“Ibu cuma mau tahu bagaimana kabar Ailin.” Suara serak dan berat Bu Ve masuk ke melalui telinga dan singgah di dalam memori.
“Nggak begitu baik, Bu,” kataku.
Kutahan tangis yang memaksa keluar. Aku harus bertahan sekuat mungkin untuk
tidak kebobolan di depan rektor perempuan pertama di Universitas Islam Barat
Selatan.
[Photo: Pexels] |
“Makanya Ibu perlu tahu, apa yang menjadi masalah Ailin sekarang? Bagaimana kabar suaminya?” getar suara Bu Ve masih terdengar lembut, tapi tidak kutemukan simpati di sana. Hanya kekhawatiran seorang pemimpin tentang kinerja bawahannya yang akan mengganggu profesionalitas kerja. Eh, atau aku yang terlalu berburuk sangka?
Kutarik napas sebelum menjawab.
Mataku berkaca, dadaku mulai sesak. Bu Ve menyodorkan sekotak tisu ke
hadapanku. Tak kutolak kebaikannya, kutarik selembar tisu dan mengusap bulir
bening yang tak bisa diajak kompromi itu.
Tangisku pecah. Dadaku mulai
sesak. Di saat seperti ini, ingus pun seperti berkompromi untuk mempermalukan
aku di depan rektor. Dia mengalir menyumbat hidung.
“Saya masih harus bolak balik,
Bu. Setiap minggu dari kota ini ke kota lain. Sekarang saya lebih sering pulang menemui suami daripada
melihat anak di kampung Mama. Sebagai perempuan dan ibu, Ibu lebih paham bagaimana perasaan
saya. Balita masih punya orang tua, tapi seperti yatim piatu. Istri yang
memiliki suami, tapi seperti janda,” ucapku dalam isak. Kuusap mataku dengan
tisu yang semakin lecek.
Mata Bu Ve menggenang. Sisi
wanitanya tersentuh. Sekuat tenaga dia menahan tangis agar tak jatuh.
“Apa yang bisa ibu lakukan untuk
membantu Ailin? Kenapa tidak pernah datang pada ibu untuk meminta bantuan?”
suaranya mulai serak. Aku mulai mendengar tangis tertahan.
Aku menggeleng, “Saya nggak tahu
apa yang bisa saya minta kepada Ibu. Kalau Ibu mengizinkan, saya hanya ingin
diberikan izin belajar untuk melanjutkan doktoral, Bu.”
Mata Bu Ve melebar, “hanya izin
belajar?”
Aku mengangguk dalam tunduk.
Apalagi permintaan yang paling waras untuk saat ini? Aku pun menegaskan, “ya,
izin belajar, Bu.”
“Kenapa nggak minta mutasi kerja,
Ailin? Itu yang Ibu tunggu dalam beberapa bulan ini,” suara Bu Ve naik beberapa
oktaf. Bergetar.
Aku mendongak tak percaya.
Kutatap Bu Ve dengan penuh penyelidikan. Aku tidak salah dengar, kan? Mutasi
adalah kata-kata yang haram diucapkan saat ini. Aku belum setahun bekerja.
“Saya nggak berani meminta lebih,
Bu. Saya sangat tahu diri,” kataku. Tangisku meningkat beberapa level
kesedihan. Aku memang cukup tahu diri tidak menjadi musuh publik dengan meminta
mutasi. Meskipun dalam kondisi seperti ini, kurasa tidak akan ada yang
menjadikan kepindahanku sebagai alasan mengacaukan internal lembaga. Alasanku
cukup masuk akal dan adil untuk semua situasi.
“Sebagai pimpinan, tentu saja
saya kehilangan seseorang yang berbakat dan punya potensi seperti Ailin. Tapi,
dari sisi kemanusiaan justru hati saya tercabik, Ailin. Saya merasa ada begitu
banyak mata-mata yang menatap tajam menuduh saya tidak punya hati,” kata Bu Ve.
Suaranya kini seperti tikus kejepit. Mencicit tak karuan.
Bu Ve mengambil map dengan
lambang lembaga. Saat Bu Ve membuka map itu, aku melihat selembar formulir yang
baru dicetak. Aku bisa membaca tulisan yang tertera di sana. Permohonan
Mutasi Kerja. Jantungku berdegup kencang.
“Ini hadiah untuk Ailin. Silahkan
diisi, lengkapi syaratnya, dan antar ke bagian kepegawaian. Secepatnya, ya.” Bu
Ve menutup map kembali dan menyerahkan kepadaku. Tanganku bergetar menerimanya.
“Bu,” kataku. Kini tanpa malu air
mata menganak sungai di pipiku. “Ini serius, Bu?” perempuan berusia hampir
kepala lima di hadapanku mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
--o0o--
Tiga bulan berlalu sejak kejadian
di ruang rektor itu. Aku masih bolak balik ke ibu kota provinsi dan kota kecilku
mengabdi. Mengurus suami yang masih hidup dengan keajaiban Tuhan. Masih pula
sambil mengurus mutasi yang dibonuskan kepadaku. Sesuai dengan janjiku kepada
kepala bagian kepegawaian di kampus, ini menjadi rahasia kami berempat. Aku,
rektor, kepala bagian kepegawaian, dan Allah.
[Photo: Pexels] |
Aku menjaga rahasia ini sampai
mati. Insyaallah, aku akan melakukannya. Kulihat di antara sakit dan
keterbatasan pasca operasi penyambungan tulang belakang, suamiku mengurus ini
dan itu di kampusnya bekerja. Kampus yang menjadi tujuanku berpindah. Almamater
kami berdua.
Jangan tanya bagaimana aku.
Setiap hari kuselesaikan beberapa jurnal untuk menguatkan homebase dan melindungi teman-teman yang terseok publikasi dengan menambahkan nama mereka di artikel. Kubantu menyumbang tulisan
untuk Bu Ve agar syarat guru besarnya cepat tercapai. Aku menunjukkan loyalitas
dan dedikasi tertinggi sebelum hengkang.
Aku ingat pesan Ayah, “jangan
seperti Yahudi di tanah Palestina. Datang sebagai pengemis, hidup sebagai
pecundang. Sebagai manusia bermartabat, jika memang diberi kesempatan untuk
melakukan yang terbaik untuk orang lain. Lakukan saja, jangan hitung untung
rugi. Hidup berbeda dengan bisnis.”
Sampai seorang rekan bertanya
dengan sebuah tohokan, “Ailin, kamu mau pindah, ya?”
“Pindah? Rumahku di sini,”
jawabku kaget dan sedikit deg-degan. Khawatir jika aku keceplosan. Satu kampus bisa menyebarkan informasi ini. Aku baru menyadari belakangan ini. Tidak ada yang benar-benar peduli
pada kondisiku jika bertaruh soal untung rugi. Ini bukan masa khalifah, kemanusiaan
ditempatkan di posisi utama.
“Nggak. Maksudnya kamu mau
mutasi ke UIN Timur Laut?”
Deg! Informasi ini sudah sampai
di telinganya. Aku tidak berani bertanya dari mana dia mendapatkan informasi.
Pertanyaan di kepalaku terbaca olehnya. Dia justru menjawab dengan santai,
“beberapa minggu lalu aku melihat kamu di ruang Bu Ve, Lin. Sepertinya Bu Ve
serius sekali ngomong sama kamu. Ya, aku tebak. Pasti soal mutasi.”
Oh, itu. Aku lupa kalau suara Bu
Ve sebenarnya cukup nyaring. Meski pintu ditutup semua orang di luar bisa
mendengar. Waktu itu aku tahu banyak orang di luar ruangan mengantri bertemu Bu
Ve, tapi aku lupa siapa saja. Bisa saja informasi berembus dari mereka. Memang
tidak ada rahasia di ruang publik. Dinding-dinding punya telinga.
“Nggak meminta, sih. Kalau
dikasih, aku terima. Mimpiku paling besar saat ini lanjut doktoral, Frey,”
kataku. Dalam hati kutambahkan lagi, “juga berkumpul dengan keluarga
kecilku. Melanjutkan hidup yang sederhana, tapi bermakna.”
--o0o--
“Tidak bisa pindah, Lin.
Kampus di sini membuat persyaratan untuk tukar guling dengan Bu Ve. Bu Ve
pindah ke sana dan Ailin pindah kemari. Bu Ve tidak mau pindah permanen. Sekarang status Bu Ve kan tugas dinas di kampus kalian. Begitu tugasnya selesai, Bu Ve akan kembali ke satuan kerja asalnya,”
kata suamiku dengan wajah tegang. Datar. Sepertinya dia baru menerima informasi
paling menegangkan dalam riwayat pekerjaannya sebagai teknisi IT. Wajahnya
lebih serius daripada website diserang hacker judi online.
[Photo: Pexels] |
“Kenapa?”
“Tanyakan kepada Bu Ve. Kenapa
beliau membatalkan mutasimu ke sini. Itu hanya Bu Ve yang tahu.”
“Abang nggak bisa menebak?”
“Menebak yang tidak benar bisa
menjadi fitnah, Ailin.”
Aku diam. Seluruh semangatku
hilang. Kubuang pandang ke jalanan macet dari jok penumpang. Pikiranku mulai
tak karuan. Sebuah pesan di Whatapp masuk. Bu Ve.
Ailin, kapan kembali ke sini? Ntar kita duduk sebentar, ya. Ada kejutan untuk Ailin. Oh, ya. Sekalian mau ngabarin kabar baik. Kebetulan sekali ibu baru dapat dana penulisan buku. Ibu mau berbagi dengan Ailin. Biar naik pangkatnya juga gampang.
Aku mulai menebak-nebak. Kejutan
apa yang dimaksud oleh Bu Ve? Tidak jadi mutasi? Tapi emo mata berkedip dan
gambar buku memberiku firasat berbeda. Ini bukan soal aku. Ini soal dia.
--o0o--
Sepuluh Tahun Kemudian
“Ailin, sudah dengar belum
kalau Aji dipindahkan ke Medan?” tanya Freya semangat. Wajahnya diliputi
penasaran yang amat kuat.
“Aji dipindahkan? Nggak mungkin
lah. Mana mungkin semudah itu? Lagipula landasannya pindah apa?” aku terkekeh.
Terulang kembali potongan kejadian sepuluh tahun lalu tentang pengurusan mutasi
yang mengecewakan. Ujung-ujungnya kudengar kalau pengurusan mutasi tidak mudah.
Padahal alasan lainnya justru aku dapat dari kampus yang akan menerimaku.
“Iya, Ai. Malahan rektor sendiri
yang langsung memindahkannya. Eum, tapi ada kabar lain yang lebih buruk, Ai.”
“Apa?”
“Dia belum diterima di kampus
mana pun di sana. Masuk akal sih, Ai. Dia itu siapa? Publikasi minim, pangkat
masih asisten ahli, golongan masih tiga be, sertifikat pendidik belum ada.
Kalau yang begitu doang kualifikasinya, bukannya di Medan bertaburan seperti
barang obral nggak, sih?”
Aku tertawa kecil. Freya memang
unik. Kalau sudah mulai mengatai orang, dia bisa sangat sadis. Aji disamakan
dengan barang obral. Meski setuju, aku tak tega.
“Sudahlah, nggak usah mikirin
dia. Lagipula mutasi itu nggak mudah. Kalau kita terlalu berprestasi, di sini
nggak dilepas. Kalau nggak berprestasi, di sana nggak diterima. Mutasi itu
seperti hantu gentayangan, hidup di dua alam yang tak jelas,” kataku sambil
mengenang pengalaman sendiri, tapi tidak perlu mengatakan kalau aku sudah
pernah melaluinya.
“Satu-satunya jalan untuk keluar
dan istirahat dari beban ini ya lanjut studi, Ai. Sepuluh tahun lumayan banget
untuk mendepak orang-orang toxic dari pikiran, Ai. Kudengar rektor sekarang
lebih luwes mengeluarkan izin belajar daripada Bu Ve. Kalau rektor sekarang,
siapa saja yang mau mengajukan izin belajar pasti ditandatangani terus. Beda
banget sama Bu Ve.”
Aku tersenyum. Kufokuskan pikiran
pada jurnal internasional yang sedang aku revisi. Meski pikiranku mulai terganggu
dengan katta-kata Freya, tapi ada pertanyaan yang mulai mengganggu. Apa benar
Aji pindah? Bukan tidak mungkin. Dia selalu punya cara untuk melakukan apa yang
diinginkannya dengan cara apapun. Ya, dengan cara apapun.
Setelah kabar itu, satu persatu
kebenaran tentang Aji terkuak. Tidak saja soal Aji, beberapa teman yang
mengajukan mutasi juga mulai menunjukkan kebahagiaannya sebelum meninggalkan
kampus. Sementara aku masih terduduk di meja sudut dengan setumpuk tugas admintrasi.
Posisiku berpindah dari ketua
divisi yang tidak dibayar di Unit Pelayanan Terpadu hingga ketua prodi yang membatasiku mengembangkan diri. Permohonan mutasiku tidak
ditindaklanjuti, izin belajarku tidak ditanggapi. Hingga akhirnya aku
membenamkan tangis dengan kekecewaan dan rasa sakit yang semakin menjadi.
Sebuah cara terlintas.
--o0o--
Tahun kelima belas aku bekerja. Aku
tidak lagi memikirkan soal mutasi. Jalani saja, nikmati prosesnya, syukuri
hasilnya. Perasaan itu hanya tertanam sementara. Kenyataan menamparku untuk kesekian
kalinya.
“Ma, abang baru baca buku di
pustaka Mama,” kata anakku tiba-tiba. “Inner child itu apa, Ma? Katanya
anak yang berjarak dengan orang tuanya akan meninggalkan luka masa kecil yang
dalam.”
Aku mempersiapkan mental untuk mendengar kalimat yang lebih tidak enak didengar.
“Waktu kecil abang jatuh, luka,
tapi nggak meninggalkan bekas luka. Itu inner child ya, Ma?” tanya anak
sulungku. Menohok terlalu dalam di dasar hati.
“Inner child bukan begitu,
Nak. Nanti kamu akan mengerti.”
Anak sulungku melanjutkan membaca
bukunya. Aku membuka laptop, mencari folder surat menyurat dan mengeprint surat
itu tiga rangkap.
--o0o--
“Ini apa, Bu Ailin?” Bagian
kepegawaian terkejut menerima dua map yang aku sodorkan ke hadapannya.
“Surat pengunduran diri dan surat
permohonan mutasi, Pak. Keduanya punya saya. Terserah bapak mau mengabulkan
yang mana. Saya hanya meminta hak saya. Mohon penuhi salah satunya.”
Dia tertawa sinis. Aku sudah tahu
apa yang dia ingin ucapkan kepadaku kali ini. Memintaku menunggu, mengharapkan
kesediaanku untuk mengikuti ritme kerja. Namun kata-kata itu tidak sempat
terlontar dari mulutnya. Wajahnya memucat. Bibirnya terkunci.
“Saya undur diri, Pak. Mohon dipertimbangkan,”
kataku. Lalu keluar dari ruangan.
Aku tidak langsung pergi. Jantungku
terlalu berisik. Kupilih duduk sejenak merelakskan diri di bangku panjang yang
menempel dinding kantor. Sayup-sayup kudengar kepala bagian kepegawai instasiku
berbicara dari telepon.
“Pak Rektor, Ailin baru keluar dari ruangan saya. Tampaknya kali ini serius. Dua surat dengan cap
jempol. Iya, Pak. Saya paham, tapi kali ini agak lain, Pak. Suratnya pakai cap
jempol darah.”
Hening.
Tenaga sudah kembali. Aku meninggalkan
gedung kepegawaian dan bersiap melanjutkan rencana baru.
--o0o--
Meulaboh, 3 Juli 2024
7 Komentar
Hidup memang bukan soal bisnis tapi terkadang orang lain yang membisniskan. Mantap Bu Ai, keren abizz
BalasHapusHidup kita jadi komersil dari jiwa bisnis orang lain ya, Kak. Hehehe...
BalasHapusBelum pernah baca cerita berlatar dunia pendidikan. Cerita ini jadi memberi insight baru buatku. Keren kak.
BalasHapusSelamat membaca, Kak. Banyak sisi gelap pendidikan kita tak terungkap. Tabu untuk ditulis
HapusIya kak, jadi tahu deh. Sukak bacanya ❤️
HapusWuih, ini yang ditulis di sela-sela sidang kemarin, ya. Mantaaaap😇
BalasHapusIya, Kak. Biar berasa vibe masalahnya. Hahaha
Hapus