Pendakian Pertama: Tembok Cina di Mata Saya

 Kata orang, ke Cina kalau belum ke tembok Cina artinya dia belum sah menginjakkan kaki ke Cina. Katanya begitu, padahal Cina itu luas dan tembok Cina berada di Beijing. Jarak antara Beijing ke kota lainnya juga sangat lumayan dan costy. Namanya pernyataan, tidak memandang tempat dan tanpa butuh referensi.

Kebetulan sekali tahun 2013 saya lulus beasiswa ke China melalui China Scholarship Council. Kampus saya terletak di distrik Chaoyang, Beijing. Nama kampusnya Communication University of China. Sebuah kampus yang populer untuk belajar media dan komunikasi.


[Photo: Pexels]

Saya sudah di Beijing, tapi ternyata letak tembok Cina juga seperti ‘misteri’ dan butuh usaha berjam-jam untuk menuju ke sana. Mulanya agak  hopeless, sih. Rasanya lucu sudah di Beijing tidak ke tembok Cina. Akan tetapi, mengingat kepadatan kuliah dan jarak tempuh ke tembok Cina juga sebuah kemustahilan untuk menjejakkan kaki di tembok China.

Sampai akhirnya muncul pengumuman yang ditempel di mading kelas. Kami akan mendaki tembok Cina Mutianyu pada akhir September. Saya langsung heboh dan ajak teman-teman. Ternyata hasilnya nggak se-excited yang saya kira. Teman-teman yang kuliahnya self support nggak minat nge-trip bareng kampus. Katanya sih nggak nyaman dan bikin badan lelah. Nggak bebas, terikat aturan, nggak bisa santai, dan sederet alasan lain buat yang rajin traveling nggak pakai sistem rombongan.

Duh, kebayang, dong. Gimana rasanya saya harus cari teman yang cocok buat mendaki. Pasalnya baru beberapa hari kuliah dan belum ada teman yang klop. Namanya perjalanan kan harus menemukan teman yang pas untuk bepergian. Etapi, meski belum menemukan teman saya tetap mendaftarkan untuk ikut trip dan membayar yaqin (uang jaminan) sebenar Rp 100 ribu. Uang itu akan dikembalikan saat kami pulang. Kalau nggak jadi ikutan yaqin akan hangus.

Di saat sedang galau-galaunya, ada senior yang sudah empat kali ke Mutianyu. Katanya Mutianyu itu satu dari delapan pintu tembok Cina. Mutianyu dan Badaling memang paling populer. Badaling terlalu ramai karena memang touristy spot. Kapan saja bisa ke sana tanpa harus ikut trip sekolah. Lumayan dekat dan ada transportasi umum ke sana. Sedangkan Mutianyu itu area paling indah dan nggak begitu padat karena jarak tempuh nggak semudah ke Badaling.

Di menit-menit terakhit penutupan pendaftaran, dua teman Indonesia memutuskan ikutan. Kami mulai sibuk menentukan outfit yang akan dipakai ke sana. Tentu saja, kami memastikan outfit yang dipilih instagenic buat dipajang di media sosial. Apalagi akhir Desember, untuk orang-orang yang datang dari area tropis seperti saya suhunya mulai terasa dingin.

Kami juga ditakut-takuti oleh teman dari teman saya. Katanya di atas sana dingin dan berpotensi kelaparan. Harus punya banyak stok makanan dan jangan sampai hiportemia. Aduduh, bayangkan gimana paniknya kami. Akhirnya kami mempersiapkan jaket ekstra setelah pakai atasan dari bahan wool, spring coat yang menurut saya udah bikin hangat, ditambah dengan jaket. Saya nggak bawa banyak makanan karena kondisi dompet lagi seret. Hanya roti dan sedikit mie instan yang saya seduh dan aduk-aduk dengan bumbunya.

Beijing Masuk Kampung

Perjalanan yang kami tempuh selama empat jam naik bus. Pemandangan berubah lumayan lama dari hiruk pikuk perkotaan sampai berganti dengan pedesaan. Saya baru tahu kalau pemandangan perkampungan Beijing nggak jauh beda dengan di kampung saya. Bedanya di sini orangnya mata sipit banget, sementara di kampung saya nggak begitu. Ada juga satu dua yang sipit kulit putih, tapi orang Aceh.

Begitu sampai di lokasi, kami turun bus dan mengikuti rute rombongan turis yang sudah ditetapkan. Perjalanan pertama saya, tempatnya belum terorganisir dengan baik. Ada beberapa bagian yang sedang direnovasi. Seperti gerbang utama, pertokoan kecil untuk penjualan souvenir, dan sudut-sudut untuk berfoto.

Setelah turun dari bus utama, kami kembali mengantri untuk naik ke shuttle bus. Perjalanan dari titik kumpul shuttle bus ke pintu masuk sekitar lima belas menit. Perjalanannya mendaki, lho. Dari turun bus ke atas saja sebenarnya sudah lumayan lelah buat saya yang malas olahraga ini.

Kelelahan memang langsung berganti excited begitu di puncak gunung yang jauh terlihat tembok memanjang. Rasanya hanya selangkah lagi salah satu dreamlist dalam hidup akan tercoret. Mendaki tembok Cina.


[Photo: Pexels/Instawally]

Begitu turun bus, kami nggak langsung naik. Koordinator dari kampus membeli tiket dulu di pintu masuk. Karena jumlah kami lumayan rame, jadinya butuh waktu. Di sini kami dibagi minum air mineral dari anggaran kampus. Cuma air minum saja. harga di atas puncak sana bisa sepuluh kali lipat daripada harga di kota.

Sambil menunggu, para peserta saling berkenalan, mengobrol, berfoto, atau sekedar duduk-duduk saja meyendiri. Jaringan internet lumayan lelet. Pun masa itu orang-orang tidak begitu tertarik mengecek ponsel karena aktivitas bersama teman-teman lebih berharga.

Setelah tiket dapat, kami berkumpul. Antri di depan pintu masuk. Koordinator sekolah berdiri di pintu masuk. Mengawasi kami masuk satu persatu sambil tiket masuk dipindai oleh petugas.

Pemandangan pertama yang terlihat adalah patung seorang jenderal yang katanya menaklukkan tembok Cina dulu. Kemudian anak tangga yang landai menuju ke atas. Saya pikir akan aman kalau Cuma naik tangga. Ternyata kondisi saya yang malas olahraga justru membuat saya terlihat lebih jompo daripada pasangan bule tua yang berpegangan tangan meniti anak tangga. Duh, di bagian ini saya malu banget.

Saya hampir menyerah di tengah perjalanan. Namun melihat bayangan tembok Cina di atas sana semakin meningkatkan semangat buat terus melangkah. Benar saja, begitu tembok terlihat, kami langsung semangat buat terus naik dan naik. Begitu sampai ke atas, taraaaa....!! nggak ada apa-apa.

Sebagian besar tanaman masih terlihat hijau, belum ada yang menguning atau memerah. Apalagi gugur. Temboknya Cuma kayak jembatan beton. Beda tipis dengan benteng di pantai-pantai Aceh. Kami hanya berjalan ke sana kemari sekitar lima belas menitan. Foto-foto dan memilih lesehan. Beberapa teman memilih berjalan ke sana dan kemari untuk mencari spot yang menarik.


Bersama mahasiswi asal Tanzania
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Saya mengintip ke luar tembok, ternyata ada desa di lembah tembok Cina. Gaya perumahannya seperti kebanyakan di dracin-dracin yang masuk Indonesia. Temboknya putih, atapnya hitam dengan gaya yang khas tionghoa. Sebagian rumah ada lampion merahnya. Rumahnya juga nggak banyak.

Kami diberi waktu tiga jam berada di atas. Setelah itu kami diminta untuk berkumpul di titik kumpul kedua, di depan gerbang utama masuk. Sambil berjalan turun, kami melewati penjaja oleh-oleh di pinggir jalan. Berbagai macam dagangan ada di sana. Mulai dari aksesoris, pajangan, sampai gantungan kunci. Saya memilih membeli medali seharga 10 RMB dan stempel nama seharga 35 RMB. Stempel nama seperti terbuat dari batu giok, padahal palsi.

Ada juga spot foto dengan baju dan aksesoris zaman dulu. Sekali kodak dikenai harga 50 RMB sampai 100 RMB. Karena yakin akan kembali, saya tidak belanja terlau banyak. Kami memilih turun ke tempat pemberhentian shuttle bus, lalu akan kembali ke bawah dengan bus. Ada restoran yang menunggu dengan hidangan makan siangnya.

Katanya, rumah makan tempat kami makan adalah yang terbaik. Bahkan untuk mahasiswa muslim sudah disediakan menu untuk muslim. Ini bukan rumah makan muslim, hanya makanannya saja yang muslim friendly.  Di meja kami tidak disediakan bir, tidak ada olahan babi, dan hanya makanan biasa. Selain muslim, di meja kami juga untuk vegetarian.

Di meja makan, saya berpisah dengan teman-teman saya yang lain. Teman-teman saya dari Indonesia memang non muslim semua. Kebetulan hanya saya seorang yang muslim. Akhirnya saya membuka silaturahmi dengan kenalan dengan teman-teman muslim dari negara lain. Kebanyakan mereka dari benua Afrika.

Kami berfoto, saling berkomentar makanan dan kemiripannya dengan makanan asal negara masing-masing. Dari semua makanan yang dihidang, saya paling suka dengan gong pao jiding, bahasa Indonesianya ayam kungpaw. Ada lagi kacang buncis yang digoreng dengan potongan cabe kering dibumbui garam, gula, dan penyedap. Saya suka sekali dengan menu itu.

Di meja makan itu pula saya baru tahu orang Cina tidak minum air putih. Maksudnya tidak ada air putih gratis yang disediakan di atas meja makan. Kalau mau minum air putih, pesan dengan bill terpisah. Sebagai gantinya, ada sekuali sup yang disediakan di tengah meja. Meja kami tersedia sup ikan. Saya nggak ngerti soal ikan, jadi sama sekali nggak tahu nama ikannya apa. Kuahnya putih, cair, dan hambar, tapi masih ada bumbu yang terasa.

Sup ikan dinikmati sesudah semua hidangan di atas meja di makan. Ibaratnya kayak minum air setelah makan nasi dan lauk pauk yang lain. Boleh juga dimakan berengan dengan nasi, tapi tidak ada sendok. Cara makannya diseruput dan berisik banget.

Di antara semua menu yang dihidangkan, sup ikan ini tidak ada yang menyentuh. Soalnya semua sepakat nggak tahu cara makan tanpa pakai sendok. Diseruput dan berisik? Kayaknya melanggar etika makan dengan santun, deh.

Usai makan kami pulang dengan perut kenyang. Sepanjang jalan, bus senyap. Semua penghuninya lelap dalam lelah. Saya memilih tidak tidur dan menikmati perjalanan dengan iringan lagu-lagu Peterpan yang mengalun dari MP3 ponsel. Mencoba menikmati perjalanan yang bisa saja tidak akan saya dapatkan lagi setelah hari ini.

Di mata saya, tembok Cina itu memang megah. Menunjukkan kekuasaan dan perjuangan orang di masa lalu. Dia begitu tinggi, seolah sulit digapai. Sehingga saya sangat ingin menaklukkannya. Begitu tiba di atas, hanya sebentar saja kepuasaan itu. Sisanya hanya lelah. Persis seperti ambisi manusia yang ingin meraih sesuatu. Setelah dapat, dia puas dan tidak penasaran lagi.

Posting Komentar

2 Komentar