekuador punya janji dengan pacarnya yang berasal
dari Malta. Mereka akan berlibur dan bermalam di Tianjin. Sementara teman dari
Madagaskar memilih tidak pergi karena sudah berulang kali mengunjungi tembok
Cina, katanya bosan. Berbeda dengan teman Iran dan Romania, mereka harus
bekerja di hari Sabtu Minggu.
Pada semester kedua, sebagian besar isi kelas kami
didominasi oleh mahasiswa asal Korea dan Turki. Semester dua saya di Beijing
masih belajar bahasa mandarin. Belum terlalu sibuk untuk belajar di tahun
pertama.
Sebagian besar dari mereka setuju untuk pergi ke
tembok Cina. Meskipun di kelas kami sepakat untuk pergi, nyatanya kami nggak
akan bergabung selama mendaki. Masing-masing punya sirkel sendiri.
Spring
Fever
Saya terlalu semangat dan lupa kalau tahun pertama
masih penyesuaian diri dengan cuaca empat musim. Bulan Februari akhir masih
awal musim semi. Sayangnya, saya demam dan lemas. Orang-orang menyebutnya spring fever. Namun saya sudah membayar yaqin sebesar seratus yuan ke pihak bangongsi (kantor) untuk trip ini.
[Photo: Pexels] |
Teman-teman menyarankan tidak ikut dan saya segera
melapor ke bangongsi. Saya tidak mau,
karena yaqin akan hangus karena mobil
dan resto pasti sudah direservasi. Akhirnya saya lebih memilih ke klinik
sekolah sendiri usai kelas di hari Jumat.
Saya diberi obat satu kotak dengan kemasan seperti
puyer. Awalnya saya pikir isinya akan berbentuk puyer juga. Ternyata isinya
seperti kotoran kecoak. Cara minumnya pun berbeda dengan obat-obat modern. Ini
obat China tradisional yang dikemas dengan packaging
modern. Cara minumnya dilarutkan dalam air hangat-hangat kuku, akan lebih
baik jika lebih panas tapi tidak mendidih. Langsung diminum saat masih panas.
Rasa dan baunya jangan tanya. Aneh sekali. Aromanya
seperti daun yang dikeringkan. Rasanya juga seperti daun yang agak busuk dan
ada rasa peppermint sedikit. Saya
langsung menenggak habis sambil menutup hidup. Lalu meneguk air putih sebanyak
mungkin untuk menghilangkan jejak rasa dan aroma di dalam mulut dan
kerongkongan.
Dokter bilang setelah minum obat ini saya bisa
langsung beraktivitas seperti biasa. Dokter juga menyarankan untuk berolahraga.
Orang mager seperti saya mana mempan disuruh olahraga. Adanya saya masuk ke
dalam selimut dan rebahan sambil scrolling
ponsel. Sesekali mengecek info di Instagram setelah Virtual Private Network (VPN) diaktifkan. Saya juga memilih nonton
YouTube sambil membalas komen-komen di Facebook.
Teman kembali mengingatkan saya agar tidak ikut
saja. Demi kesehatan saya juga katanya. Akan tetapi, saya sudah yakin kalau
saya nggak akan apa-apa. Jadi saya tetap putuskan untuk ikut.
Obat
Rasa Kecoak dan Menghitung Anak Tangga
Sebelum menuju titik kumpul, saya kembali
menenggak obat rasa kecoak itu. meskipun belum pernah makan kecoak, tapi teman
saya asal Switzerland menyebutya obat rasa kecoak. Dia memang pernah makan
kecoak yang dijual di Wangfujing Street, salah satu spot jajanan ekstrim kaki
lima yang amat terkenal di Beijing.
Begitu masuk ke dalam bus, saya merasakan tubuh
agak menggigil dan lemah. Bawaannya mengantuk karena saya memang bangun lebih
cepat dan tidur lebih telat karena sibuk chatting
di Facebook. Sementara paginya saya bangun lebih cepat demi menyeduh mi
instan dan membuatnya goreng ala ala untuk bekal ke tembok Cina. Jaga-jaga kalau
saya kelaparan atau telat makan. Saya harus minum obat tepat waktu. Dokter
bukan hanya menulis 3x1 di kotak obat, tapi juga waktu minumnya pada pukul
berapa.
Bus berhenti di titik kumpul pertama. Ada gerbang
yang belum selesai dibangun di depan kami. Sepertinya bangunan itu akan dibuat
megah dan menarik perhatian. China memang suka memberi kejutan dengan bangunan
uniknya, tapi kami belum tahu apa. Dari titik kumpul parkiran, kami masuk
menuju ke titik kumpul kedua, menumpang shuttle
bus naik ke titik kumpul ketiga.
Kami mengantri panjang dan menempatkan diri dengan
orang-orang yang kami kenal meski tidak saling bicara karena beda sirkel. Dari sana
kami naik ke atas diantar shuttle bus. Di
dalam bus suasana lebih meriah. Ada yang sibuk bercerita, bernyanyi, bahkan
tidur dengan telinga disumpal earphone. Tingkah
kami memang aneh-aneh.
Titik kumpul ketiga ada di depan pintu masuk
menuju pendakian ke tembok Cina. Dari permberhentian shuttle bus ke titik kumpul kami berjalan kaki. Sedikit mendaki,
tapi lelahnya masih bisa ditolerir. Apalagi jalannya beramai-ramai, pastinya
tidak terasa lelah. kami juga berhenti untuk berfoto, mengabadikan kisah klasik
untuk masa depan.
Saya baru perhatian kalau di dekat titik kumpul
ada batu besar bertuliskan Stone Museum.
Pada pendakian pertama saya sempat berfoto
di batu besar itu, tapi tidak perhatian dengan tulisannya. China memang unik,
doyan mengoleksi batu besar dan menjadikannya kelihatan wah. Batu segede itu
kalau di kampung saya sudah dipecah dijadikan pondasi rumah. Bukan dirawat sedemikian
rupa untuk membuatnya objek dalam destinasi wisata.
Hanya sebentar saja kami menunggu, kami langsung diarahkan untuk masuk dan mendaki. Kali ini saya masih ngos-ngosan. Lebih kepada karena badan nggak fit. Namun saya merasakan perbedaan mendaki kali ini tidak semelelahkan saat pendakian pertama. Di pendakian kedua, saya bergerak lebih santai. Sesekali mengusap ingus, mengelap keringat, dan terbatuk-batuk.
Teman sekelas asal Turki bertanya dengan khawatir,
“kamu sakit. Kenapa memaksakan diri untuk ikut?”
Tentu saja saya nggak menjawab kalau nggak ikut yaqin saya akan hangus. Saya hanya menjelaskan
begini, “belum tentu semester depan saya masih bisa ikut. Semester depan saya
akan sibuk kuliah sepertinya. Lagipula sekarang adalah kesempatan menyenangkan
karena dengan kalian.”
Jawaban diplomatis yang membuat Rabia Erdem
tersenyum senang. Pipinya bersemu. Senang. Benar adanya komunikasi yang paling
efektif itu salah satunya pujian dan menganggap orang lain itu berharga.
Saya pikir akan menyerah sebelum sampai ke puncak,
tapi sahabat saya asal Thailand yang menjadi travelmate di segala kesempatan mendampingi dan memberi semangat. Kemudian
dua liuxuesheng (mahasiswa asing) asal
Kazakstan ikut menamani saya menuju ke atas. Diaz dan Saardar, keduanyanya
memberi semangat kalau hitungan tangganya sudah hampir menuju pintu tembok
Cina.
Kami berhasil naik dan saya mengikuti mereka
hingga ke atas. Excited-nya nggak
seheboh sebelumnya. Kami tetap berjalan mondar ke sana dan kemari. Kali ini
kami jalan agak jauh, bahkan menapaki anak tangga yang terjal dan berhenti di
bangunan yang melekat di tembok. Berfoto di spot yang kelihatan tembok Cinanya
memanjang seperti ular.
Kali ini foto saya lebih banyak karena Man, teman
saya asal Thailand menggunakan kameranya dengan maksimal untuk mengabadikan
kami. Saya senang difoto disetiap titik. Meskipun keringat saya bercucuran
seperti orang mandi. Kami benar-benar menikmati waktu tiga jam di atas dan kelelahan.
Rabia berkata kalau dia nggak bisa berjalan lagi.
Kakinya gemetaran. Dia mengajak kami turun menggunakan sliding car atau cable car, asal
bukan trek tangga. kakinya tidak bisa bergerak. Melihat kondisi saya yang sudah
berkeringat dan pucat, Man tidak menolak untuk mengambil tawaran itu.
Sliding car sebagai salah satu moda transportasi turun gunung dari tembok Cina. [Photo: Adipon Euajarusphan] |
“Jangan ada yang turun pakai sliding car, itu tidak aman. Beberapa hari lalu ada mahasiswa Beida yang terjatuh saat naik sliding car dan masuk rumah sakit. Kakinya
patah, wajahnya rusak, dia ditemukan pingsan karena kepalanya membentur batu,”
kata Eric menakuti.
Kami pun resmi tidak turun pakai sliding car dan memilih cable car demi keamanan bersama. Ternyata
harapan nggak seindah kenyataan. Man takut ketinggian. Sepanjang jalan turun
menggantung dari tembok China, dia terus menutup matanya dengan telapak tangan.
Tangannya bergetar dan dingin. Sepanjang perjalanan dia terus bertanya, “almost there?”
Saya terus tertawa. Namun di pertengahan perjalanan,
jurang yang membentang dengan pemandangan batu-batu besar menonjol membuat saya
takut. nyali saya ikut ciut, tapi saya diam saja tanpa berbagi cerita. Saya yakin
kalau bercerita soal ini, Man akan menjerit dan menangis.
(B.E.R.S.A.M.B.U.N.G)
0 Komentar