Get Lost and Survive in Beijing

 Kata orang, cara terbaik untuk belajar adalah pengalaman. Cara tepat untuk mengingat tempat adalah tersesat. Saya mendapat keduanya ketika berada di Beijing dan tersesat.

Ceritanya, teman saya yang punya kemampuan berbicara bahasa mandarin dan sering lupa hanzi sedang galau. Dia memutuskan untuk get lost di Beijing agar dapat pengalaman katanya. Ingin keliling kota Beijing yang sumpek dan glamor.


[Photo: Pexels]

Dia mengajak saya, tapi saya enggan menemani perempuan yang suasana hatinya berubah secepat lampu lalu lintas. Dia memaksa ikut dan saya terpaksa ikut. Kami menumpang bus agar mendapat ongkos lebih murah. Saya tidak keberatan, toh duit di dompet saya sangat terbatas.

Kami pun menumpang bus dengan acak. Lalu turun di halte yang menurut kami punya lokasi bagus. Kami turun tanpa mengetahui nama tempat. Untuk saya yang baru sebulan di Beijing, petunjuk halte sama sekali tidak berfungsi. Saya tidak bisa baca hanzi, saya juga tidak paham semua hal yang dijelaskan di halte itu.

Kami tersesat di area yang tidak banyak gedung tinggi, apalagi estetik. Yach, seperti pencarian gambar di Google, gedung-gedung di Beijing bentuknya sangat indah dan luar biasa estetikanya. Kami berada di tepi kota Beijing. Begitu kesimpulan teman saya.

Saya percaya saja. Di sana tidak ada subway. Hanya bus. Teman saya bolak balik menggunakan aplikasi Pleco untuk menerjemahkan hanzi di halte. Kami menumpang bus nomor sekian untuk halte kesekian.

Kami resmi tersesat. Karena beberapa kali putaran kami berada di tempat yang sama terus menerus. Waktu itu saya juga belum punya kartu transportasi. Tarif bus lebih mahal.

Jatah makan satu kali sudah habis untuk ongkos bus. Sial, memang! Kawan saya mulai marah-marah. Dia kesal karena tersesat, padahal dari awal niatnya memang ingin merasakan get lost. Dia mulai menyalahkan saya yang nggak bisa bahasa mandarin.

Dia yang membuat keputusan, dia yang marah, dia pula yang memberi solusi. Katanya, "kita naik subway balik ke kampus. Tapi ongkosnya mehong. Lo jangan protes!"

Waktu itu saya cuma menjawab, "ini sudah pukul sebelas malam. Terpenting kita sampai asrama dengan selamat."

Setelah bertanya pada orang-orang sekitar, kami disarankan naik bus sekitar sepuluh stasiun ke stasiun subway terdekat. Kami menurut dan ternyata kami juga tersesat.

Kami masuk ke pedesaan Beijing. Terlihat persawahan kosong, gudang penyimpanan hasil tani seperti di game, dan suasana sepi. Kami tidak menunggu sampai halte kesepuluh, tapi turun di halte keenam dan kembali naik bus yang berseberangan arah.

Kemampuan bahasa seseorang akan meningkat ajaib saat dia berada di situasi terjepit. Saya membuktikan itu. Teman saya ini suasana hatinya sudah buruk sekali. Dia sudah marah setengah mati pada diri sendiri ntah pada siapa. Saya memberanikan diri mendekati shifu bus ketika bus berhenti di salah satu halte.

"Shifu, ditie zhan zai nar? Women xiang qu ditie zhan, danshi women bu zhidao (Shifu, stasiun subway dimana? Kami ingin pergi ke stasiun subway, tapi kami tidak tahu)," tanya saya memberanikan diri.

Shifu berbicara dalam bahasa mandarin aksen Beijing yang cepat dan kumur-kumur. Saya hanya mengatakan hao hao hao (baik, baik, baik), padahal sama sekali tidak mengerti. Saya hanya menyimpulkan shifu mengatakan kalau tiba di ditie zhan (stasiun subway) akan diturunkan.

Tebakan saya benar. Kami diturunkan di pinggiran kota Beijing dekat stasiun terdekat. Shifu memberi petunjuk, tapi saya tidak paham. Lantas kami berusaha bertahan dan berjalan melihat tanda plang jalan berwarna biru.

Setelah berjalan puluhan meter, kami melihat lambang subway. Kami tiba di sana dan segera memasuki peron subway. Ada empat kali pindah line. Untungnya kali tiba di line Sihui East tepat waktu. Subway terakhir segera berangkat. Kalau tidak kami harus naik overnight taxi yang biayanya bikin nangis. Atau jalan kaki dari Sihui East ke kampus.

Posting Komentar

0 Komentar