Pagi itu saya mendadak malas. Padahal jadwal dari panitia untuk menguji mahasiswa Kuliah Pengabdian Masyarakat sudah ditentukan beberapa hari lalu. Tidak seperti biasanya, saya memilih sangat santai di rumah sambil beberes. Beberes dapur, beberes ruang tamu, kamar, sampai halaman sambil memanaskan si Beatrice.
Anak saya sudah bangun. Pengasuhnya juga sudah
datang, tapi saya masih malas bergerak. Tidak biasanya saya baru bergerak lima
menit setelah jadwal mulai. Biasanya saya paling anti telat. Lebih baik datang
cepat dan menunggu daripada datang terlambat. Berbeda dengan hari ini, jarak
tempuh ke kampus juga terasa lebih lama.
Sepanjang perjalanan ada beberapa orang panitia
yang menghubungi saya. Tidak satu pun saya terima karena tidak biasa bermain
ponsel sambil berkendara. Untuk urusan ini saya masih jauh sekali dari kata ‘mampu’
untuk melakukannya. Kalau ada kata di bawah amatir, di situlah saya berada.
[Photo: Pexels] |
Begitu sampai kampus, saya menerima panggilan dari
bos KPM. Saya katakan saya sudah di parkiran. Dia memberi tahu kalau ruangan
saya di lantai tiga, ruangan tengah. Saya bergegas ke atas melewati sisi kiri
gedung setelah membalas sapaan beberapa rekan dan mahasiswa.
Gedung samping sepi, bahkan tangga terasa seperti
tidak pernah dilewati bertahun lamanya. Padahal di lantai tiga sedang ada
kegiatan. Suara-suara dari pengeras suara juga tidak terdengar. Aneh! Padahal ujian
sedang berlangsung. Panitia yang bertugas memanggil nama peserta juga
menggunakan pengeras suara. Ini nggak mungkin sesepi ini lah.
Suara Pipin memanggil mahasiswa baru terdengar
begitu kaki menjejak di lantai tiga. Mahasiswa sudah mulai memadati selasar
dengan seragam hitam putih. Ada yang mengobrol, ada yang menghapal. Ada pula
yang sibuk dengan ponsel pintar sambil senyum-senyum. Malahan ada yang membuat
konten Tik Tok sambil goyang tangan ke kiri dan ke kanan.
Pipin mempersilahkan saya masuk ke ruangan tengah.
Ada bangku kuliah kosong di dekat dinding yang dekat ke selasar. Tidak di bawah
jendela, tapi di antara dua jendela. Jangan tanya kenapa saya memilih di situ,
rasanya kursi itu seperti memanggil untuk berjodoh dengannya. Di kursi
sebelahnya ada Alqur’an tua bersampul hijau. Padahal saya juga membawa Alqur’an,
warnya juga hijau. Hijau sage.
Peserta pertama masuk dengan keringat dingin. Dia melantunkan
ayat suci dengan bagus sekali. Saking menikmatinya, saya hampir lupa menyuruhnya
berhenti. Hapalannya juga bagus, dia banyak menghapal ayat pendek, doa
sehari-hari, dan mampu berceramah pula. Kekurangannya hanya satu, kemampuan
berinteraksi dengan orang lain. Dia mengaku tidak pernah keluar rumah sejak
kecil dan ada kecenderungan agak meu
khet-khet (gemetar) kalau bertemu dengan orang lain.
Dalam hati saya berkata, “ini manusia bertemu
dengan manusia saja meu khet-khet. Bagaimana
kalau bertemu hantu, ya?”
Peserta kedua masuk. Dia langsung duduk sebelum
dipersilahkan. Senyumnya manis, tapi agak janggal. Wajahnya pucat dengan makeup yang sama pucatnya. Padahal dia
lumayan menor untuk standar anak Tarbiyah.
“Kamu sehat? Siap mengikuti ujian?” sapa saya
berusaha ramah. Mata dan otak sedang berkolaborasi memindai bahasa nonverbal
yang dia lakukan. Dia tampak gugup dan tidak berani menatap mata saya.
Mata saya berpindah ke tangannya tanpa sengaja. Tangan
yang kurus, sampai bentuk rangkanya seperti kelihatan. Jemarinya panjang,
kukunya dipotong rapi meski ujung kuku dipanjangkan. Kukunya bersih, tapi ada bayangan
hitam seperti direndam lama dalam air kopi. Putih, tapi masih ada nuansa
gelapnya. Tidak ada perhiasan apapun di sana. Agak bertolak belakang
dibandingkan dengan dandannya yang lumayan mencolok.
“Ibu, susah ujiannya?” tanya dia.
“Nggak, ini praktik sehari-hari kamu saja, kok. Terpenting
apa yang saya tanya kamu jawabnya sungguh-sungguh. Yakin. Buktikan kalau saya
memang pantas meluluskan kamu hari ini,” kata saya diplomatis. Saya suka
menguji anak-anak yang penuh keraguan pada kepercayaan diri sendiri. Biasanya mereka
punya potensi luar biasa.
Dia mengangguk, tapi begitu saya suruh mengambil
Alqur’an dia menolak seperti ketakutan. Saya langsung pasang tatapan laser. Kemudian
dia mengaku, “saya nggak bisa pegang Alqur’an, Bu.”
Arahnya bisa ditebak kemana. Dia mungkin saja
sedang mendapat tamu bulanan. Saya memberi opsi untuk menghapal ayat yang agak
panjang. Dia mengiyakan dan membaca QS. Al-Jinn. Saya cukup familiar dengan
surah ini sejak pulang dari Singkil tahun 2009. Surah Al-Jinn pernah menjadi
bacaan wajib sebelum maghrib.
Dia membaca empat ayat saja. Ayat ketiga sampai
keenam, tapi juga tidak tertanyakan kenapa nggak mulai dari ayat satu. Pertanyaan
demi pertanyaan meluncur. Dia menjawab dengan mulus meski kemampuannya
rata-rata saja. Bagian paling menakjubkan bagi saya justru ketika dia
mengatakan bisa memasak hidangan tradisi.
[Photo: QS. Al-Jinn ayat 5] |
Dia bercerita bisa mengelola dapur saat kenduri. Bagaimana
pengaturan menunya. Bahkan ketika saya pancing soal resep untuk membuat masakan
khas daerah, dia menjelaskan dengan lugas.
“Kamu punya foto dan medsos?” tanya saya.
“Nggak pakai hape, Bu.” Jawabannya agak
mengagetkan. Di era ini rasanya aneh saja mahasiswa nggak pakai ponsel. Bahkan
banyak mahasiswa yang berlomba mengkredit ponsel apel digigit ulat demi
eksistensi di persirkelan.
“Hape tit tut?” tanya saya lagi. Mustahil tidak
punya. Mungkin dia takut saya meminta intip galeri dia yang penuh dengan foto
selfie menor.
Dia mengangguk, “tapi nggak bawa.”
Perkara hape tidak lagi saya perpanjang. Justru saya
tertarik ingin mengorek kepribadiannya, “apa kelebihan kamu?”
“Bisa berkomunikasi dengan baik.”
Saya kaget. Percaya diri sendiri. Bahkan mahasiswa
saya di KPI tidak berani mengklaim diri mereka adalah komunikator yang baik.
Saya ingin tahu lebih, “bagaimana komunikasi yang baik itu?”
“Saya berani bicara dengan orang yang lebih tua. Bisa
menjadikan orang lebih tua menjadi teman saya. Pokoknya saya bisa selesaikan
masalah orang tua, Bu.”
Dia tersenyum dan mata kami bertemu. Jantung saya nyaris copot saat melihat mata yang kecil itu hitam semua. Hitam pekat dengan seringai ganjil. Persis seperti sedang mengerjai saya. Dia menambahkan, "udah selesai, Bu?"
Oh, dia punya kelebihan dalam komunikasi antarpersonal
dan kemampuan organisir komunikasi kelompok. Bagus. Cocok untuk ditempatkan
dalam masyarakat.
Ujian selesai. Dia keluar, lalu saya baru ingat
kalau dia belum absen. Dalam hati, saya berpikir biar nanti saja minta tolong
peserta selanjutnya untuk memanggil dia. Akan tetapi, saya menunggu lebih lima
menit. Kepala mulai pusing, kaki mulai dingin. Seperti ingin menangis, tapi
tidak tahu apa masalahnya.
Beberapa kali saya melihat ke arah Rina yang juga
melihat ke arah saya. Saya memberi kode untuk memanggil peserta selanjutnya. Rina
tidak merespon, dia hanya melirik-lirik saja ke arah saya. Peserta selanjutnya
baru masuk setelah saya memberi kode pada Pipin.
Peserta ketiga masuk, seketika saya lupa pada
peserta kedua itu. Namun saya tahu kalau sedang bersinggungan dengan dunia yang
sudah lama sekali tidak pernah terlintas dalam kepala. Badan saya mulai tidak
enak, seperti terserang kolesterol.
Ujian tidak lagi panjang-panjang. Sekedar bertanya
sesuai tupoksi, lalu saya mengakhiri dan keluar. Turun ke lantai bawah melewati
ruang podcast di ujung tangga.
Di ruang P3M, para panitia sedang makan. Sekretaris
P3M bertanya, “cepat kali, Fa.”
Rekan lain justru bertanya, “kenapa pucat kali?
Sakit?”
Tidak ada yang bisa saya jelaskan. Badan saya
nggak enak. Saya Cuma pengen nangis, tapi tidak ada alasan. Semua ayat-ayat
dalam kepala seperti lenyap. Tidak tersisa untuk diingat.
“Fa pulang dulu, ya,” kata saya pada bestie yang
sedang sibuk dengan berkas-berkas.
“Nggak makan dulu?”
“Nggak. Makan di rumah saja.”
Tiba di rumah. Saya tidur. Lelah untuk sesuatu
yang tidak dipahami.
0 Komentar