Sejak dulu, ada beberapa benda yang tidak boleh ketinggalan masuk ke dalam tas saya. Tidak banyak hanya beberapa saja, yaitu binder kecil ukuran A6 atau A7, pulpen, novel, dompet, dan tissue. Itu dulu, kalau sekarang bertambah satu dan kurang satu. Sekarang saya juga nggak bisa ketinggalan ponsel meski masa bodo dengan ketinggalan charger, apalagi power bank. Lantas saya juga mulai tidak peduli dengan ketidakikutsertaan dompet dari dalam tas. Bagi saya keberadaan dompet bisa digantikan oleh HP di zaman serba canggih ini. cardless and cashless kalau untuk urusan uang.
Dulu juga banyak sekali teman-teman yang mengejek
saya dengan sebutan ‘wartawan kesasar’ setiap mereka melihat isi tas saya ada pulpen
dan binder. Apalagi dulunya tas saya nggak pernah kecil. Malahan novel yang
saya masukkan ke dalam tas itu lumayan tebal dan berat sejenis Harry Potter
atau karya-karya Dan Brown. Bisa kebayang, dong, bagaimana tebalnya.
Siapa sangka, ejekan itu akhirnya menjadi doa.
Sebelum menjadi dosen tetap dengan status PNS, saya pernah menjabani profesi
sebagai wartawan selama tiga belas tahun. Ya, tiga belas tahun lamanya. Lumayan
sekali untuk menambah pengalaman dan memperluas relasi. Bahkan ilmu di lapangan
banyak saya terapkan dan sampaikan kepada para mahasiswa saya. Semuanya gegara binder
dan pulpen yang menjadi salah satu ciri khas saya.
Bagi saya, banyak hal yang bisa dilakukan dengan
dua benda itu. Contohnya saja ketika masa cardless
and cashless belum eksis, kalau mau ambil uang terkadang kita mesti antri
di bank. Seringkali bukan hanya nomor antrian yang mesti antri, untuk mengisi
slip penarikan atau penyetoran pun harus antri pulpen. Bayangkan berapa banyak
habis waktu untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti. Belum lagi kalau pulpen
yang disediakan oleh bank banjir atau
macet. Habilah!
Keuntungan membawa pulpen ini setidaknya
menyelamatkan diri sendiri tanpa menambah antrian. Sedangkan kebiasaan membawa
binder punya fungsi yang berbeda. Saya suka mencatat hal-hal yang detil di buku
untuk mengikat ingatan. Beda saja, kalau sudah dicatat di dalam buku ingatannya
pasti lebih kuat dibandingkan dengan cara di foto atau dicatat di hape. Sampai
sekarang metode itu masih bekerja dengan baik.
Apalagi kalau sedang melakukan perjalanan. Nah,
kedua benda ini sangat penting sekali. Ada informasi baru, tulis! Ada istilah
baru, catat! Apa saja yang menarik, tulis! Begitu terus sampai binder kecil dan
pulpen ini berubah fungsi menjadi sesuatu yang lebih berguna bagi saya.
Tahun 2013 adalah momen tidak terlupakan untuk
saya saat terdampar di negara orang dengan kemampuan bahasa asing di bawah kata
standar. Semuanya gara-gara aksen lokal yang terbawa ke kancah internasional. Saat
saya berbicara bahasa Inggris, ada yang tidak mengerti karena prononsasinya
juga sering meleset. Maklumlah, saya belajar otodidak. Sekalinya les dapat guru
yang lebih parah kemampuan prononsasinya. Jarang mendapat guru yang memang
lulusan dari luar negeri atau kerap melakukan percakapan dalam bahasa Inggris.
Sekali lagi, maklumlah saya cari les yang gratisan.
Binder ini menjadi media komunikasi yang paling
efektif untuk kami berkomunikasi. Apa yang ingin saya katakan, saya tulis. Ada
kata yang tidak tahu bagaimana mengucapkannya, saya tulis dan tunjukkan pada
lawan bicara. Ditambah lagi, saya belum punya hape canggih sekelas android pada
tahun itu. Meski begitu tidak ada satu pun yang menertawakan atau mengasihani
saya.
Begitu juga kalau mereka yang bicara dan saya
tidak paham, saya memberikan binder untuk mencatat apa yang ingin mereka
ucapkan. Mereka dengan sukarela melakukan dan komunikasi kami berjalan lancar.
Komunikasi verbal tertulis seperti ini setidaknya
terjadi dua hari selama saya pertama kali terjebak dan tersesat di Beijing.
Saya mengeluarkan pulpen dan binder, menulis sesuatu dan meminta orang juga
menulis sesuatu di sana. Akan tetapi, saya tidak terkenal gara-gara membuat
keanehan begitu. Berarti hal seperti ini tidak aneh bukan?
Pernah juga binder dan pulpen ini menyelamatka
iman saya di bandara. Bagaimana bisa?
Seminggu sebelum berangkat ke Beijing, saya
digalaukan dengan email yang tidak dibalas oleh para admin Persatuan Mahasiswa
Tiongkok (PERMIT) Beijing. Pasalnya mereka hanya menyertakan kontak berupa
email. Di sana saya menjelaskan kalau saya akan ke Beijing dan satu-satunya
yang berangkat dari Aceh. Kampus yang akan saya tuju itu Communication University of China. Saya juga tidak bisa bahasa
mandarin. Jadi, saya memohon bantuan dari PERMIT Beijing untuk mengirimkan
wakilnya untuk membantu saya.
Sampai H-1 keberangkatan tidak ada balasan dari
pihak PERMIT Beijing. untungnya saya ingat untuk menuliskan beberapa kalimat
dan kosa kata penting dalam bahasa mandarin. Salah satunya adalah kata qingzhen (halal) untuk urusan makan.
Di bandara Beijing, saya mencari semua gerai makan
yang yang bertuliskan aksara qingzhen.
Saya sama sekali tidak melihat tulisan qingzhen
itu. Menurut informasi dan catatan blog yang saya baca, tulisan qingzhen selalu identik dengan tulisan
hijau dan diikuti dengan tulisan kaligrafi Arab dan tulisan halal dalam bahasa
Arab.
Mata saya mungkin terlalu banyak menangkap aksara
han, sehingga dua aksara yang sangat penting itu terlewatkan oleh daya tangkap.
Perut saya sudah sangat lapar dan tidak bisa dikompromi. Insiden delay dan salah perhitungan saat tiba di
bandara Beijing juga mengharuskan saya survive
di arrival hall.
Di sana, saya hanya melihat KFC. Salah satu teman
saya yang pernah kuliah di Taiwan dan sering ke China berkata, “KFC di China
ada kok yang halal. Memang nggak semua, sih. Di China itu lumayan ramah banget
sama penduduk muslim.”
Kalimat teman saya ini memberi keberanian lebih untuk
saya. Akhirnya saya mendatangi gerai KFC dan menanyakan apakah ada makanan yang
qingzhen? Awalnya pelayannya agak
bingung, tapi akhirnya salah satu pelayan yang mungki saja biasa melayani
pelanggan muslim dari berbagai negara mengangguk.
Saya ragu dia mengerti apa yang sampaikan. Lalu
saya menunjuk binder itu dan dia mengangguk. Pelayanan ini dengan cekatan
menunjuk beberapa menu, sebagian besar untuk vegetarian dan ada tulisan qingzhen dengan tulisan sangat kecil berwarna hijau.
“Yao
bu yao? (mau nggak?)” tanya pelayan itu.
Saya mengangguk. Lantas dengan cekatan kedua pelayan itu menyiapkan menu untuk saya. Sesuai dengan permintaan dan hanya sekejap saja pesanan saya sudah berpindah tangan. Saya juga meminta pelayan itu menuliskan menu qingzhen di binder saya, pelayan itu dengan baik hati menulisan beberapa menu untuk saya dengan tulisan mandarin ukuran besar-besar.
Tulisan itu akhirnya saya bawa-awa kemana saja saya pergi. Kebetulan lagi di setiap tempat wisata di Beijing memang selu ada gerai KFC. Ternyata tidak semua gerai menulis tulisan qingzhen di menu yang saya pesan. Padahal sama-sama menu vegetarian. Coba kalau saya nggak bawa binder dan pulpen, saya tentu seperti ayam mati di lumbung padi.
0 Komentar