Bagaimana cara mudah menghapus kenangan buruk di dalam kepala? Ada yang mengatakan ke psikolog saja. Ada pula yang mengatakan lupakan saja seolah tidak terjadi apa-apa. Bagi saya, cara-cara itu justru membuat saya semakin overthinking. Menulis kenangan buruk adalah cara saya melupakan paling mudah. Sama seperti kalimat ini dimulai pada paragraph pertama, saya akan berbagi cerita tentang kenangan buruk pada sebuah perjalanan.
Kejadiannya
sudah lama. Sekitar dua tahun setengah yang lalu, tapi saya belum sempat
menuliskan ceritanya. Pun ketika lembaran word terbuka, saya sama sekali
tidak kuasa menuliskannya. Detilnya masih teringat jelas bagaimana kejadian itu
bermula dan mengisi ruang mimpi-mimpi saya.
[Photo: Pexels/Charles Parker] |
Jangan
pikir ini soal pelecehan. Ini soal kecelakaan yang terjadi di depan mata saya.
Meski tidak seseram yang dibayangkan, tapi apa yang saya alami menyisakan
trauma luar biasa untuk setiap perjalanan.
Saya
ingat dengan jelas, sehari setelah imlek tahun 2022. Saya memutuskan kembali ke
Meulaboh pada hari Rabu tanggal 2 Februari 2022. Waktu itu saya dan seorang
kolega di kampus memutuskan pulang ke Meulaboh pagi agar terkejar absen sore.
Meski cuma sekali absen finger print, tapi terhitung hadir.
Mobil
angkutan jenis Hi-Ace yang kami tumpangi bertolak pukul setengah dua belas.
Seperti biasa pula, saya dan Kak Caca duduk di belakang supir. Kak Caca yang
memesan mobil ke armada langganan. Saya duduk pas di belakang supir di dekat
jendela. Sementara Kak Caca duduk di posisi tengah.
Sepanjang
perjalanan kami bercerita apa saja. Pengalaman hidup di rantau, kehidupan
keluarga, sosialisasi dalam masyarakat, sampai rencana-rencana yang akan
dilakukan setibanya di Meulaboh. Apalagi kalau bukan urusan kuliner. Kak Caca partner
yang asyik diajak kulineran. Meski belakangan kulineran mulai terkurangi
karena memikirkan kesehatan masing-masing. Kolesterol saya lumayan tinggi,
sedangkan Kak Caca mengidap alergi akut.
Perjalanan
sempat terhenti seperti biasa. Supir akan beristirahat makan siang di salah
satu warung makan langganan. Saya tidak begitu semangat untuk makan. Selain
bayi saya yang masih ASI terlelap, saya juga malas turun dengan kondisi
menggendong anak sana sini. Shalat Zuhur saya jamak ke Ashar. Target tiba di
Meulaboh sekitar pukul empat atau pukul lima.
Tidak
biasanya mobil juga sepi senyap. Tidak ada musik, tidak ada obrolan penumpang
yang kadang-kadang super stereo. Entah efek kekenyangan atau kelelahan, para
penumpang mulai tidur. Termasuk Kak Caca. Mobil masih melaju kencang di aspal
hitam lurus sepanjang lintas barat. Sesekali klakson panjang terdengar.
Jantung
saya sedikit ciut. Melihat cara Pak Sopir yang menguasai jalan seperti
anak-anak muda balapan di sirkuit. Memejamkan mata adalah solusi paling
menenangkan untuk saat itu. Saya pun memejamkan mata sambil memeluk bayi.
Kepalanya dekat ke dinding mobil. Anak saya tipe yang tidak mau ditidurkan
dengan bantuan bantal. Dia pasti menggeser bantalnya menjauh dan lebih nyaman
bersandar di lengan emaknya.
Satu
kali klakson panjang terdengar. Saya terbangun. Penumpang lain sepertinya tidur
dengan nyenyak, termasuk ibu muda dengan balita perempuan yang duduk di jok
depan. Tampaknya dia tidak terganggu dengan suara klakson panjang itu. Waktu
itu mata saya sudah nggak bisa terpejam. Perasaan sudah tidak enak.
Salah satu pemandangan pantai di kawasan Lhok Buya [Photo: Search by Google/Steemit] |
Begitu
mobil melaju di kampung Lhok Buya, klakson panjang kembali terdengar. Kali ini sekaligus
dengan rem. Saya melihat seorang ibu membawa bocah di depan sedang menyeberang.
Saat melihat mobil melaju, si ibu menarik gas lebih kencang. Sopir dengan panik
membanting stir ke arah kanan. Tepat saat si ibu yang kehilangan arah di depan
moncong Hi-Ace. Si ibu sepertinya mengerem, untuk menghindari pembatas jalan.
DHUAR!!
“Astaghfirullahal ‘adzim!” mulut saya otomatis terpekik kalimat istighfar. Rem mendadak diikuti suara dentuman keras itu menggerakkan posisi kami terbuang ke depan.
Mata
saya dengan jelas melihat ibu dan anak itu terpelanting beberapa meter ke
depan. Motornya terseret ke pinggit jalan di atas tanah berumput gajah. Si ibu
hanya terguling karena beban tubuhnya. Sedangkan si anak terbuang lebih jauh,
terpental dengan posisi kepala ke bawah lalu membal beberapa kali seperti
permainan Mario zaman Nokia dulu. Terpental-pental dalam posisi salto beberapa
kali. Kemudian si anak terdiam.
“Aneuk
loen! (Anakku!)” si ibu berteriak sambil menghampiri
anaknya yang tidak bergerak di atas rumput. Si ibu pingsan detik berikutnya.
Seorang ibu yang kebetulan lewat menghampiri keduanya.
Napas
saya seperti tertahan, tangan reflek meraba hidung bagian bawah bayi saya.
Tidak ada udara di sana. Ketakutan setengah mati, tangan saya gemetar meraba
dadanya. Masih ada denyut jantung, dadanya masih bergerak naik turun dengan
gerakan lembut.
Tangis
saya pecah, tubuh saya lemas, tangan bergetar semakin hebat. Bayi saya masih
hidup. Kak Caca melakukan hal yang sama begitu benturan terjadi. Refleknya
sebagai ibu langsung meraba bayi saya. Dia juga ketakutan, tapi karena saat
kejadian dia tidur, tidak melihat apa yang terjadi.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi pada ibu yang berbaju hitam itu. Anaknya yang
berbaju kuning, rambutnya sebahu agak pirang. Sopir kami langsung melanjutkan
perjalanan. Ketakutan saya semakin menjadi karena bisa-bisa dituduh mendukung
tabrak lari.
Ternyata
sopir kami mengambil tindakan yang tepat. Dia melajukan mobil ke kantor polisi,
menyerahkan dirinya. Di kantor polisi para penumpang duduk dengan pertanyaan di
kepala, tapi tidak dengan saya. Ketakutan menguasai.
Apalagi
saat polisi bernama Kaisar datang menghampiri kami. Meminta KTP saya sebagai
saksi, lalu bertanya kronologis kejadian dengan detil. Katanya, “tidak apa-apa.
Sopirnya baik, sudah menyerahkan diri. Ini saja sudah meringankan beban.”
Kami
terduduk di ruang tunggu yang luas dan sepi. Kak Caca terus menerus ditelepon
oleh pihak loket Banda Aceh. Saya juga ditanyai kronologisnya. Awalnya saya
ingin merahasiakan dari suami, tapi hati saya menolak. Akhirnya saya membagikan
lokasi terkini pada suami.
Tidak
lama, suami menelepon dan bertanya. Saya ceritakan tanpa detil, saya masih shock
sekali. Saya bahkan menangis sangat bercerita. Ketakutan lebih mendominasi
daripada drama lebay yang dipikir orang-orang.
Sekitar
dua jam lebih menunggu, mobil angkutan dari armada yang sama datang menjemput
ke kantor polisi. Pertama kali saya menginjak kaki di Hi-Ace, rasanya kaki
lumpuh. Untungnya ada Kak Caca yang lebih kuat dan tegar. Tidak terbayang jika
saya berangkat sendiri hari itu. Suami saya juga tenang jika saya kembali ke
Meulaboh bersama teman. Setelah sekian lama meninggalkan tanya dalam hati, saya
yakin inilah alasannya.
Perjalanan
berlanjut seperti biasa. Kami tiba di rumah menjelang maghrib. Kak Caca yang
tadinya tidak berencana menginap di rumah akhirnya memilih menginap di rumah.
Beliau nggak kembali ke kontrakannya. Kami masih sempat mengejar absen finger
print dan langit mulai gelap. Malamnya saya tidak bisa tidur. Terus
terbangun dan adegan itu begitu jelas membayang.
Sama seperti hari-hari sebelum saya menulis ini, bayangan kejadian itu masih terbayang. Saya pun masih terisak dan gemetaran. Suara klakson panjang masih menjadi trauma. Bukan saja melihat angkutan umum atau naik angkutan umum membuat saya membuat napas seoleh terhenti, tapi mendengar suara klakson panjang juga seperti sebilah pedang yang ditusukkan dalam kuping.
Ketakutan itu masih datang tiba-tiba. Bahkan saat menulis ini, kejadian di Lhhok Buya masih jelas terbayang seperti menonton film lama yang diputar ulang. Air mata masih mengalir dan tangan masih bergetar. Semoga dengan menuliskannya, kenangan buruk ini akan terkurung dan terlepas dari ingatan.
0 Komentar