“Kamu yakin akan berangkat tanggal satu?” pertanyaan ini bukan ditanyai oleh satu dua orang kepada saya. Rata-rata teman menanyakan hal yang sama melalui inbox Facebook atau SMS. Bahkan beberapa teman khusus singgah di kos untuk pertanyaan ini.
Saya mengangguk mantap atau membalas dengan kata
YA jika tidak bertatap muka. Ini memang perjalanan pertama saya ke Beijing,
tapi bukan perjalanan pertama saya ke China. Kalau untuk urusan naik pesawat
penerbangan internasional, insyaallah saya sudah ada pengalaman ke Kuala
Lumpur, China, dan Singapura sebelumnya.
[Photo: Pexels/Jr. Bellemore] |
“Masalahnya bukan apa-apa, Fa. Ini kan kamu harus
daftar ulang tanggal tiga. Setidaknya kamu punya waktu istirahat,” kata salah
satu teman saya yang lain. Saya hanya menanggapi dengan senyum. Soal saran
semua orang bisa memberikan, tapi apa yang saya perjuangkan tidak ada yang
tahu, bukan?
Saya baru menerima visa tiga hari sebelum tanggal
keberangkatan. Saking serius dan yakinnya saya berangkat ke Beijing, saya
membeli tiket sepulang dari gudang TIKI untuk menjemput visa. Kurang yakin
apalagi?
Ternyata pertanyaan ini menjelma menjadi sebuah resiko.
Sehari sebelum berangkat ke Beijing, Banda Aceh diguyur hujan deras tiada
henti. Begitu juga Kuala Lumpur. Saya tidak punya pilihan yang lebih cepat dan
tepat selain transit di Kuala Lumpur.
Kekhawatiran saya muncul, tapi saya abaikan karena
penerbangan pertama kali yang saya lakukan dalam keadaan hujan deras.
Alhamdulillah, waktu itu saya mendarat di Bandara Sutopo Pontianak dengan
selamat. Kali ini juga sama. Saya yakin itu. Apalagi penerbangan Banda Aceh
Kuala Lumpur tidak jauh. Lebih jauh penerbangan Banda Aceh ke Jakarta dan
berlanjut ke Pontianak. Kami menyebrang Samudra Indonesia pula.
Malam itu hujan cukup deras. Teman-teman yang
merencanakan pertemuan perpisahan sambil senang-senang sambil makan mie Mak
Beth batal datang karena cuaca benar-benar tidak mendukung. Paginya saya lega
karena hujan sudah reda meski mendung dan ada kemungkinan hujan lagi.
Kami berangkat ke bandara diantar Ayahanda dan
Bunda saya. FYI, mereka adalah adik dan adik ipar ayah. Bukan orangtua kandung
saya. Bunda adalah adik ayah, bukan ibu saya.
Kami berangkat dan menunggu di bandara. Usai check in, saya duduk di luar. Beberapa teman
ada yang datang mengantar sampai ke bandara. Mereka memberi oleh-oleh yang
berguna untuk saya gunakan setiba di China. Saya senang dan sejenak lupa akan
cuaca.
[Photo: Pexels] |
Penyiar di bandara memanggil penumpang maskapai
bodi merah untuk segera berkumpul di rang tunggu. Saya berpamitan dan masuk ke
ruang tunggu. Orang-orang mulai ramai di sana. Ada yang kembali ke Kuala Lumpur
untuk kuliah, ada yang liburan, dan banyak yang pergi untuk urusan bisnis. Di
ruangan ini, tanpa memiliki bakat sebagai ahli komunikasi nonverbal pun kita
bisa membedakan tujuan mereka masing-masing. Bisa disimpulkan yang berangkat ke
Kuala Lumpur untuk melancong paling lebay.
Ada sepasang pengantin baru duduk berdempetan
seolah orang-orang yang berfoto ria akan mudah menyenggol mereka sampai
terpisah. Tangan mereka terus bertaut memamerkan gelang emas dan cincin belah
rotan yang masih berkilau karena baru. Inai juga masih terukir di punggung
tangannya.
Dara
baroe (mempelai perempuan) tampaknya baru pertama kali
aik pesawat. Suaminya berulang kali mencoba menenangkan. Dia tampak tegang dan
tidak mau sesentipun jauh dari sang suami. Mereka lengket bagai amplop dan
perangko. Ah, kalau mengingat mereka saya jadi geli sendiri.
Pesawat delay dua jam dari yang seharusnya. Kami
menunggu di dalam pesawat dan pramugari terus menerus hilir mudik di lorong.
Penumpang di samping saya tertidur pula dengan kepala menyentuh kaca pesawat
sebelah kanan. Saya juga tidak punya teman mengobrol. Untungnya ada in-flight magazine yang bisa saya baca
sepanjang penantian take off.
Setelah melewati drama cuaca buruk, pesawat
mendarat darurat, dan segala hal yang menurut saya berlebihan dan di luar hoki
saya, akhirnya kami keluar dari pesawat dengan selamat. Waktu itu masih bandara
lama, begitu turun pesawat, kita tidak langsung terkoneksi ke gedung tetapi
melewati jalur di luar gedung yang sangat panjang.
Saya mengikuti tanda yang tertulis di sepanjang
jalur. Antrian panjang dan waktu sudah menunjukkan penerbangan selanjutnya akan
segera take off. Pesawat yang terbang
ke Beijing akan lepas landas satu jam lagi. Saya mulai gelisah karena resiko
ketinggalan pesawat di depan mata.
Tetangga kursi saya di pesawat mengatakan waktu
saya sangat tipis, dia tidak mengatakan saya akan ketinggalan pesawat. Akan
tetapi raut wajahnya mengatakan itu. Bahkan kalimat yang dipilihnya juga
mengarah ke sana, “empat puluh menit menuju take
off.”
Kali ini untuk pertama kalinya dalam hidup saya
menyesal kuliah di jurusan Komunikasi. Bahasa verbalnya jelas menunjukkan waktu
dan peringatan. Sepertinya tidak perlu punya IPK empat sempurna untuk memahani
kalimat itu.
Benar saja. saya ditinggal pesawat. Petugas
maskapai bodi merah menyuruh saya untuk melapor ke konter maskapai. Sambil menyeret koper kecil yang
penuh dan ransel seberat koper saya ke sana kemari mencari konter maskapai bodi
merah. Saya tidak menemukan. Beberapa petugas bandara yang saya tanyai hanya
menjawab dengan kode. Tidak menunjukkan langsung agar saya mudah.
Saya berputar-putar ke sana kemari dan tidak
menemukan konter maskapai itu. malahan saya kembali lagi ke tempat semula.
Akhirnya dengan putus asa saya bertanya pada seorang petugas keturunan China.
Dia berjalan beberapa langkah dan memberi petunjuk dengan jelas. Saya tiba di
depan konter dengan peluh bercucuran dan kemeja dress yang saya pakai basah.
Pergantian tiket ditolak oleh pihak konter dengan
alasan tidak jelas. Saya harus membeli tiket baru. Omaigot! Ini keterlaluan.
Harusnya saya mendapatkan pergantian tiket karena keterlambatan bukan saya
sengaja, tapi pesawat bodi merah dari Banda Aceh memang delay.
Saya bukan satu-satunya yang ditolak. Seorang
perempuan melayu justru adu mulut dengan petugas karena tiketnya terbang ke India
tidak bisa digantikan. Nasibnya sama, dia juga ketinggalan pesawat.
Saya hampir putus asa dan menghubungi teman saya
yang di Kuala Lumpur. Dia memang sedang dibandara, kami berencana bertemu.
Pulsa saya habis akibat roaming. Saya
tidak bisa menghubungi si teman dan si teman tidak bisa menghubungi saya. Roaming memang menyebalkan.
Sambil berputar-putar di bandara dengan perasaan
tak karuan saya menemukan konter ponsel. Di sana saya membeli simcard prabayar
Malaysia sealigus pulsa. Tidak banyak ringgit yang saya kantongi. Untungnya
penjaga konternya baik, dia melihat uang saya yang hanya sedikit, akhirnya dia
menjual dengan harga sangat murah.
Saat meninggalkan konter, saya sempat berbalik ke
belakang ingin bertanya dimana pintu keluar bandara. Saat itu saya melihat si
kakak mengambil uang dari dompetnya sejumlah yang dia kurangi untuk saya dan
memindahkan ke laci salah satu meja.
Petunjuk si kakak sangat jeas, tapi saya kelaparan dan otak saya seperti berhenti berpikir. Akhirnya saya hanya mengikuti instig untu berjalan di seputaran bandara sampai menemukan toko buku. Di sampingnya ada bakery yang aromanya sangat menyiksa perut lapar. Di pesawat saya hanya makan mie instan yang ditraktir oleh kepala dinas pertambangan yang tidur sepanjang pernebangan. Saat pesawat mendarat darurat itulah dia mentraktirmembelikan saya air mineral dan mie instant. Katanya saya harus makan, karena belum tentu nanti akan sempat makan.
Kondisi saya persis seperti anak kucing kehujanan.
Saya meringkuk dengan koer dan ransel di depan toko buku. Dalam hati saya
berdoa agar segera dipertemukan dengan teman saya dengan cara apapun. saya
hampir menangis saat mendnegar suara operator telepon menyebutkan sisa kuota
telepon saya tidak cukup untuk melakukan telepon.
Teman saya tiba-tiba muncul dengan tentengan
plastik berlambang bakery di samping. Dia menyapa saya riang. Saat itu saya
langsung menangis dan terduduk lemas di bandara. Capek.
[Photo: Pexels] |
Dia membukakan kertas roti, lalu memberikan kepada
saya. Saya makan seperti orang tidak makan tiga hari. Dia juga membukakan botol
minum untuk saya. Teman saya ini tidak banyak bicara, tapi lebih banyak aksi. Usai
makan, kami membeli tiket untuk naik shuttle
bus dan menuju ke subway.
0 Komentar