Kisah Seorang Penjual Darah: Cinta Ayah Untuk Tiga Anak di Zaman Revolusi Cina

Judul Buku: Kisah Seorang Pedagang Darah • Penulis: Yu Hua • Penerjemah: Agustinus Wibowo • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: 2017) • Tebal: 288 hal • ISBN: 978-602-03-3919-1

--o0o--

Judul ini membuat saya takut. Sejujurnya Kisah Seorang Pedagang Darah menimbulkan persepsi yang berbeda dengan yang saya pikirkan. Saya pikir, ini pasti cerita seram tentang seorang yang jahat. Sejenis trafficking lah. Ternyata membaca persepsi saya sama sekali tidak sama dengan apa yang saya pikirkan.

Kisah Seorang Penjual Darah bisa dibaca di digilib iPusnas.
[Photo: Bookstagram Oliverial]

Yu Hua menulis dengan detil, Agustinus wibowo menerjemahkan sangat asyik. Meskipun bagi sebagian besar pembaca Agustinus Wibowo, katanya ini terjemahan paling nggak asyik dari si penerjemah. Sejujurnya, ini pertama kali saya membaca karya Yu Hua dan penerjamah Agustinus Wibowo. Akan tetapi, saya memiliki kesan yang positif terhadap Kisah Seorang Pedagang Dagang ini.

Xu dan Xu

Berkisah tentang Xu Sanguan, lelaki yang ketagihan menjual darah untuk menyelesaikan segala kesulitan dalam hidupnya. Awal mulanya dia menjual darah karena tergoda dua pemuda dari desa. Dia juga menggunakan uang hasil menjual darah untuk menikahi Xu Yulan.

Kehidupan sebelum masa revolusi China yang tidak begitu baik mengajarkan Xu Yulan yang pintar untuk berhemat tetapi tetap tampil menarik. Sayangnya, sebuah petaka muncul. Setelah sekian lama merawat dan membesarkan tiga anak lelaki yang dikira anak Xu Sanguan dan Xu Yunlan, Xu Sanguan baru menyadari bahwa anak pertama mereka bukan anak dia dan Xu Yulan, tapi hubungan Xu Yulan dengan He Xiaoyong. Dia mengamuk dan sempat ingin membuat Yile kembali pada orang tuanya. Namun, He Xiaoyong tidak mau menerima Yile. Dia malahan tidak mengakui Xu Yile sebagai anaknya dengan Xu Yulan. Masa iya kecelakaan sekali bisa menghasilkan anak. Begitu pikir He Xiaoyong.

Yile merasa sedih dan Xu Yulan meratapi kekacauan suaminya. Pada akhirnya Xu Sanguan tidak bisa melepas Yile begitu saja. Terutama saat krisis yang terjadi pada masa revolusi. Xu Sanguan semakin menerima Yile sebagai anaknya.

Kisah ini cukup menyentuh, terutama karakter tokohnya yang unik. Xu Yulan yang suka meratap membocorkan rahasia rumah tangga di depan pintu. Membiarkan orang sekampung tahu masalah keluarga mereka. Bahkan tanpa tahu malu membuka aibnya sendiri untuk orang lain.

Berbeda dengan orang tuanya yang sangat-sangat absurd, di buku ini juga dibahas masalah anak-anak. Meskipun dilahirkan dari rahim ibu yang sama, tapi setiap anak berbeda dengan keunikannya masing-masing. Tingkat kesetiaan anak yang berbeda dan juga perjuangan seorang ayah untuk anaknya.

Di sini kita semakin dipertegas bahwa ortu tidak pernah membuang anak-anaknya sampai titik darah terakhir. Sekalipun itu bukan anak kandung yang dibesarkan. Cinta ortu sepanjang hidup. Saya sangat tersentuh ketika Xu Sanguan terus menerus menjual darahnya sepanjang perjalanan untuk membayar biaya rumah sakit San Yile.


Foto Mao Zedong di Tian'anmen Square
[Photo: Pexels]


Ketika dewasa, Xu Yile adalah anak yang paling berbakti dibandingkan dua anak kandung Xu Sanguan. Di sini agak miris, sih. Xu Yile pernah dibuang, diasingkan karena bukan anak kandung. Ketika dewasa justru dia yang paling berbakti.

China Masa Revolusi

Membaca novel ini, kita bisa membayangkan China sebelum dipimpin oleh Mao Zedong dan kehidupan mereka yang sulit. Recommended banget buat pecinta historical fiction dan pentingnya makna keluarga. Bahwa keluarga itu selamanya akan menjadi tempat bersandar, rumah untuk pulang, dan tempat menangis pada saat suka dan duka.

Saya membaca novel ini versi digital novel ini iPusnas. Jadi, kalau mau icip-icip dulu sebelum memutuskan koleksi. Tersedia banyak di pustaka digital kesayangan kita ini.

Posting Komentar

0 Komentar