Ruang Tengah

 Ibu, saya ingin mengingatkan kalau acara kita mulai pukul dua siang.

Saya membaca pesan dari salah satu mahasiswa yang menjadi panitia untuk acara bedah buku self improvement. Pesan dikirim pagi hari, acara akan berlangsung siang ba’da Jumat. Saya sendiri nggak langsung membalas pesan itu, tapi memilih mendiamkan beberapa menit meski Whatapp sedang online. Saya memutuskan membalas pesan-pesan dari para dosen dulu sebelum membalas kata, “baik. Insyaallah. Terima kasih sudah diingatkan.”

Sore ini pertama kalinya saya menjadi pembedah di depan mahasiswa. Biasanya panggung saya sebagai pembedah buku ada di luar kampus. Bukan sombong, tapi saya memang bukan orang terkenal. Kali ini saya juga diminta oleh ketua prodi untuk memberi motivasi di hadapan anak-anak baru. Katanya saya perlu menunjukkan pesona agar semakin besar minat anak-anak bertahan di kampus hijau yang jauh dari keramaian kota.

[Photo: Pexels]

Seperti yang sudah ditentukan, saya akan mengisi materi pada pukul dua siang. sebelum pukul dua saya sudah bersiap. Maklumlah, hari Jumat apalagi yang harus saya siapkan? Pukul dua kurang saya sudah ngegas motor menuju kampus yang sepi tak ada manusia.

Motor Beat saya terparkir di depan gedung hijau yang tampak tua dan misterius. Tidak ada motor lain selain saya. Kemana panitia yang mengatakan pada saya mulai pukul dua siang? Saya tiba di kampus pukul dua kurang.

Ponsel Redmi 9C yang saya pakai berpindah dari dalam tas ke genggaman. Berharap ada satu momen sepi yang bisa saya abadikan. Saat sedang membidik fokus, saya mendengar suara kursi digeser. Ada yang sedang bekerja di lantai dua. Panitia ternyata sudah tiba duluan. Mungkin tidak bawa motor.

Saya memutuskan langsung naik ke lantai dua, tempat acara berlangsung. Saya naik tangga untuk disabilitas yang terjal. Sungguh tidak cocok sekali untuk mahasiswa disabilitas. Kalau dia menggunakan kursi roda, saya yakin remnya nggak akan berfungsi. Kalau dia memakai kruk, dia akan terguling ke bawah karena tergelincir. Tangga ini lebih cocok untuk latihan naik gunung daripada tangga untuk yang berkebutuhan khusus.

Semangat empat lima masuk ke ruang acara, ingin menyapa panitia, dan.. kosong! Tidak ada seorang pun panitia yang sedang bekerja di sana. Siapa yang mau disapa. Saya turun kembali ke lantai satu dengan perasaan biasa.

Cerita soal ruang tengah di lantai dua yang kerap membuat suara berisik sudah menyebar seantero kampus. Mulai dari satpam, staf yang bekerja di ruangan itu sebelum beralih fungsi menjadi ruang kelas, beberapa dosen yang mengajar, dan mahasiswa. Cerita mereka sama soal ruang tengah ini. Ada yang suka menggeser-geser kursi, meja, atau tak tuk suara keyboard. Saya hanya tidak menyangka akan disapa sedini ini untuk di saat kampus lagi sepi-sepinya.

Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membaca kembali materi yang akan saya sampaikan. Sebenarnya saya juga bisa membuat konten untuk bookstagram, tapi lagi malas. Di ruangan prodi saya tidak duduk di meja sendiri. Duduk di meja rapat lebih enak sambil memandangi meja-meja para kaprodi dan sekprodi yang kosong. Termasuk meja saya di sudut ruangan yang penuh dengan pernah perniknya. Ada laci kabinet mini, buku-buku perpustakaan, vas mungil berwarna putih berisi tanaman mint, dan setumpuk dokumen.

Baru beberapa menit me-review kembali materi, suara motor di parkiran terdengar. Ada dua motor yang mengambil tempat di luar gedung. Saya menebak, itu mahasiswa yang akan ikut bedah buku ini. Mungkin saja panitia.

Saat melongok ke luar, benar saja ada dua motor parkir. Keinginantahuan saya muncul, saya kembali naik ke lantai dua. Melongok ke ruang kelas. Benar, mereka ada di sana. Tiga orang panitia yang sedang menyapu ruang kelas dan menggelar tikar. Kursi di ruang ini sudah dipindahkan, kami akan lesehan.

“Cuma bertiga?” tanya saya pada panitia. Salah satunya bernama Zulpina, mahasiswa saya di kelas Komunikasi Massa.

“Iya, Bu,” jawabnya hormat.

“Mana kawan lainnya?” pertanyaan ini untuk memastikan kalau kami tidak memulai kegiatan lebih lama lagi. Pukul setengah lima saya harus menjemput anak ke day care.

“Belum datang, Bu. Inilah yang baru datang,” katanya lagi.

“Ntar kalau udah mulai, panggil ibu, ya,” kata saya. Mereka mengangguk.

Saya kembali turun. Ingin menambah beberapa poin di materi. Awalnya ingin menyampaikan tiga bab saja yang dekat dengan kehidupan mereka, tapi waktu masih banyak untuk menambahkan poin satu bab lagi.

Ruangan tidak kosong lagi. Ada ketua prodi Pengembangan Masyarakat Islam duduk di mejanya. Diam dan datar, tatapannya dingin. Saya juga heran mengapa beliau datang di sore hari, sedangkan pagi saja jarang terlihat.

“Pak Jon, tumben datang sore? Ada urusan di kampus ya?” tanya saya basa basi. Mengajar pasti tidak mungkin. Sampai detik ini penghuni kampus baru lima orang dengan beliau.

Pak Jon tidak menjawab. Saya pikir memang beliau sedang ada urusan di kampus. Kalau tidak mana mungkin datang di siang Jumat, suasana kampus paling sepi di hari kerja.

Saya melanjutkan membaca buku. Lalu di luar terdengar lagi suara sepeda motor. Kali ini lebih ramai. Saya kembali ke luar, melihat berapa banyak yang datang. Lebih cepat acaranya dimulai akan lebih baik, bukan? Anak saya pasti sudah menunggu di day care. Saya nggak tega pipi dan hidungnya memerah dan matanya berkaca-kaca saat melihat saya. Padahal dia tertawa riang.

Baru setengah jalan di tangga terjal, saya mengurungkan niat naik ke atas. Terlalu dini untuk mengecek lagi. khawatir suasana hati panitia berubah tidak enak dan kapok buat acara kalau terus menerus saya cek seperti ini. Akhirnya saya kembali ke ruang prodi. Pak Jon sudah pergi.

Kemana Pak Jon? Padahal saya nggak mendengar suara motor bergerak meninggalkan parkiran. Ah, mungkin beliau membawa mobil hari ini.

Setengah jam berlalu tanpa pikiran apapun. Saya naik lagi ke atas, ke lantai dua ruang tengah. Kaprodi sudah datang dan berbincang dengan beberapa mahasiswa. Kami duduk sebentar mengobrol hal-hal teknis acara.

Acara dimulai pukul setengah empat. Saya menceritakan satu persatu kisah dari buku Kuliah Dengan 0 Rupiah  yang ditulis oleh beberapa penulis Indonesia penerima beasiswa dari seluruh penjuru dunia. Saya ingin menyampaikan pada para mahasiswa bahwa tidak ada yang mustahil kalau ada niat untuk kuliah.

Mereka mendengar dengan senang dan bahagia. Penasaran dan takjub dengan kisah-kisah para penulis. Saya ikut membedah tulisan saya yang lumayan panjang. Bahasannya lengkap dengan behind the scene  tulisan itu lahir.

Do it itu berkisah tentang masa-masa sulit saya yang nggak punya uang di negara orang. Mau minjam nggak enakan, nggak minjam ya nggak makan,” kata saya menutup kisah.

Setelah menyampaikan itu, saya terpikir untuk menulis ulang Do It di blog. Saya bafi tiga bagian, karena memang ceritanya sangat panjang. Sekitar 5000 kata lebih. Ada Do It 1, Do It 2,  dan Do It 3.

Anehnya, saya pulang ke rumah masih mengingat dan membayangkan wajah Pak Jon di ruangan. Bertanya-tanya alasan dia muncul di sore hari. Ruang tengah lantai satu yang dijadikan ruang dosen dan prodi ini sering sepi, biasanya hanya saya yang duduk di sana mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan.

Keesokannya, saya bertemu dengan Pak Jon dengan tatapan yang lebih hidup meski wajahnya masih datar. Saya menyapa seperti biasa dan bertanya, “Pak Jon, gimana? Urusan Jumat sore kemarin sudah selesai?”

“Urusan apa? Saya nggak ke kampus hari Jumat.”

“Nggak ke kampus?”

“Iya. Kenapa? Ibu ada perlu dengan saya?”

Saya menggeleng. Bulu kuduk meremang. Ada sesuatu yang nggak bisa saya jelaskan kepada Pak Jon.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Wah. Kehidupan sehari-hari, bisa dijadikan cerpen misteri yang menakjubkan. Keren. Semangat, Kak. Sukses selalu. ☺️💗

    BalasHapus