Bagi orang di luar Aceh, meugang adalah satu kata asing yang sulit dipahami artinya. Ada yang mengartikan dengan megang (memegang) ataupun kata lain yang sesuai dengan kosa kata di daerahnya. Di Aceh, kata ini memiliki makna yang berbeda dan membawa kebahagiaan. Kata meugang mengingatkan orang Aceh pada tiga hari besar Islam yang dirayakan dengan meriah, yaitu menyambut bulan puas, idul fitri, dan idul Adha.
Meugang
sendiri
sudah dilaksanakan sejak era kejayaan Kerajaan Aceh. Meskipun di era modern ini
meugang terlihat meriah hanya menyambut lebaran dan idul fitri saja,
tapi menyambut Idul Adha juga banyak yang merayakan dengan meriah. Tentu saja,
meskipun Aceh dikenal meriah menyambut bulan-bulan besar Islam, tapi kembali ke
daerah kabupaten masing-masing. Ada yang meriah dan tidak.
Pembeli mendatangi lapak penjual daging yang menjamur di hari meugang. [Photo: Search by Google] |
Meugang
sendiri
tradisi turun menurun yang diwariskan. Ia tidak memandang status sosial, karena
semua orang berhak merayakan ‘tradisi makan daging’ ini. Miskin kaya, susah
senang, meugang menjadi bagian yang
tidak tertinggal jika seseorang erat memegang tradisi Aceh.
Selama hidup, saya berpindah dari satu kota ke
kota yang lainnya. Terkadang di hari raya saya masih nyangkut di kampung orang.
Sebagai perantau persendirian, seringkali meugang
menjadi terpinggirkan. Meugang itu
bukan soal biaya saja, tenaga dan kemampuan di dapur juga ambil peran.
Saya lahir di Pidie, kabupaten yang sedikit lebih
dekat ke Banda Aceh, ibu kota provinsi. Meugang
di sini saya lewati ketika masa
seolah dasar saat orang tua dari mamak (ibu) saya masih hidup. Mereka akan
merayakan meugang semegah-megahnya
sesuai dengan kemampuan. Bahkan menurut saya melebihi kemampuan finansial.
Ada satu hal yang saya ingat dari kata-kata
almarhumah nenek saya saat kecil. Meugang
adalah kebahagiaan. Jangan sampai kesulitan hidup membuat kita terlihat
sedih dan muram karena tidak mampu merayakannya dengan layak.
Waktu itu, saya mendengar suara kelapa dibelah
dari setiap rumah. Saya juga mencium aroma rempah dari tiap dapur menguar dan
terhidu ke hidung. Sereyot apapun rumahnya, sesulit apapun kondisi penghuni
rumah, meugang adalah tradisi yang
dijalani dengan suka rela.
Bagi orang luar, tradisi ini terlihat memaksakan
dan tidak masuk akal. Sebenarnya tidak, karena tradisi meugang pada dasarnya tradisi berbagai kebahagiaan. Sesama warga
akan saling berbagi apa yang mereka miliki untuk orang yang lebih susah ekonomi
keluarganya. Mulai dari segenggam garam sampai sebongkah daging, apa saja akan
diberikan untuk tetangga yang kesulitan. Intinya mereka tidak akan membiarkan
tetangga bersedih di hari meugang.
Berbeda dengan di Takengon, kota dingin tempat
saya menghabiskan masa kecil. Meugang di kota ini berbeda level kemeriahannya dengan
Pidie. Dataran tinggi Gayo tidak memiliki khas meugang seperti di Aceh bagian pesisir lainnya. Di Takengon, meugang itu urusan pribadi dan tetap
dirayakan dengan meriah sesuai dengan batas kemampuan.
Meskipun tidak jor-joran keluar uang beli daging,
tapi meugang tetap dirayakan. Uniknya,
mereka tidak merayakan dengan kewajiban membeli daging. Jika kemampuan keluarga
membeli daging kerbau atau sapi, mereka akan merayakan meugang dengan hidangan ini. Kalaupun tidak ada, maka tidak masalah merayakan meugang dengan hidangan lain.
Awalnya saya agak heran mengapa mereka meugang dengan ayam, bebek, ikan, bahkan
telur saja. Hanya saja, jumlah dan jenis menunya tidak seperti biasa. Olahannya
lebih istimewa daripada hari biasa. Semisal olahan telur untuk makan
sehari-hari dimasak dengan menu telur dadar belah empat, di hari meugang telur dadarnya sudah berganti
menjadi gulai telur dengan aroma rempah yang terasa.
Di usia saya yang menjelang hampir menyelesaikan kuliah sarjana, meugang di Aceh Singkil yang berbatasan dengan
Sumatera Utara tidak pernah terbayangkan. Saya malah mengalami meugang Idul Adha di tanah Hamzah Fansuri
itu. Di sini, saya kembali dikejutkan dengan budaya baru yang dijalani oleh
suku Pak Pak, Batak, Boang, dan Aceh.
Bagi suku Aceh perantauan ke Singkil, mereka masih
melaksanakan tradisi meugang dengan
segala keriuhannya. Mereka bahkan mengundang anak Aceh perantau untuk menikmati
hidangan daging dan makan bersama. Meski kemeriahannya berbeda dengan Aceh
pesisir seperti Banda Aceh, Pidie dan sekitarnya, rasa meugang yang dijalani oleh keluarga Aceh umumnya masih terasa. Akan
tetapi, ada juga perantau Aceh yang tidak lagi menjalani tradisi meugang di kabupaten ini.
Ketidakhadiran merayakan tradisi disebabkan oleh
berbagai macam sebab. Ada yang sudah terlalu lama di rantau dan menjadi bagian
dari keluarga di sana, meugang bukan
lagi menjadi kewajiban. Ada yang didesak fantor ekonomi, tapi tidak ada
lingkungan yang mendukung perayaan ini. Ada pula yang menjalani pernikahan campuran
dan sudah turun temurun berubah budaya. Meugang
bukan lagi tradisi, tapi hanya istilah yang dikenal milik orang Aceh.
Saat kuliah di Banda Aceh, meugang bagi anak kos penderitaan sekaligus makan enak dalam tempo
singkat. Bayangkan saja, meugang selama
dua hari artinya kami akan kelaparan jika mengandalkan lauk pauk di warung
nasi. Tidak ada warung nasi yang buka. Sebaliknya, akan ada orang-orang baik
yang mengundang makan di rumahnya.
Meski begitu, nggak sesedih yang dipikirkan, kok. Jika
ngekos dengan sesama anak Aceh, meugang menjadi
tradisi anak kos juga. Biasanya kami akan patungan untuk belanja meugang. Membeli daging dan memasak
rendang, kari, atau apa saja yang bisa kami makan. Di sini tumbuh satu nilai
baru antar anak kos. Kekeluargaan.
Rendang sebagai salah satu hidangan favorit saat meugang. [Photo: Pexels] |
Saat saya menikah ke Aceh Besar, meugang menyambut hari raya Idul Adha
tidak semeriah dengan meugang menyambut
puasa dan lebaran Idul Fitri. Hanya satu dua keluarga yang membeli daging dan
memasak di rumah. Sebagian besar keluarga memasak bebek dan sibuk mempersiapkan
aneka rempah untuk bumbu aneka olahan daging. Meski meugang dilaksanakan sebelum lebaran, kesibukan sebenarnya adalah
di hari raya pertama setelah shalat eid. Aneka menu daging terhidang.
Saya hijrah domisili ke Aceh Barat karena tugas
negara. Di sini meugang dirayakan
sejadi-jadinya. Katanya di kabupaten ini banyak keturunan raja dan bangsawan
Aceh di zaman dulu. Tidak heran, di sini pula banyak ditemukan nama dengan
gelar Teuku dan Cut. Di kota ini, saya melewati meugang dengan kesepian. Karena semua orang sibuk di rumah mereka
berhari-hari.
Sehari sebelum meugang,
pasar tradisional penuh sesak. Harga barang melonjak. Lapak daging tersebar
di sepanjang jalan seperti halnya di daerah Aceh lainnya. Bedanya kesepian
pasar di kota ini tidak hanya berlangsung selama dua hari saja, tapi sampai
seminggu sebelum dan memasuki hari besar. Perantau seperti saya yang
mengandalkan kios kecil atau warung nasi untuk bertahan hidup tentu melalui
hari dengan tidak mudah.
Semakin dewasa, saya semakin paham makna meugang bukan sekedar makan daging. Meugang menjadi sesuatu yang besar untuk
hidup setiap orang Aceh. Merayakan kebersamaan, mengingat usaha dan jerih payah
selama ini, dan merakan rezeki dari Allah. Ya, kekikiran terhapus di hari meugang. Jerih payah yang selama ini
terkumpul dikeluarkan untuk menghargai tubuh menikmati usaha.
10 Komentar
mba penasaran banget saya sama tradisi ini, kebersamaan dan kemeriahann hari raya pasti berkesan banget.
BalasHapusBanget, Mba. Malahan waktu merantau ke daerah yang nggak ada meugangnya, saya tetap jalani tradisi ini, ada rasa bahagia banget saat berbagi makanan meugang.
HapusWah, jadi tahu tradisi meugang. Di Aceh, rendang juga jadi makanan favorit ternyata ya, Mba
BalasHapusIya, Mba. Tapi kata temanku yang orang Minang, rendang Aceh nggak sama dengan rendang Padang.
HapusKeren sekali kak. Ternyata segala sesuatu budaya pasti ada yang positif.
BalasHapusAlhamdulillah sangat positif, meski banyak orang Aceh yang mulai menempatkan ke dalam negatif karena kerempongannya.
HapusSangat inspiratif kak. Jadi lebih banyak tahu tentang kebiasaan dan budaya di daerah tertentu.
BalasHapusTerima kasih, Kak. Semoga ada kesempatan di Aceh pas meugang, ya.
HapusKebiasaan" suatu budaya di daerah yang baru saya ketahui
BalasHapusSiapa tahu ntar dapat kesempatan main ke Aceh. Beragam budaya baru akan jadi hal yang dirindukan.
Hapus