Saya menerima buku ini dari Penerbit Diva Press pada awal Januari 2019. Buku ini masuk timbunan sampai menguning dimakan usia dan cuaca. Maaf cakap, saya kurang tertarik dengan ilustrasinya yang terlalu ngejreng dan terbilang sangat absurd.
Bayangkan saja, warnanya orens dan tulisannya
memang seperti lari-lari. Kacau. Hanya tulisan kecil memanjang ke bawah seperti
aksara han tempo dulu di sebalah kiri dekat tulang buku yang menunjukkan
kejelasan bacaan dengan kalimat Ya, Aku
Lari! Sebuah Novel Hasan Aspahani.
Data buku Ya, Aku Lari! (Hasan Aspahani)
Ya, hanya kalimat itu! Akan tetapi, kalimat don’t judge a book by its cover ternyata
berlaku untuk buku ini.
Kebosanan yang melanda dan lelah dengan buku yang
dihebohkan oleh para bookstagram di media sosial membuat saya membongkar TBR.
Pilah sana, pilih sini. Selalu khawatir dengan akhir zonk, buku yang tidak populer di mata dan ingatan saya langsung
mengambil tempat. Ada beberapa buku, salah satunya adalah novel Ya, Aku Lari! Yang terlihat (sekali
lagi, maaf!) tidak menarik ini. alasan utama saya memilih novel ini karea ia
tidak tebal.
Saya mencoba membaca Ya, Aku Lari! Sepuluh halaman pertama dengan mulus. Ternyata
keterusan hingga selesai. Bahkan ketika waktu saya yang sedikit ini tidak bisa
berkompromi untuk menikmati, saya merelakan waktu tidur yang sedikit untuk
melahap novel Ya, Aku Lari! dengan
iringan playlist musik caltic dari
YouTube.
Hasilnya sungguh mengejutkan saya sendiri. Novel
setebal 176 halaman ini benar-benar ibarat hotspot yang dengan kuah pedas.
Berwarna butek dan penuh sayuran serta daging, tapi tidak membuat neg. Saya
justru meminta lebih. Sebuah permintaan impossible,
kecuali Pak Hasan Aspahani membaca artikel saya dan memberi bocoran jika
novel Ya, Aku Lari! ada lanjutannya.
Menu
Utama yang ‘Daging’ Banget
“Apa
sih yang legal dan ilegal di dunia kita yang hitam ini? semua yang putih pun
akan menjadi abu-abu kalau terjerumus di situ,” kata Mat Kid. –halaman 14.
Kalimat ini bisa dikatakan plot twist yang memancing pembaca untuk melanjutkan petualangan di dunia
Hasan Aspahani. Saya langsung menebak bahwa Mat Kid akan menjadi tokoh
superhero yang akan mendominasi cerita. Apalagi di bagian blurb disebutkan Mat Kid mencari anak gadisnya bernama Alta.
[Photo: Pexels/Cottonbro Studio] |
Sudah terbayang di kepala saya akan ada adegan action yang dideskripsikan dengan apik.
Alta yang disandera, baku tembak, pergulatan batin Mat Kid, dan lain-lainnya.
Ternyata tidak, ding! Pikiran saya terlalu terbeban dengan adegan film
Hollywood,
Kalau boleh meminjam bahasa anak sekarang, novel Ya, Aku Lari! dibuka dengan suguhan yang
daging banget. Dikisahkan Mat Kid yang baru keluar dari penjara dan bertemu
dengan Samon, rekan kerja sekaligus sahabatnya di dunia kegelapan. Namun
keduanya sudah berbeda misi, Samon ingin Mat Kid kembali ke dunia mereka dan
Mat Kid justru ingin membuka cafe dengan suguhan kopi yang luar biasa. Dia
ingin menerapkan ilmu barista yang didapatkan dari penjara dari seorang politikus
yang mengaku ditumbalkan partainya.
Mat Kid
berjuang untuk membuka cafe. Dia mendatangi politikus yang menjadi sahabatnya
di penjara, Samon, dan mencari anaknya sampai ke kampung. Ternyata dunia tidak
seberpihak janji-janji untuk Mat Kid. Anaknya tidak ditemukan di kampung
bersama keluarga istrinya. Mat Kid juga harus berjuang lebih untuk mendapatkan
cafe impiannya.
Akhirnya Mat Kid memang mendapatkan sebuah cafe yang
pernah dia datangi bersama Samon begitu keluar dari penjara. Cafe saat dia
menjadi barista dadakan dan mendapat pujian karena racikan kopinya yang luar
biasa. Cerita sebenarnya justru berporos di cafe ini.
Mat Kid memperbaiki citranya sebagai mantan
narapidana, memperbaiki hubungannya dengan Alta, dan bertemu dengan orang-orang
yang saling terhubung. Dia juga seperti masih terikat dengan kepentingan Samon
dan dunia hitam di masa lalu.
Kopi
dan Cafe, Topik Renyah Pada Tahun 2018
Ya,
Aku Lari! Pada tahun ini banyak penulis yang mengangkat
topik kopi dan cafe. Ya, Aku Lari! salah
satu yang bercerita tentang itu. Bukan saja tentang mantan narapidana yang
menginginkan sebuah cafe, tapi juga kehidupan dan kisah Canopy Cafe dan
pengelolanya.
[Photo: Pexels] |
Kisah barista bernama Barbar dengan segala
keunikannya. Tentu saja yang membuat saya tertarik di sini adalah kisah
orang-orang yang kehidupannya bertaut dengan Bar Bar dan Mat Kid.
Tidak seperti kebanyakan novel bertema kopi dan
cafe yang terbit pada tahun ini, sisi romance dalam novel Ya, Aku Lari! benar-benar sebagai penyedap rasa. Itu pun bukan
antara Mat Kid, tapi antara si barista Barbar dan Alta, anak gadis Mat Kid.
Penyedap ini takarannya benar-benar pas dan enak dibaca. Sehingga tidak ada plot hole di mata penikmat buku seperti
saya.
Pengenalan
Tokoh yang Saling Bertaut
Ini adalah bagian lain yang sangat saya sukai dari
Ya, Aku Lari!. Cara Pak Hasan
Aspahani mengenalkan tokoh-tokohnya yang tidak asal sodor ke pembaca. Penulis
menyebutkan, lalu menguraikan karakter dan perannya pada bab dan bagian
selanjutnya. Bagian ini saya paling suka.
Saat Mat Kid mengatakan dia akan mencari anaknya,
pada bab selanjutnya penulis memperkenalkan pembaca dengan Alta dengan cara
digambarkan bukan disebut. Wah, bagian ini saya langsung trenyuh. Apalagi adegan
kecanggungan Mat Kid dan Alta yang sangat mengalir. Seolah melihat adegan asli.
So touching.
Setelah Mat Kid menceritakan rencananya pada Alta
dan bagaimana dia mendapatkan keahlian menjadi barista, tokoh yang disebut Mat
Kid muncul pada bab selanjutnya. Begitu pun dengan tokoh-tokoh lain. Mereka
tidak muncul tiba-tiba, tapi selalu ada sebab yang sederhana.
[Photo: Pexels/Danang Wicaksono] |
Beberapa novel yang saya baca kerap melepas hubungan antar tokoh. Di novel Ya, Aku Lari! saya menemukan para tokohnya saling bertaut dan memiliki hubungan. Bahkan hal rumit menjadi sangat sederhana dengan pertautan tokoh ini.
Sebut saja Barbar yang alim dan jadul itu ternyata
anak di seorang dokter dinas di desa terpencil dengan ibunya. Dia mengetahui
status ayahnya dengan jelas dan pernah bertemu dengan ayahnya justru karena
Ailsa, pemilik Kafe Kavi tempat dia bekerja sebelumnya. Ailsa adalah anak
dokter yang menuntut anaknya juga menjadi dokter, padahal Ailsa ingin menjadi
penari. Cara dia menemukan kebenaran juga tidak dramatis atau sinetronis.
Sederhana dan masuk akal. Hanya karena selembar foto lama dan sebuah lagu yang
disukai oleh ibunya.
Dunia
Cafe, Dunia Kelam
Jika kebanyakan kita membaca kisah-kisah yang
menyentuh dan membuat hati berbunga-bunga di sebuah cafe, tapi dalam Ya, Aku Lari! berbeda. Ada kisah-kisah
kelam yang diceritakan dengan apik di sini. Bagian yang menyenangkan, tapi juga
menyentuh hati sampai terasa nyeri di sudut hati saat novel Ya, Aku Lari! selesai dibaca.
Sebut saja bagian paling nyez dan menyakitkan di
bagian ini. Saat Barbar alias Kavi baru menyadari bahwa Ailsa adalah adik satu
ayahnya. Saat itu pula Ailsa harus pergi ke Amerika untuk menemani ibunya yang
sakit hati pada perselingkuhan Ayahnya. Saya menangkap ayah Ailsa memiliki
kelainan seksual, biseksual. Di
halaman sebelumnya penulis menyebut Ayah Adrian (pacar Ailsa) selingkuh dengan
abangnya Adrian.
Di halaman 114 tertulis tertulis pertengkaran
antara Adrian dan Ailsa yang mulai rapuh dengan pendiriannya. Terutama soal
cafe yang sedang bagus-bagusnya.
Kenapa
kita selemah ini, Ailsa? Apa peduli kita pada orang lain..
Bagaimana
bisa, Adrian, orang lain yang kau sebut itu adalah ayahku dan kakakmu! Dan aku
menghabiskan hidupku bersamamu dengan berpura-pura bahagia?
Nah, kan? Padahal pada awalnya cafe itu adalah
bentuk pemberontakan dan perjuangan Ailsa memperjuangkan mimpinya di hadapan
Ayahnya. Mungkin Barbar juga tokoh yang tersakiti. Bukan saja karena dia
melihat pertengkaran dan lukanya Ailsa sebagai adik tirinya, tapi juga terhadap
sosok ayah biologis yang baru dia ketahuinya.
Sisi kelam lain terdapat pada isu terorisme dan
gerakan radikal yang disebut oleh penulis. Cafe juga menjadi tempat dan sasaran
para teroris melakukan penyerangan. Meskipun tokoh yang disebut di sini bukan
teroris, tapi penulis memberi gambaran bahwa cafe juga memiliki nilai untuk
menjadi fokus empuk gerakan radikal.
[Photo: Pexels/David Peinado] |
Puncak kelamnya saat Canopy Cafe diserang oleh
empat orang bersenjata saat peluncuran buku Diya, anak Ramlan yang pernah
menjadi sahabat Mat Kid di penjara. Diya ini pernah menjadi seseorang yang dekat
dan punya kisah tersendiri dengan Barbar.
Sentuhan
Religius
Meski Ya,
Aku Lari! terlihat universal, bisa dibaca siapa saja. Namun saya menemukan
suntikan nilai dakwah dalam novel ini. Ada beberapa bagian yang memberikan nilai-nilai
Islami di novel ini khususnya dari sosok Barbar. Bagi saya yang paling berkesan
tentang penggunaan kata mushalla dan masjid.
“...saya
menyebutnya masjid. Tempat bersujud. Ini hanya pilihan kata saja. saya tidak
memilih mushalla, tempat shalat. Bukankah pada saat sujud itu manusia berada
pada situasi paling dekat dengan Allah?...”
Pada bagian ini dan beberapa bagian lain yang menyinggung
sisi dakwah, saya benar-benar menikmatinya. Bukan merasa diguruin. Mungkin ini
pula alasan dari alam bawah sadar saya menyukai novel Ya, Aku Lari!.
GWU,
Sekolah Jurnalistik, dan Amerika.
Bagian ini berkisah tentang Diya, anak politikus
bernama Ramlan. Akan tetapi, saya merasa menemukan benang merah antara Diya dan
saya di bagian ini. Diceritakan oleh Barbar pada Alta tentang Diya, seorang
jurnalis yang kerap mampir dan menjadikan Kafe Kavi itu sebagai kantor
keduanya.
Selain suka berkantor di cafe, saya pun memiliki
mimpi seperti Diya. Bagi saya jurnalis adalah profesi, meski banyak orang yang
menganggap jurnalis hanya pekerjaan buang-buang waktu yang tidak menghasilkan
uang. Pekerjaan bergelimang dosa karena terus menerus menyorot kesalahan orang.
Sebuah paragraf seperti menyadarkan dan
membangunkan pembaca yang masih berpikiran bahwa jurnalis bukan profesi, atau
beranggapat aktivitas saat gabut buat seru-seruan.
Diya diceritakan seseorang yang terpuruk saat
ayahnya masuk penjara menjadi tumbal partai. Sementara paman Diya yang seorang
jurnalis di media besar mengirimkannya ke Amerika, tepatnya ke kampus George Washington University. Paman Diya
memiliki koneksi dengan salah satu profesor di kampus ini yang kerap dia undang
ke Indonesia.
GWU [Photo: Search by Google] |
What?
Saya langsung terbayang pada seorang professor
dari Amerika dan berasal dari kampus yang sama. Beliau adalah bule pertama yang
saya wawancara pada tahun 2006 dan banyak mengajarkan dunia jurnalistik. Pada
tahun 2014 saya kembali bertemu saat kuliah S2 di salah satu negara Asia Timur.
Lalu pada tahun 2017 atau 2018 beliau datang lagi ke Aceh. Kami sempat
berkomunikasi melalui email, sayangnya saya sedang hamil besar dan tidak bisa
menemui beliau.
Bayangan saya tertuju pada Prof. Janet E. Steele,
professor bidang jurnalistik yang sering datang ke Indonesia. Bahasa
Indonesianya fasih dan luar biasa. Salah satu bukunya juga diterbitkan dalam
bahasa Indonesia berjudul Mediating Islam.
Jika saja saya benar, ini adalah kejutan yang luar biasa.
Luph
Luph Untuk ‘Ya, Aku Lari!’
Jika novel Ya,
Aku Lari! bisa diberikan ribuan hati, maka saya akan memberikan jutaan hati
untuk novel ini. Terutama kelebihan secara teknis yang membuat pembaca nyaman
dalam menikmati novel Ya, Aku Lari!.
Novel Ya,
Aku Lari! bukan saja pendek, hanya 176 halaman. Babnya juga pendek-pendek.
Saya menyadari dari beberapa buku yang memiliki bab pendek, buku seperti ini
memang lebih potensial untuk ditamatkan. Tata letak, jenis, dan ukuran font
cukup eye catching. Tidak ada alasan malas
dan lelah mata saat menyelesaikan halaman demi halaman.
Novel ini tipis, tapi berisi. Uraiannya singkat,
jelas, dan padat. Menurut saya penulisan yang dilakukan mulai dari November
2016 sampai Januari 2018 cukup matang. Meski tetap saja saya merasa kurang,
tapi kekurangan yang berfaedah. Ibaratnya makan, Ya, Aku Lari! seperti salah satu menu di restauran. Platting-nya cantik, rasanya enak, tapi
setelah habis tetap ada yang kurang dan nagih. Kenyang, tapi kurang kenyang.
Secara pribadi saya merasa novel ini agak kurang
di pergantian POV yang seperti tanpa aba-aba. Meskipun gaya seperti ini seolah
menjadi ciri khas dari penerbit Diva Press. Secara keseluruhan, novel ini
menggunakan sudut pandang orang ketiga. Di beberapa bagian yang menceritakan
kisah pribadi Barbar, Mat Kid, dan beberapa tokoh lain sudut pandang yang
digunakan justru sudut pandang pertama. Menurut saya, ini sedikit mengganggu.
Memang tidak ada pengaruh kenikmatan membaca, tapi
secara gaya kok jadi nggak enak, ya. Hilang sisi estetikanya. Selain itu, ending-nya juga gantung. Barbar dan
Alta sudah jelas endingnya bahagia. Bagian Mat Kit seperti mengulang kembali
ucapannya tentang pekerjaannya di dunia hitam. Terjebak di lingkaran setan.
Ada dua kemungkinan yang ditawarkan kepada
pembaca. Mat Kid menolak menjadi pemimpin di gank menggantikan Samon yang dia
bunuh, hasilnya dia mati di tangan Ale, orang kepercayaannya. Kemungkinan lain
adalah dia menerima permintaan Ale dan tetap hidup, tetapi harus berhadapan
dengan Alta dan Barbar. Alta jelas menolak Mat Kid sebagai ayah yang berada di
dunia kelas.
[Photo: Pexels] |
Saya bahkan mulai terbayang lanjutan kisah Mat Kid dengan Alta yang benci tapi cinta jadinya. Belum lagi posisi Mat Kid yang menjadi bos dunia hitam akan memposisikan Alta pada situasi yang sulit. Jika pada saat membaca blurb saya tertipu memikirkan ini cerita thriller, dalam imajinasi saya setelah membaca ending sepertinya bisa terwujud.
By the way, buku ini masih ada di toko buku Gramedia atau lapak orens. Untuk harga Pulau Jawa dibandrol Rp 55 ribu. Bisa jadi harga yang dijual di lapak orens lebih murah dengan berbagai diskon. Sedangkan untuk harga di toko buku bisa bertambah. Di Aceh biasanya bertambah 10% menjadi Rp 60500,- gitu.
0 Komentar