(Do It sudah diterbitkan dalam buku antologi ‘Kuliah Dengan 0 Rupiah’ yang diprakarsai oleh Gerakan Indonesia Membantu)
-o0o-
Diskriminasi. Itu yang aku nilai terhadap mereka
yang mencari guru bukan karena jam terbang mengajar, tapi penampilan fisik.
Semua teman-teman mengakui hal itu. bahkan temanku asal Rusia yang memenuhi
syarat secara penampilan bisa menjadi guru dengan bayaran tinggi hanya untuk
berdiri dan tersenyum di depan kelas. Jangan tanya bahasa Inggrisnya, dia sama
sekali tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Memahami konten percakapan
secara umum pun tidak.
Selama satu semester aku melewati hari-hari yang
begitu buruk. Kupikir Tuhan sudah menyerah mengujiku. Ternyata tidak. Ujian
sebenarnya justru datang di saat aku berpikir sudah hidup tenang selamanya.
Meskipun tidak punya banyak uang, aku bisa menyelesaikan masalah tanpa harus
berutang. Setidaknya setiap bulan aku bisa menabung sedikit. Tidak
berfoya-foya, tidak gila belanja, dan makan makanan sehat untuk menghindari
sakit di rantau.
Belajar New Media Editing bersama Prof. Fu Xiaoguang [Photo: Ulfa Khairina] |
Aku tidak melakukan penarikan uang di ATM jika
masih ada lembaran untuk dibelanjakan di dompet. Aku baru mendatangi mesin ATM
jika dompetku sudah benar-benar kosong. Ternyata cara ini tidak tepat, justru
berbahaya sekali. kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika tidak punya
pegangan kas sedikit pun. Terjadi pula padaku.
Menjelang maghrib sebelum kelas malam dimulai, aku
menuju ATM terdekat dengan kantin. Aku berniat makan malam di kantin, lalu
melanjutkan ke kelas. Tidak ada pemberitahuan mesin ATM error karena gangguan
jaringan. Begitu memasukkan kartu ATM, layar tidak berfungsi. Kartu ATM-ku
ditelan oleh mesin. Aku panik.
Aku masuk kuliah dalam keadaan perut lapar.
Kuceritakan kepada teman yang aku kenal. Karena kasihan, dia menawarkan
pinjaman 700 RMB. Aku bisa mengambalikan di awal bulan, ketika beasiswa sudah
masuk dan urusan dengan bank selesai. Bank yang aku gunakan ini sedikit ribet
dan jarak kantor cabang terdekat dari kampus
kami juga ditempuh empat halte bus. Sementara dalam minggu ini kami
cukup padat.
Aku menolak niat baik teman asal Mongolia ini. Aku
tidak mau berutang, terutama pada orang asing. Kupikir mencari pinjaman pada
teman senegara jauh lebih baik. Aku mendatangi mereka yang sedang berpesta dan
asyik menggunakan YouTube menggunakan
identitas dan kuota internetku. Satu-satunya yang aku syukuri, aku memiliki
rezeki nomplok kuota internet unlimited.
Entah siapa yang berbaik hati mengisikan untukku.
“Aku mau minta tolong,” kataku membuka percakapan.
Ragu dan segan.
“Tolong apa, Kak?” si gadis berkacamata, paling
awal aku kenal di antara mereka bertiga bertanya.
“Boleh aku pinjam uang 200 RMB? Paling telat aku
bayar minggu depan. ATM aku di telan mesin. Aku nggak...”
“Sorry, Kak.
Kita belum ada yang ngambil duit, sih,” gadis yang paling cantik, paling tua di
antara ketiganya, dan kupikir paling bijak juga. Dia memotong kalimatku.
Aku mempertahankan agar bulir bening tidak jatuh.
Semangatku seperti terlepas dari tubuh. Detik selanjutnya gadis berkacamata dan
si cantik sibuk bercerita tentang konser artis kesukaan mereka di Shanghai,
temu penggemar Lee Min Ho di Beijing dalam dua hari ini, dan outfit ZARA incaran mereka sedang
diskon.
Berbelanja sebagai salah satu bagian dari melepas stress [Photo: Pexels] |
“Besok kita jadi, ya, ke Solana Mall. Ya
ammmmpuuunnn!!! Beneran, lho. Itu cardigan
aku udah lama banget ngincar.” Si
cantik tanpa perasaan masih saja bercerita tentang cardigan.
Napasku seperti sesak.
“Iyaaaa, aku juga. Sepatunya itu, lho. Lagi sale nggak, ya? Kayaknya, kalaupun nggak
sale gue juga bakalan beli. Pokoknya
bulan ini gue harus punya tuh sepatu!” si gadis berkacamata terpancing dengan
percakapan yang diciptakan oleh si cantik.
Mereka heboh dalam waktu semenit. Sampai sebuah
tangan menyentuh pahaku, “Kak, aku punya uang. Kakak butuh berapa?”
Gadis imut berwajah mirip sekali dengan
Asmirandah, dia baru tiba di Beijing. aku baru mengenalnya beberapa minggu. Aku
ingin menolak, tapi kebutuhan untuk menyambung hidup sangat kepepet.
“200 RMB saja. Aku akan kembalikan paling telat
dalam seminggu, setelah ATM-ku kembali. ATM aku yang dari Indonesia juga
tertelan mesin karena salah mesin ATM. ATM bank di China juga.”
Aku ingin memeluknya, tapi tanganku mendadak kaku
sekali.
“Sebentar, ya, Kak. Aku ambilkan dulu,” dia
meninggalkan kamar gadis berkacamata ke kamarnya.
Kedua gadis itu diam untuk beberapa saat.
Menyadari suasana mulai canggung, gadis cantik membuka suara, “besok kita mau
ke Solona Mall, Kak. Semua brand lagi
diskon, lho. Cuma tiga hari dan Cuma di Solona. Kak Fafa mau ikutan?”
Aku menggeleng. Sambil tersenyum pahit aku
menjawab, “untuk makan saja aku harus ngutang.”
“Kakak bisa pinjam sama kita dulu. Ntar kalau
beasiswanya sudah masuk, boleh deh kembalikan ke kita,” si kacamata menimpali.
Aku menggeleng.
Si mungil tiba kembali ke kamar. Dia membawa uang
cukup banyak. Dia memberikan kepadaku, “kakak yakin ini akan cukup? Atau nggak
sekalian saja 500, Kak?”
Uang adalah masalah utama dalam hidup. [Photo: Pexels] |
Aku menggeleng, “terima kasih, Dek. Insyaallah
dalam minggu ini, ya.”
Setelah menerima uang, aku meninggalkan kamar si
kacamata. Tidak peduli gosip apa yang sedang mereka gunjingkan di belakangku,
tentangku.
Sesampai di kamar. Aku menangis. Aku memang sudah
mengelola semuanya dengan baik, tapi aku
salah cara. Harusnya aku lebih cerdas dalam mengatur dengan menyimpannya dalam
dompet. Bukan di dalam mesin. Ini menjadi pelajaran untukku. Beruntungnya,
ketika semester baru dimulai, isu kenaikan beasiswa terealisasi. Pihak donatur
mentransfer kekurangan selama satu semester ke rekening masing-masing. Aku
bahagia sekali sampai tertawa ngakak. Dalam sekejap kami kaya. Dalam sekejap
pula, aku bisa menyelesaikan semua tunggakan yang selama ini teresnedat-sendat.
Pertemananku semakin luas. Mereka yang mengenalku
memberikan pekerjaan sampingan yang aman untuk mahasiswa. Terbebas dari cidukan
pihak manapun. Di Beijing, bekerja sampingan bagi mahasiswa asing dengan visa X
sangat rentan penangkapan. Meskipun banyak yang lolos dari pantauan, banyak
pula yang sial tertangkap. Aku memilih aman meskipun tidak punya jutaan uang
saku.
Kejadian Solana Mall dengan teman sebangsa
memberiku pelajaran moral paling besar. Jangan menyimpan uang seluruhnya di
ATM. Jangan meminjam di saat kepepet. Jangan menolak kebaikan orang lain saat
ditawarkan dengan tulus. Satu lagi yang paling penting, jangan meremehkan
Tuhan. Rencana Tuhan selalu lebih indah dari yang kita prediksikan.
Setelah kejadian itu, aku tidak lagi
bersantai-santai menikmati internet gratis. Ada banyak artikel yang harus aku selesaikan.
Mereka membayarku. Ada beberapa artikel yang butuh sentuhan editor. Aku tidak
meminta bayaran, meskipun ada yang membayar dan tidak. Ada dokumen yang harus
aku terjemahkan.
Aku mengingat kembali kata-kata ayah. Bukan soal
duit, do it.
Do
it!
Aku melakukan semua kesibukan untuk meningkatkan
kemampuanku dalam menulis, mengedit, dan menerjemahkan. Semua hasilnya adalah
umpan balik yang akku dapatkan setelah lulus nanti.
Belajar fotografi sebagai bagian dari jurnalistik [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Setahun setengah aku melewati kesibukan-kesibukan
berkualitas. Tidak aku sangka, tidak pula pernah aku bayangkan, aku melewatinya
dengan tenang. Tidak ada tunggakan. Aku bisa menikmati beasiswa untuk mengganti
laptop, ponsel, pulang kampung tiap liburan, jalan-jalan, shopping, dan... bersedekah. Tentu saja, aku punya tabungan.
Jangan tanya berapa banyak uang aku kumpulkan dari
bekerja. Aku tidak pernah menghitungnya. Setiap pekerjaanku selesai, mereka
akan mengirinya lewat WeChat. Aku juga menggunakan WeChat Payment ketika berbelanja. Hidup terasa lebih mudah,
teratur, dan indah.
Sampai aku pulang, ada sesuatu yang bisa aku
bagikan untuk orang-orang yang berjasa. Meskipun hanya sebaris ucapan terima
kasih dan pengalamanku di rantau.
-o0o-
Hikmah
Cerita
Tuhan tidak akan pernah menguji hamba-Nya melebihi
batas kemampuannya. Aku percaya itu. Dan manusia tidak bisa memilih terlahir
dari keluarga seperti apa. Aku juga percaya ini. satu baris yang bisa aku
simpulkan dari keduanya, Tuhan sudah menciptakan skenario yang memukau untuk
hamba-Nya dalam memerankan tokoh di dunia. Berat dan tidaknya skenario itu
tergantung jam terbang masing-masing.
Jam terbangku tidak seberat yang dialami oleh
orang lain. Masalahku juga tidak seberat apa yang dialami oleh orang lain. Aku
percaya segitulah porsi masalah yang mampu aku emban. Ketika aku mendapatkan persoalan-persoalan
yang menjurus pada keinginan finansial dengan cara instan, saat itu pula Tuhan
menegurku. Tidak akan berubah nasibku jika bukan aku sendiri yang mengubahnya.
Ketika aku memilih mengeluh, Allah mengirimkan aku
orang-orang yang membuatku berpikir. Teguran halus melalui mereka justru
memberiku penerangan. Jalan yang aku tempuh salah. Tujuanku salah. Apa yang
sedang aku lalui adalah proses untuk mencapai yang aku butuhkan. Bukan yang aku
inginkan.
Bersyukur terhadap apa yang aku jalani dan sudah
aku miliki, dengan begitu Allah akan memberi nikmat lebih besar. Tidak ada satu
pun janji Allah yang ingkar. Terkadang hanya manusia saja yang abai dengan
nikmat-Nya.
Nikmat terindah saat memakai toga [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Berulang kali aku merenungkan segala hal ketika
perjalanan kembali ke Banda Aceh. Rahasia apa di balik kehilangan dan kesialan
yang aku derita.
Kita tidak akan memperoleh kedua hal kenikmatan
sekaligus dalam hidup. Kita harus memilih satu. Jika kita tidak bisa memilih,
Allah yang akan pilihkan untuk kita. Ayahku terserang stroke setahun sebelum
aku dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa. Ketika aku melihatnya, aku yang
terpuruk. Kehilangan harapan. Ayah mendorongku untuk terus maju. Baginya,
sekalipun seorang perempuan, dia haruslah memiliki pendidikan yang tinggi. Ibu
akan menjadi sekolah pertama untuk anak-anaknya. Menjadi profesor untuk
generasinya kelak adalah kebanggaan paling mulia.
Selain itu, perempuan harus mandiri dalam segala
hal. ketika seorang perempuan memiliki pendidikan tinggi, dia jarang akan
terjerumus ke dalam hal yang buruk. Pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah
modalnya untuk bertahan hidup. Termasuk dalam masalah finansial.
Aku berpikir sebaliknya, selain aku harus
mendapatkan gelar pendidikan yang lebih tinggi, memiliki tabungan dari beasiswa
adalah keharusan. Ternyata pikiranku salah. Beasiswa tidak akan pernah cukup
untuk menikmati hidup jika ditempatkan terlalu banyak kas. Justru ketika aku
menikmati dan mensyukuri berapapun yang
aku dapat, rezeki lain mengalir dari segala arah.
Jalan-jalan gratis sebagai bonus dari hobi menulis. [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Ada banyak rezeki yang aku dapatkan dalam hidup.
Tergantung orang lain melihatnya dari sisi apa. Bagiku, apa yang aku dapatkan
sekarang adalah hikmah meluruskan tujuan ke Beijing. Tujuan untuk kemandirian
secara umum berubah menjadi menuntut ilmu. Aku memang tidak kaya karena menulis
dan membaca. Ya, tidak kaya secara materi, tapi aku kaya dengan pengatahuan dan
informasi yang dibutuhkan oleh orang-orang.
Meskipun bersebarangan dengan keinginan teman-temanku, aku sudah putuskan untuk melakoni apa yang aku suka. Hakikat hidup mencari kebahagiaan. Kebahagiaan diciptakan, bukan ditunggu. Aku rasa, aku sudah menemukannya.
Do it dulu, duit menyusul. (T.A.M.A.T)
0 Komentar