Pengalaman
membaca sama halnya dengan pengalaman yang lain. Ada saat pertama kali dalam
hidup, ada pula saat-saat ingin berhenti melakukan Ketika ia sudah menjadi
kebiasaan. Saya juga termasuk orang yang pernah mengalami masa-masa ini dimulai
dari usia Sekolah Dasar. Ketika pertama kali jatuh cinta pada buku berjudul
Albert Einstein, buku cerita bergambar yang dibeli di lapak buku bekas oleh
ayah.
Di
kelas empat SD, teman sekelas ada yang jatuh cinta pada membaca. Dia suka
membaca komik. Berbagai jenis komik ada padanya. Kami memanggilnya Edat. Segala
jenis genre komik pernah dibawa Edat ke sekolah. Awalnya saya diberi pinjam
gratis. Setelah beberapa kali meminjam, dia mulai berbisnis. Komik-komik yang
dia sewa dari tempat penyewaan buku dia sewakan kembali. Uang jajan kami yang
biasa dibarter dengan jajan bu guru di kantin berpindah ke dalam dompet kantung
Winnie the Pooh si Edat.
[Photo: Search by Google] |
Edat
memperkenalkan saya pada komik serial Topeng Kaca, Candy-Candy, Pengantin
Demos, serial cantik, serial misteri, sampai nama-nama komikus Jepang yang
karyanya selalu saya nantikan. Sekarang saya menyadari sesuatu, selain punya
andil meracuni anak kelas empat SD dengan buku, Edat juga membaca bacaan yang
tidak sesuai umur seperti Pengantin Demos. Lucunya, itu baru saya sadari
saat heboh-heboh sastra masuk kurikulum. Tanpa kami sadari, kami sudah membaca
buku-buku yang agak di luar usia kami.
Meskipun
seisi kelas mulai keranjingan membaca, tingkat literasi guru-guru kami di
sekolah lumayan rendah. Bagaimana tidak, mereka hanya melihat Edat melakukan
bisnis penyewaan komik illegal di sekolah tanpa mendapat teguran. Bahkan guru
tidak peduli tentang apa komik yang kami baca. Di mata para guru, komik adalah
bacaan untuk anak-anak karena banyak gambarnya. Pengantin Demos dianggap
setara dengan Doraemon karena itu KOMIK.
Di
masa kecil, kecepatan membaca saya nggak seimbang dengan jumlah uang jajan.
Uang jajan saya hanya mampu menyewa dua komik dari Edat. Sementara kecanduan
saya sudah parah. Demi mengobati rasa ingin tahu saya, pustaka sekolah adalah
solusi paling bijak. Sayangnya, kondisinya justru kurang bijak.
Bayangkan
saja, tempat yang disebut pustaka itu adalah ruang kepala sekolah yang disekat
dengan empat buah rak buku di sebuah ruang kelas. Empat rak buku ini membentuk
sebuah ruang privasi kepala sekolah. Buku-bukunya tidak banyak, tapi ada satu
rak isinya buku cerita anak-anak. Hanya satu rak saja. Untuk tiap judul
jumlahnya hanya satu saja. Menyedihkan sekali jika mengingat itu perpustakaan
sekolah.
[Photo: Pexels] |
Buku-buku
terbitan Balai Pustaka yang berisi cerita how to tersedia di sana.
Setiap jam istirahat, saya akan meminta izin membaca buku di sana. Meminjam
satu judul buku untuk saya bawa pulang dan membacanya di rumah. Jangan tanya
bagaimana senangnya saya saat mengetahui hal-hal baru seperti menemukan barang
langka.
Kebahagiaan
saya nggak berlangsung lama. Kebiasaan saya ke ‘pustaka sekolah’ itu diamati
oleh kepala sekolah dengan tanggapan negatif. Beberapa guru mendapat teguran
karena membiarkan saya masuk. Kemudian beberapa teman yang teracuni membaca
juga ikut-ikutan ke pustaka untuk pinjam buku. Kepala sekolah akhirnya melarang
kami untuk membaca buku cerita, katanya membuat bodoh dan berdampak tidak lulus
SD.
Saya
tidak percaya, meskipun teman-teman sudah menyerah dan memilih meminta jajan
lebih banyak dari orang tua mereka buat menyewa komik pada Edat. Kalua ada
waktu, saya berusaha mendekati wali kelas yang killer dan meminya pinjam
buku. Bu guru bilang tidak boleh, maka saya nurut.
Kebiasaan
membaca di waktu SD ternyata memberi dampak positif untuk saya. Saat duduk di
bangku kelas satu Tsanawiyah (setingkat SMP), saya mendapat nilai tertinggi
untuk Pelajaran Bahasa Indonesia. Sayangnya hanya untuk bidang menulis dan menceritakan
kembali cerita pendek yang dibaca saja. Untuk tata bahasa seperti penggunaan
SPOK saya kalah telak. Ntah apa yang sulit.
Karena
itu pula, guru bahasa Indonesia lebih perhatian kepada saya dan suka
merekomendasikan saya untuk mengikuti lomba menulis atau membaca cerita setiap
akhir semester. Waktu itu di kabupaten saya ada lomba antar sekolah sebagai
penguatan ekskul setiap akhir catur wulan atau semester. Lomba ini diikuti oleh
perwakilan setiap sekolah untuk menguatkan nama sekolahnya.
Beberapa
kali saya direkomendasikan untuk ikut, tapi saya selalu gagal menjadi
perwakilan. Dikalahkan oleh para murid-murid populer sekolah. Waktu itu ada
istilah yang beredar di kalangan murid yang popularitasnya menengah ke bawah.
Pintar itu nggak penting, yang penting caper sama guru biar dapat juara kelas
dan dikirim ikut lomba. Meskipun nggak terima, tapi itu kenyataannya.
Saat
masuk ke Aliyah (setara SMA) saya mulai mengubah diri. Saya nggak lagi mau
menjadi bayang-bayang anak-anak popular. Diajak bergabung Cuma untuk jadi
‘dayang-dayang’ mereka. Terutama kalua ada tugas Bahasa Indonesia. Begh,
dimintai bikin puisi, cerpen, bahkan menulis cerita berdasarkan kisah
pribadi mereka. Biasanya cerita cinta atau naksir sama cowok. Saya terima saja
karena memang senang menulis.
Di bangku Aliyah saya punya sirkel sendiri. Tidak popular, tapi cukup dikenal sebagai ketua kelompok. Kami anak-anak yang dianggap culun karena suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau di dalam kelas. Apalagi kalua bukan baca buku cerita. Saat Aliyah, membaca novel adalah kewajiban untuk siswa demi memenuhi kurikulum bahasa dan sastra Indonesia. Meskipun di antara 40 siswa, hanya tiga empat orang saja yang benar-benar membaca. Seperti biasa, teman-teman lain Cuma numpang dengar ringkasan saja dari teman-teman yang sudah membaca.
Guru
bahasa Indonesia kami juga nggak asyik-asyik amat. Saya bahkan sudah lupa apa
yang diajarkan beliau dulu. Selama sekolah, guru bahasa Indonesia yang
menyenangkan saya temui saat kelas tiga di bangku Aliyah. Gurunya suka membaca
dan tahu banyak soal sastra. Ini membuat saya yang sudah terlanjur jatuh cinta
pada buku semakin semangat ke perpustakaan hanya untuk membaca novel di jam
istirahat demi memahami alur berpikir guru bahasa Indonesia kami.
Namanya
Siti Zubaidah, teman-teman dan koleganya sesame guru memanggil beliau dengan
sebutan Bu Jubeth. Bu Jubeth dikenal killer dan pilih kasih. Beliau
hanya menyukai cewek-cewek cantik dan pintar saja. Saya nggak termasuk ke dalam
dua kelompok itu, nggak pintar apalagi cantik. Saya-saya benar terbuang.
Bu
Jubeth mengajar kelas tiga, tapi pernah mengajar di kelas kami selama dua bulan
karena guru bahasa Indonesia yang biasa mengajar kami cuti melahirkan. Beliau
memberikan tugas untuk membaca dan mengulas novel dan menulis cerita pendek.
Dari awal masuk kelas, saya merasa Bu Jubeth tidak menyukai saya. Dari sikapnya
dan lirikan maut matanya membuat saya ketakutan.
Satu
hari beliau bertanya di kelas, “siapa yang sudah membaca sepuluh cerpen dalam
sebulan?”
Tidak
ada yang mengangkat tangan. Entah kenapa, saya merasa terpanggil untuk
membersihkan kesan negatif beliau terhadap diri saya. Saya mengangkat tangan.
Satu-satunya yang mengangkat tangan di kelas dan seketika menjadi pusat
perhatian.
“Benar
kamu sudah membaca? Kalau sudah, pasti kamu bisa mengingat semua ceritanya,
judulnya, penulisnya,” tantang Bu Jubeth di depan kelas. Tentu saja saya sadar
kalau beliau nggak percaya alias meragukan saya.
“Ya,
Bu. Benar. Saya membaca cerpen di majalah Aneka Yess!, Kawanku, Hai, Gadis,
tabloid Keren Beken,” jawab saya lantang dan percaya diri. Sebuah artikel di
majalah Kawanku pernah menjelaskan tentang kepercayaan diri dalam menjawab akan
mempengaruhi lawan bicara untuk memperhatikan kita.
[Photo: IDN Times] |
Bu
Jubeth menguji dengan menceritakan ulang apa yang saya baca. Masa itu nama-nama
S. Gegge Mappangewa paling sering mengisi cerpen majalah Aneka Yess! Sesekali
Hilman Hariwijaya juga ikut mengisi cerpen di majalah Hai. Apa yang saya baca,
kembali saya paparkan ulang dengan detil. Bu Jubeth tidak menunggu sepuluh
cerpen, pada cerpen keempat beliau menyuruh saya berhenti.
Itu
adalah awal hubungan kami sebagai murid guru berjalan sebagaimana seharusnya.
Tanpa prasangka, tanpa merasa dibenci, tanpa embel-embel lain. Di jam istirahat
terkadang saya bertemu Bu Jubeth di perpustakaan untuk meminjam buku baru yang
masuk. Terkadang kami berdiskusi tentang gaya tutur penulisnya tentang cerita. Saya
juga baru tahu kalau beliau penyuka kisah romansa yang ditulis oleh Mira W,
Marga T, Motinggo Busye, dan La Rose. Sementara saya suka novel terjemahan
seperti karya J.K. Rowling, Torey Haiden, Eiji Yoshikawa, Yasunari Kawabata, Dan
Brown, sampai Arthur Golden. Apa saja yang bisa saya baca saya embat. Jika tiba
pada bagian yang tidak sesuai umur, saya lewati saja dia.
Pertemuan-pertemuan
kami di perpustakaan, obrolan kami soal novel, akhirnya membuat kami lebih
dekat. Sederhananya, beliau menemukan seseorang yang sehobi di sekolah. Di
lingkungan kami, novel masih berkonotasi negatif. Novel sering dianggap sebagai
bacaan murahan orang-orang pendidikan rendah.
Maklumlah,
di kota kami tidak ada toko buku yang menjual buku-buku yang bermartabat.
Selain harga buku masih tergolong mahal, buku lebih susah laku daripada baju
yang tiap bulan ganti model. Para pembaca buku lebih suka membeli buku di kaki
lima yang ditulis oleh Freddy S dan sejenisnya. Harganya cuma tiga ribu,
bacanya juga nggak perlu mikir, ceritanya sederhana dan mengena.
Memang
benar, untuk menumbuhkan minat baca kita tidak hanya butuh lingkungan yang
mendukung. Kita juga butuh pendukung dan orang-orang yang saling menerima.
Bukan berprasangka.
5 Komentar
Wah pembaca JLit juga ya Kak? Saya baru-baru ini saja, karena terpesona dengan gaya menulisnya Keigo Higashino.
BalasHapusIya, Kak. Bisa dikatakan saya baca sastra karena J-Lit
HapusMantap kak!
BalasHapusTerima kasih, Kak
HapusSemangat kak!
BalasHapus