Setiap perjalanan ke tempat baru tentu melibatkan first impression. Ya, kesan pertama. Begitu juga saya ketika pertama kali mendarat di Beijing Capital International Airport (BCIA), China. Bisa dikatakan, ini bukan pertama kali saya mendarat di bandara China. Tahun sebelumnya (2012) saya sudah pernah mendarat di Xiamen Gaoqi International Airport (XGIA), Fujian, China. Waktu itu saya tidak begitu terkesan. Mungkin juga karena kekaguman saya sudah tersedot oleh Changi International Airport, Singapura. Penerbangan dari Jakarta ke Xiamen mengharuskan kami transit di Singapura. As you know, bandara Changi ini is the best airport in the world.
Berbeda ketika saya mendarat di BCIA, saya
mendapat kesan pertama yang wow. Dalam bahasa mandarin, BCIA disebut dengan Beijing Shoudu Guoji Jichang, kalau
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bandar udara internasional ibukota
Beijing. Kode penerbangan yang mendarat di bandara ini PEK. Wajar jika saya
terkagum dengan bandara ini, karena BCIA adalah bandara kedua tersibuk di
dunia. Kehidupan di dalam bandara tidak kenal siang dan malam, 24 jam selalu on.
[Photo: Pexels] |
Sebelum berangkat ke Beijing, orang-orang
mengingatkan. Mungkin jarak bandara ke kampus jauh sekali, seperti Lhokseumawe
ke Banda Aceh.
Waktu itu saya nggak langsung percaya, dong. Ada
Mbah Google yang selalu sukarela memberi informasi yang lumayan akurat.
Lokasinya masih di distrik Chaoyang, distrik yang sama dengan kampus saya
berada. Itu tandanya tidak begitu jauh. Distrik ini bisa disebut juga seperti
kecamatan, tapi dalam ruang lingkup yang sangat luas. Jarak antara ujung ke
ujung kota Beijing sekitar lima jam jika ditempuh dengan bus, itupun kalau
tidak macet. Jarak ini sama dengan jarak dari kota Banda Aceh ke Meulaboh atau
dari Banda Aceh ke Bireun tanpa macet.
Pesawat Air Asia yang saya tumpangi mendarat di
Terminal tiga. Semua penerbangan internasional memang bertolak dari sini. Ada
juga yang dari Terminal 2, tergantung maskapai penerbangannya.
Begitu pesawat mendarat dan keluar dari benda besi
itu, suasana dan aroma langsung berubah. Aroma China langsung tercium. Bukan
bau bawang putih, lho. Namun ada aroma pengharum ruangan yang khas terhidu
indera penciuman yang sulit saya gambarkan. Mungkin salah satu jenis wewangian
dari salah satu dinasti yang pernah eksis di masa lalu.
Lorong yang menjadi jalan utama ke gedung bandara
dialasi karpet empuk anti selip dan redam suara. Mau berlari atau pakai hak
tinggi, dijamin nggak pletak pletok. Wibawa kita sebagai perempuan yang ingin
tampil stylist dan modis masih
terjaga meski buru-buru.
Saya ingat pakaian yang saya kenakan sangat pertama kali ke Beijing. Maxi dress warna putih dengan bagian atas full serut, bagian bawah ada bunga-bunga yang dominan orens. Penampilan saya dilengkapi dengan blazer hitam untuk menghalau dingin di dalam pesawat. Sebenarnya ini juga salah satu strategi untuk mengosongkan bagian koper. Blazer biasanya memakan tempat yang lumayan di dalam koper. Jadi, memakai blazer itu sudah menyelamatkan sebagian besar tempat dan dapat diisi beberapa potong pakaian. Jilbab saya kerudung segi empat warna orens dengan payet bagian kepala. Jilbab paris dengan payet untuk casual outfit sedang trend juga masa itu. Saya pakai wedges Fladeo warna cream setinggi tujuh sentimeter. Waktu itu saya sudah terlatih menggunakan hak tinggi karena bekerja di LP3I yang menuntut penampilan dosennya harus modis.
Saya tidak pakai sling bag atau hand bag
atau quilted seperti kebanyakan cewek
naik pesawat. Saya pakai ransel super besar yang saya beli dari hasil menulis.
Tas ransel keluaran Eiger ini sebenarnya sangat bentrok dengan penampilan saya
hari itu. Selain membuat saya tenggelam dalam besarnya tas, saya jadi terlihat
seperti salah kostum. But, I don't care.
Tas itu isinya dokumen penting dan paspor yang kata orang adalah nyawa utama
ketika tinggal di luar negeri.
Kesan utama langsung terasa begitu masuk ke gedung
utama bagian imigrasi. Hall-nya besar
sekali, ramai dengan manusia dari berbagai ras. Ramai, tapi tidak penuh. Padat,
tapi tidak sesak. Semuanya mengantri dengan teratur. Di tangan masing-masing
sudah tergenggam paspor dan arrival card
berwarna kuning. Di sana terisi data diri dan penerbangan.
Saya ikut mengantri di salah satu line. Sengaja saya pilih line ujung karena sempat mendengar ada
orang yang bicara bahasa Indonesia logat ibukota. Seperti mahasiswa Indonesia
yang kuliah di Beijing. Mereka bergerombol dan tampak inklusif. Tidak berniat menyapa atau beramah
tamah dengan siapapun. Awalnya saya hendak menyapa.
Jiwa ekstrovert dan sanguinis saya sudah mulai
meronta untuk membuat pertemanan baru, tapi batal karena ternyata mereka bukan
tipikal orang yang senang berbasa basi.
Mereka didampingi perempuan paruh baya yang saya
duga leader dari kelompok ini. Dia
mengunpulkan paspor secara kolektif, lalu membagikan kepada pemiliknya, lantas
mengatur barisan untuk tiap line agar
bisa keluar dari box imigrasi
bersama. Belakangan saya baru tahu jika anak Indonesia yang datang ke Beijing
kebanyakan didampingi oleh agen yang mereka sewa di Jakarta untuk mendampingi
proses pendaftaran ulang di kampus Beijing.
Saya berdiri di antrian tepat di belakang mereka.
Berharap salah satu dari mereka ada yang kuliah di kampus yang sama dengan
saya. Ternyata tidak. Rata-rata mereka kuliah di Beijing Normal University dan Beijing
Languange and Culture University. Ada juga yang kuliah di University of International Business and
Economic. Setidaknya malam itu di bandara saya nggak merasa terlalu asing.
Beijing Normal University (BNU), salah satu kampus favorit pelajar Indonesia. [Photo: Search by Google] |
Tiba di depan petugas imigrasi, ada satu keuntungan
karena mengekor gerombolan anak ibukota ini. Petugas hanya menanyakan mengapa
belum ada residence permit yang
tertempel di paspor saya. Dia hanya
memastikan kalau saya anak baru atau bukan. Saya jawab yes dan prosesnya lancar jaya. Karena keramahan petugas dan tidak
mempersulit, saya menekan tombol excellent
untuk pelayanan si petugas itu.
Ketika keluar dari bagian imigrasi, saya tidak
melihat lagi gerombolan itu. Mereka sudah keluar jauh. Dari bagian imigrasi ada
lorong lebar yang langsung mengarahkan pengguna bandara menuju ruang yang
sangat luas. Lebih luas dibandingkan di KLIA. Di sini ada dua pilihan. Pilihan
ke kiri, penumpang langsung diarahkan ke bagian pengambilan bagasi. Ke kanan,
penumpang bisa cuci mata dan makan-makan dulu di cafe yang tersedia. Ada small
shop juga buat menghabiskan uang. Bukan rahasia kalau barang yang dijual di
bandara sangat mahal, kan?
Pegangan uang kas saya sangat terbatas. Saya juga
belum tahu berapa banyak yang saya butuhkan untuk taksi dan bertahan hidup di sana.
Satu-satunya kebutuhan saya waktu itu adalah simcard lokal untuk mengabari keluarga di tanah air.
Keputusan saya memilih ke hall kiri, mengambil bagasi. Sebelum berbelok saya sempat melihat
di bagian kanan ada konter China Mobile,
salah satu provider kartu prabayar
untuk digunakan. Setelah mengambil bagasi, ternyata saya salah jalan. Saya
mengikuti petunjuk exit yang mengarah
ke pintu keluar.
Kemampuan berbahasa mandarin saya sangat terbatas,
jadi saya tidak berani putar balik untuk masuk lagi. Akhirnya saya duduk di
kursi yang disediakan di arrival hall
menunggu pagi.
Selama di sana, saya sempat makan KFC sebagai
makan malam sekaligus makan sahur. Bertemu dengan orang-orang yang tidak saya
kenal sebelumnya, membuat pertemanan baru, menikmati toilet BICA dan lain-lain.
Episode toilet ini paling kocak, sih. Meski saya
pernah ke China sebelumnya, saya lupa kalau pengguna toilet umum di negeri ini
agak nggak tahu malu. Mereka biasa saja berjongkok buang air besar atau air
kecil dengan kondisi pintu terbuka.
Begitu masuk, saya langsung terpesona dengan
kebersihan toiletnya. Tidak sekinclong di Singapura memang, tapi tergolong
sangat bersih sekali. Kering dan tidak bau pesing. Toilet di KLIA masih kalah.
Waktu itu saya langsung berlari ke salah satu bilik
yang pintunya terbuka. Ternyata ada nenek-nenek cleaning service lagi jongkok. Saya auto menjerit dan pindah ke
bilik lain. Si nenek mingkem saja nggak ada reaksi. Seperti hal biasa kalau ada
yang kaget.
Nggak lama kemudian, beliau keluar dan terdengar
suara flush air. Saat saya keluar
dari bilik, si nenek sedang berjalan keluar juga.
Saya menyimpulkan di pendaratan
pertama Beijing. Orang-orang yang saya temui di arrival hall sangat ramah dan terbuka. Tidak ada pikiran buruk
tentang mereka seperti berbagai peringatan tentang orang asing yang kita temui
di bandara. Saya juga bertemu dengan dua orang backpacker asal Malaysia. Satu sedang berkuliah di London dan
satunya lagi calon pilot. Mereka ramah dan suka membantu. Merekalah yang
pertama menyapa saya dan menawarkan jasa jaga koper kalau saya hendak ke kamar
mandi.
0 Komentar