Ini bagian kedua dari Literasi Anak Usia Dini danPendidikan Internasional di Cina dan sebelum melanjutkan membaca bagian kedua ini, pastikan sudah membaca bagian pertama. Nggak masalah kalau dilewatkan begitu saja, tapi ada uraian seru yang tertinggal pastinya.
Dosen Impor dan Mahasiswa Lokal Anti Mandarin
Anti mandarin yang dimaksud di sini bukan mereka
yang nggak mau ngomong bahasa mandarin lagi. Bukan juga karena mahasiswa lokal
yang nggak bisa bahasa mandarin karena kebiasaan di keluarga sudah beringgris
ria. Akan tetapi, ada satu kebiasaan mahasiswa lokal di Beijing khususnya di
kampus saya yang bikin sebal. Mereka sama sekali nggak mau ngomong mandarin
sama orang asing. Pilihannya cuma dua, ngomong Inggris atau nggak temanan.
Salah satu gedung kampus Communication University of China, Beijing. [Photo: cuc.edu.cn] |
Saya punya dua orang teman dekat, satu berasal
dari Xinjiang dan satunya lagi dari Hebei. Gadis Xinjiang ini namanya Guliya,
tapi nama Inggrisnya Angelliya. Kami bertemu karena dipertemukan oleh salah
seorang dosen muslim di kampus. Maksud pertemuan ini agar Angelliya membantu
saya dalam beradaptasi sebagai muslim di kota Beijing. Selain itu juga biar
saya bisa menyelesaikan masalah lebih mudah dengan temanan dengan Angelliya.
Dosen saya ini juga berharap Angeliyya bisa menjadi languange partner untuk saya dalam berbahasa mandarin.
Kenyataannya apa? Kami keasyikan ngomong Inggris
dan bahasa mandarin saya sama sekali nggak berkembang pesat. Angeliyya mengakui
bahasa Inggrisnya lebih baik sejak sering ngomong. Duh!
Cerita lain dengan teman saya asal Hebei. Namanya
Xi Qi alias Noridah. Kami diperkenalkan oleh seorang teman doktoral karena
mereka satu pembimbing. Noridah belajar bahasa Melayu, alasan ini pula yang
mempertemukan saya dan Nori. Anaknya baik dan suka menolong sesama, karakter
langka untuk mahasiswa Beijing. kami dekat menjadi bestie. Saya dan Nori tidak
pernah berbahasa mandarin. Pilihannya berbahasa Melayu atau bahasa Inggris.
Sebagian besar dosen yang mengajar di kelas
internasional juga dosen-dosen yang berprestasi. Bukan saja karya akademiknya
yang internasional, kemampuan di bidang yang diampu juga mengangumkan. Bahkan
mereka melewatkan pendidikan formal di luar negeri. Bahasa asingnya cas cis
cus.
Pernah saya mendapat pembimbing yang sangat
terkenal di China. Saya bangga, dong. Ternyata orang hebat sama sekali tidak
cocok untuk saya yang mengejar waktu untuk lulus. Dosen ini banyak menghabiskan
waktu di Afrika untuk berbagai macam kesempatan seperti mengajar, penelitian,
dan menjadi konsultan hubungan China-Afrika.
Saya pikir akan mudah bertemu dengan beliau.
Beberapa kali saya bertemu dengan asistennya, proposal saya tidak direspon.
Setelah bertemu dengan asistennya yang lihai berbahasa Inggris baru saya tahu
kalau professor yang satu ini akan sangat welcome
menjadi pembimbing saya jika saya mampu berbahasa perancis.
“Beliau bisa bahasa Inggris dengan baik, tapi akan
lebih baik kalau berbahasa perancis. His
french is excellent!” kata sang asisten dengan bangga. Saya langsung mundur
setelah dibuatkan surat rekomendasi pindah pembimbing.
Sudah bukan rahasia juga kalau etos kerja dan
usaha orang Cina sangat maksimal. Kebanyakan dosen saya melakukan penelitian di
luar negeri dan dibiayai oleh lembaga luar negeri. Sementara di kelas
internasional ada tiga empat mata kuliah yang diampu oleh dosen dari kampus
luar negeri.
Sebagai mahasiswa yang pernah bercita-cita kuliah
ke Inggris, saya tentu senang dan bahagia sekali mendapatkan dosen impor. Hanya
saja, untuk metode santai kuliah di Aceh memang agak mengagetkan kuliah dengan
dosen impor yang serius dan berbasis output.
No
Gadget, No Tantrum
Saya sering melihat anak-anak di Beijing sangat
patuh, santun, dan menyenangkan. Saya penasaran kenapa anak-anak di sana jarang
tantrum, apalagi di tempat umum. Ternyata kuncinya ada pada gadget. Orang tua di China tidak
memberikan gadget untuk anaknya.
[Photo: Pexels] |
Pemandangan berbeda saya temukan di Aceh. Saat
orang tua sibuk atau pengen ngopi santai, di samping ortu anak pasti sedang
asyik sendiri dengan gadget. Di China
anak tidak diperkenalkan dengan gadget
untuk bermain. Anak-anak mengenal gadget sebagai
alat komunikasi, bukan hiburan. Mereka tahu caranya menggunakan WeChat,
mengirim pesan, tapi tidak tertarik bermain game atau membuka YouKu.
Anak-anak di sana juga tidak tertarik meminta gadget pada orang tuanya yang sedang
asyik sendiri dengan gadget. Anak-anak
akan memilih asyik sendiri dengan aktivitasnya meski sendirian.
Dari
Taman ke Toko Buku
Di hari-hari libur atau tanggal merah, taman di
Beijing selalu penuh dengan aktivitas keluarga. Sudah menjadi budaya di Cina
untuk bersosialisasi di taman. Tak heran, taman di sana terawat dan
fasilitasnya juga lintas usia. Tidak peduli sedang musim panas atau musim dingin,
aktivitas di taman seperti rutinitas yang harus diikuti selalu.
Orang tua juga membawa anak-anaknya ke toko buku.
Anak-anak dibiarkan membaca buku yang sudah terbuka dan jika ada buku yang
mereka suka, orangtua tidak ragu untuk membeli. Orangtua mendampingi
anak-anaknya membaca buku, sementara orangtuanya seringkali terlihat sibuk
dengan ponsel.
Buku-buku di Beijing sangat murah. Bahkan untuk
buku anak dengan jumlah halaman sampai 400-an dan full color harganya Cuma Rp
30 ribuan. Buku impor saja tidak menggila seperti di sini. Koleksi Usborne
nggak sampe Rp 200 ribuan. Tak heran, untuk pecinta buku, Cina bisa membuat
kalap. Saya sampai harus merogoh kocek jutaan untuk membawa pulang buku-buku
yang saya beli di China. Rasanya tiap bulan ada saja kewajiban untuk membeli
satu atau esksemplar buku setebal bantal untuk dibawa pulang ke Indonesia.
Saya suka buku dengan hard cover. Ini juga mengetkan, harganya nggak sampe Rp 100an ribu.
Sedangkan di Indonesia harganya jebol Rp 200 ribuan, dong. Beberapa buku yang
saya beli di China banyak buku-buku yang berbahasa Inggris. Ada pula yang
berbahasa mandarin dan dicetak mandiri oleh penulisnya. Biasanya tanpa ISBN dan
dijual lepas di bawah jembatan penyebrangan atau toko buku loak, tapi buku ini
kondisinya baru. Buku-buku ini, buku yang ditulis oleh penulis di platfrom dan dicetak terbatas untuk
pembaca yang ingin membaca dalam bentuk cetak.
Saya membeli beberapa buku ini di bawah jembatan
penyeberangan dekat kampus. Satuannya hanya lima yuan saja, atau setara dengan
Rp 10 ribuan. Wow, harga makan siang di kantin kampus saja lebih Rp 10 ribu. Murah
banget nggak, sih?
Ada yang lebih murah dan lebih tidak masuk akal. Buku-buku
re-print like ori yang tanpa cela. Kalau
tidak perhatian, kita justru tidak tahu kalau itu buku bajakan. Saking sama
persis dengan terbitan asli. Layout-nya
rapi, gambarnya terang, kopian halamannya juga sama persis. Kalau diberi kelas,
ini buku KW satu. Kualitas KW premium. Harganya? Cuma Rp 10 ribuan saja. Kalau
beli di taobao (e-commerce di China
yang serupa dengan Shopee) justru lebih murah. Harganya Cuma satu yuan saja
atau setara dengan dua ribuan.
Saya sampai terkecoh saat teman-teman saya membeli
banyak buku di taobao untuk tugas
periklanan mereka. Saya pikir, itu buku-buku asli seperti yang dijual di Wangfujing Book Store. Harganya memang
agak mahal untuk yang sudah terbiasa buku murah. Meskipun kalau dibandingkan
dengan harga buku di Indonesia jauh lebih murah di Beijing sana.
Roommate
saya
asal Korea Selatan yang berkuliah di fakultas periklanan lantas menjelaskan
pada saya, “zhe shi jia de. Women buneng
mai zhen de. Mai bu liao (ini palsu. Kami nggak mampu beli yang asli. Tidak mampu
beli).”
Saya cek dan ricek, lihat dengan seksama. Nyaris sama, tanpa cela, tiada cacat. Tak heran kalau China dijuluki barang palsu kualitas premium. Mereka bisa meniru tanpa cela. Bahkan untuk buku bajakan yang diperhalus dengan istilah reprint atau reproduction.
Jadi, tidak heran kalau pendidikan dan kekuatan literasi di China merata ke semua tingkatan ekonomi. Kalau di banyak tempat Indonesia membaca digolongkan sebagai hobi orang kaya, hobi mewah, atau hobi menghabiskan uang. Berbeda dengan di China, selain harga buku murah, buku gratis pun gampang di dapat untuk berbagai kelompok usia.
0 Komentar