Saya punya cerita, ketika mampir ke perpustakaan daerah untuk meminjam beberapa judul buku. Setelah sejam mencari-cari, akhirnya dua seri buku Chicken Soup for the Soul yang saya pinjam. Keanehan terjadi saat saya berada di bagian peminjaman. Dua ibu-ibu yang bertugas sebagai pustakawan hari itu mengambil buku tersebut dan mengobrol.
“Buku apa ini? Banyak sekali anak kuliahan yang
pinjam?” tanyanya.
[Photo: Pexels] |
Saya hendak menjawab, tapi rekannya sudah keduluan
menjawab, “buku sup ayam.”
“Cara masak sup ayam dari luar, ya?” tanya si ibu. Lantas membolak balikkan halaman buku. Mencari resep cara memasak sup ayam, “nggak ada resepnya, kok? Apa juga sup ayam.”
Ingin rasanya saya berkata kalau ini buku
motivasi. Buku self improvement. Buku
yang membuat jiwa-jiwa kering menjadi subur kembali, dan sederet penjelasan
lainnya. Akan tetapi saya memilih langsung keluar, menunggu jemputan di bawah
pohon kupula yang sedang berbuah.
Ini bukan kejadian pertama kali. Sebelumnya saat saya
masih duduk di bangku merah putih,
saya menemukan sebuah buku yang tidak sesuai terselip di pustaka sekolah. Waktu
itu saya penasaran dan meminjam buku tersebut karena semua buku di pustaka kami
yang kecil sudah tidak tersedia lagi. Guru bahasa Indonesia yang merangkap
sebagai pustakawan senang-senang saja meminjamkan novel Salah Asuhan untuk saya.
Saya baru tahu buku itu nggak cocok untuk usia
saya ketika hendak membacanya di rumah, Ayah melihat saya dengan buku itu. Ayah
menyita buku itu dan mengembalikan ke perpustakaan sekolah. Ayah juga
menjelaskan kalau buku itu tidak cocok di perpustakaan SD.
Ini bukan kali pertama saya bertemu dengan
pustakawan atau guru bahasa Indonesia yang tidak suka membaca. Buku-buku yang
masuk ke perpustakaan tidak disortir terlebih dahulu, tapi langsung dipajang di
rak buku karena dianggap bagus, populer, atau gambarnya menarik. Padahal belum
tentu buku-buku itu aman dibaca untuk kalangan anak-anak.
Saya pernah bertanya pada pustakawan dan guru
bahasa Indonesia, “ibu suka membaca?”
Jawabannya sangat mengangetkan, “nggak bisa baca
lama-lama. Karena kalau udah membaca bawaannya ngantuk.”
Dari SD sampai MAN, saya menemukan guru bahasa
Indonesia yang beragam reaksinya terhadap buku. Ada yang sama sekali tidak
suka, ada yang suka hanya buku tertentu, ada juga yang sama sekali tidak
menyukai buku dengan alasan paling klasik. BIKIN NGANTUK. Satu-satunya guru
bahasa Indonesia yang membuat saya terkesan dengan hobinya hanya Bu Jubeth, guru bahasa Indonesia yang
suka menulis cerpen dan puisi di waktu duduk bangku Madrasah Aliyah.
Saya sangat terkesan denga Bu Jubeth ketika
mengajarkan kami menulis cerpen, mengulas buku, dan hal-hal lain yang biasanya
dilakukan anak sastra. Saat belajar dengan beliau pula keinginan saya masuk di
jurusan sastra muncul. Hobi saya membaca buku-buku sastra terjemahan Jepang seperti
karya Yasunari Kawabata, Eiji Yoshikawa, dan sejenisnya membuat keinginan saya kuliah di Sastra Jepang. Rasanya seru
dan terdengar keren sekali.
Keinginan itu semakin kuat saya Bu Jubeth meminta
kami untuk membedah buku dai karya-karya Mira W, La Rose, Motinggo Busye, dan
Marga T. Keempat penulis ini masuk ke dalam jajaran daftar penulis yang bukunya
harus kami bedah. Cukup satu judul saja.
Tim saya mendapat novel Mira W yang berjudul Permainan Bulan Desember. Seketika dunia
anak sekolah heboh karena judul buku saya itu sangat ‘mengerikan’. kata
permainan diartikan sebagai pergumulan dua manusia berbeda jenis. Karena isi buku
saya agak miring untuk pemikiran anak Aliyah, teman-teman saya yang lain jadi
tidak berani membaca novel-novel mereka yang didominasi oleh karya Mira W.
[Photo: Pexels] |
Teman-teman menitip bacaan pada saya. Tentu saja
dengan senang hati saya membaca novel-novel itu. Biasanya saya kan harus
menyewa novel-novel ini di rental novel dan komik. Pilihan buku-buku Bu Jubeth
sebenarnya agak tidak cocok untuk latar belakang sekolah keagamaan Islam
seperti kami. Bagaimanapun hal-hal yang berbau romansa begitu masih tabu di kalangan
anak remaja zaman saya.
Jangankan membaca romansa Mira W dan sejenisnya,
kata novel saja masih dianggap negatif oleh sebagian besar masyarakat dan guru.
Guru, lho. Mereka beranggapan ini karena mereka tidak membaca buku-buku yang
tesedia di perpustakaan.
Pustakawan dan guru bahasa Indonesia harus suka
membaca. Karena mereka adalah penjaga gawang literasi sekolah. Sayangnya,
banyak yang menormalkan jalau membaca itu sebuah hobi yang tidak perlu digembar
gemborkan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan semua orang.
Saat SD, guru dan pustakawannya nggak suka baca. Saat
saya mulai keranjingan membaca, mereka khawatir saya jadi malas belajar dan
nilai saya merosot. Padahal justru karena membaca beberapa koleksi sekolah
tentang pramuka, saya jadi bisa membaca kode morse tanpa harus ikut pramuka. Saat
melihat anak pramuka sedang mengirimkan sandi morse, saya langsung tahu apa
yang mereka komunikasikan melalui gerakan nonverbal itu.
Saat MTsn, pustakawannya luar biasa. Dia mampu
menjadi penjaga gawang literasi sekolah dengan meyortir buku-buku masuk agar
tetap sesuai dengan kebutuhan anak beranjak remaja. Banyak buku yang
diasingkan, banyak buku yang dipasok sesuai dengan kebutuhan anak.
Sementara waktu di MAN, ada yang suka dan tidak. Meskipun
pustakawannya hanya membaca buku-buku yang berbau romansa saja, hal ini
diimbangi dengan kemampuan guru bahasa dan Sastra Indonesianya yang menyukai
dunia membaca. Seimbang.
Sudah saatnya sekolah memilih pustakawan dan guru
bahasa Indonesia yang suka membaca. Agar anak-anak tidak tersesat dalam bacaan
yang tidak sesuai usia mereka. Ngeri sekali jika anak SMP sekarang bisa menulis
dan mendeskripsikan hubungan seksual dan meromantisasi kekerasan seksual yang
terjadi. Ini bukan karena mereka sudah pernah melihat atau melakukan, tapi bacaan
yang mereka dapatkan juga tidak tersortir dengan baik.
0 Komentar