Menabung di Beijing tidak mudah. Setiap bulan bukannya tertabung, tapi malah terutang. Aku tanyakan berulang kali pada mahasiswa yang sudah berusia tua dan punya perencanaan bagus dalam pengelolaan serta manajemen keuangan. Apa penyebab aku tidak bisa menabung? Padahal aku sudah berusaha maksimal dalam menabung.
“Tidak masalah, Fa. Ini semester pertama. Kamu
butuh banyak hal untuk dibeli. Semester kedua atau tahun kedua, insyaallah kamu
akan bisa menabung. Kamu tidak boros. Kamu memang belanja sesuai dengan
kebutuhanmu saja. Biaya hidup di Beijing memang sangat mahal,” tutur Eshraga,
perempuan berusia setengah abad asal Sudan.
Pakaian termasuk kebutuhan primer yang harus dibeli. [Photo: Dokumentasi Pribadi] |
Kalimat Esharaga melegakan hatiku. Kelegaan ini
ternyata tidak berlangsung lama. Ketika meluangkan waktu mengobrol dengan teman
di provinsi lain Tiongkok, dia menceritakan punya rencana mendatangkan
seseorang dari Indonesia. Kami yang akan patungan untuk menanggung tiket pulang
pergi, makan, transportasi lokal, penginapan di Tiongkok, dan akomodasi
lainnya. Mereka meminta sumbangan wajib sebesar 500 RMB setiap orang. Lebih
boleh, kurang tidak boleh. Aku terkejut, ini bukan jumlah yang sedikit untuk
kondisiku di awal semester.
“Aku nggak punya uang sebanyak itu. Sampai
sekarang saja tabunganku nggak sampai sebanyak itu. Ini kan baru bulan kedua
aku di sini, masuk bulan ketiga. Sebulan aku hanya bisa menabung dua ratus
yuan,” kataku pada si teman. Jujur tanpa menutupi apapun.
Respon yang aku terima sangat menohok, “itu karena
kamu nggak pernah sedekah. Semester pertama aku di China, aku bisa beli smartphone. Semester kedua aku bisa
jalan-jalan ke Beijing, Xinjiang, Xi’an, Ningxia, dan daerah berpenghuni muslim
lainnya. Semester ketiga aku bisa beli laptop baru. Kemarin aku juga baru beli
laptop baru untuk adikku di Indonesia. Masih sisa juga tabungan. Alhamdulillah,
cukup untuk menyumbang lima ratus yuan perbulan. Itu karena aku rajin sedekah,
rezeki berkah.”
Deg!
Perkara apa ini?
Mengapa teman ini mengungkit-ungkit ibadahku?
Sejak itu aku mulai membuat jarak dengan mereka.
Komunikasi mulai berdurasi. Untuk menjaga
silaturahmi, aku hanya mengirimkan pesan setiap dua minggu sekali. Dibalas
singkat atau tidak sama sekali. Intinya jika aku tidak bisa bersedekah untuk
kas, aku sama sekali bukan bagian dari keluarga. Kubagi perkaraku pada teman
yang sesama penerima beasiswa. Itu juga karena dia pernah mengeluh padaku bahwa
beasiswa yang dia terima tidak cukup untuk biaya hidup di Beijing. Berbeda
dengan para mahasiswa penerima beasiswa di provinsi lain Tiongkok. Setidaknya
mereka masih bisa hidup enak dan layak dengan unggahan foto rutin di media
sosial. Tentu saja membagi kebahagiaan di rantau. Kemewahan sebagai penerima
beasiswa. Hal yang tidak semua dari kami bisa lakukan jika hanya mengandalkan
uang dari beasiswa.
Whatapp salah satu jejaring komunikasi yang sudah lama digunakan. [Photo: Pexels] |
Di saat kegalauan soal sumbangan, teman dekat yang
pernah mengirimkan dua juta memaksaku untuk pulang. Dia mengatakan ada sesuatu
yang mendesak akan dibicarakan denganku. Aku sempat terlalu percaya diri.
Berpikir yang tidak-tidak tentang masa depan. Bahkan ketika dia menawarkan diri
untuk meminjamkan uang untuk membeli tiket yang tidak murah. Aku tidak langsung
mengatakan iya. Tapi juga tidak menolak.
Akhir semester, ketika aku baru memutuskan tidak
pulang di liburan musim dingin. Sebuah kabar menyesakkan datang melalui telepon.
Ayah meninggal dunia. Stroke kedua menyerang sehingga menyebabkan terjadi
penyempitan aliran darah ke otak. Operasi yang dilakukan tidak membuka mata
ayah untuk menungguku dengan balutan
toga. Akan tetapi hanya membuka sejenak untuk mendengarkan bisikan adikku
tentang, “Kakak baik-baik saja.”
Ayah adalah orang yang memodaliku untuk berangkat
ke Beijing. Memintaku berdiri dengan kedua kakiku sendiri tanpa berharap dari
bantuan manusia. Bersujudlah pada Allah. Maka Allah akan menolongmu. Menurut
Ayah, aku mampu memperbaiki kehidupanku sendiri setelah berada di Beijing
dengan doa dan usaha.
Aku tidak melihatnya menutup mata. Bahkan tidak
cukup uang untuk membeli tiket pulang. Hari ayah meninggal berpapasan dengan
tahun baru dan liburan panjang. Harga tiket melonjak berkali-kali lipat. Aku
tidak menyangka harga tiket dari Beijing ke Banda Aceh mencapai Rp 14 juta.
Di saat semua keluarga dan adik-adikku sedang
bersama saling menanggung duka dan memberi kekuatan. Aku terpaku di depan
jendela kamar. Salju pertama di musim dingin mulai berjatuhan dari langit. Aku
tidak merasakan sensasi apapun. hanya kesedihan di antara serpihan salju yang
berjatuhan. Tiket yang dibelikan untuk pulang tiga hari lagi. Hanya pada hari
itu penerbangan yang tersedia.
Sekali lagi aku merasa menyesal. Harusnya aku
tahan lapar. Harusnya aku tidak di sini. Harusnya aku punya uang sendiri. Jadi
aku bisa membeli tiket pulang tanpa dibelikan oleh orang lain yang sungkan aku
terima. Temanku ini mendonorkan darah untuk ayah. Itu sebabnya dia tahu kondisi
ayah yang tidak mungkin bertahan lebih lama lagi. Dia memaksaku pulang tanpa
megabari kondisi sebenarnya. Dia juga tidak ingin membuatku terpuruk di rantau.
Semakin tinggi nilai mata uang, semakin banyak masalah. [Photo: Pexels] |
Sialnya, ini justru pesan ayahku juga, “jangan
beri tahu Fafa. Biarkan dia belajar dengan tenang.”
Aku tiba di rumah pada hari kelima kepergian ayah.
Perabotan di rumah sudah diangkut ke tempat lain bergantikan dengan tikar
plastik. Lantai dapur penuh dengan piring-piring yang ditelungkupkan. Akan
diambil lagi ketika pelayat datang. Satu persatu tamu datang dan pergi.
Begitupun saudara yang datang. Mereka memelukku dalam tangis.
Tetangga yang datang saling berbisik. Ada yang
mengasihaniku. Ada yang mengatakan aku anak tidak tahu diri. Anak durhaka. Ada
pula yang berkomentar untuk ayahku, “ternyata dia punya anak yang pintar juga.
Bisa kuliah di luar negeri dengan uang beasiswa. Uangnya pasti banyak. Makanya
bisa pulang. Kalau tidak ada uang mana bisa pulang. Pasti tunggu tahun depan
lagi.”
Tidak sedikit yang salah paham, “rupanya anak abang
ini ada yang TKW di China. Berapa lah gajinya sebulan? Sampai tega sekali
ayahnya sakit tidak pulang. Kalau sudah begini menyesal pun tiada guna.”
Berbagai macam bisik-bisik tetangga keluar masuk
telinga. Di saat begini, justru adik bungsuku mengingatkan untuk tetap tegar.
Jangan terbawa pikiran dengan omongan-omongan yang aku dengar.
“Ayah bilang, kakak harus selesai kuliah. Bertahan
di sana sedikit lagi. Jika kakak ingin Ayah bahagia selamanya. Kakak harus
ingat, sisa-sisa waktu Ayah mengingat Kakak. Ayah bangga kepada Kakak. Jangan
kecewakan Ayah, Kak,” tutur adikku sok dewasa.
Aku baru saja membuat keputusan untuk tidak
kembali ke negeri tirai bambu. Aku ingin berhenti. Lelah di sana, sementara
kepalaku penuh dengan beban.
Aku tidak punya uang untuk membeli tiket kembali
ke Beijing. Harga tiket masih melangit. Di atas sepuluh juta. Itu pun dengan
menumpang maskapai berbodi merah. Tidak termasuk bagasi. Rasa sungkan untuk
meminta hakku hilang. Aku menghubungi orang-orang yang terlibat utang denganku.
Ada yang berjanji memberikan, tapi tidak pernah menghubungi. Ketika aku
menghubungi, mereka lenyap.
Seorang public
figure yang pernah aku garap biografinya memintaku datang ke salah satu
kedai kopi top di Banda Aceh. Dia mengatakan akan datang dan membawakan tiket
pesawat bersama bayaran biografi. Tiket pesawat yang dia berikan itu di luar
honor menulis biografinya. Bonus katanya. Harapanku cukup besar, aku datang ke
kedai kopi yang dia kabari lewat telepon.
Menulis biografi adalah pekerjaan yang dibayar tinggi. [Photo: Pexels] |
Aku menunggu hingga jam sebelas malam. Orang yang
aku tunggu tak kunjung datang. Aku mengiriminya SMS sekedar pemberitahuan. Dia
tidak juga membalas. Telepon tidak diangkat. Apalagi datang ke tempat yang
sudah dijanjikan. Setengah jam setelah aku sampai di rumah, aku menyadari sudah
ditipu oleh tokoh dengan nama besar ini. Dia pemberi harapan palsu yang selama
ini aku abaikan tanda-tandanya.
Esok paginya Mamak bertanya padaku, “ada berapa
uang yang kamu punya untuk tiket pulang?”
“Aku tidak akan pulang lagi, Mak.”
“Kenapa? Kamu takut Mamak meninggal juga?” tanya
Mamak. Aku diam saja. Mamak melanjutkan lagi, “Ayah sudah berjuang keras untuk
memberangkatkanmu. Pulang dengan ijazah. Bukan dengan keputusan seperti ini.”
“Aku nggak punya uang, Mak. Tabunganku tidak cukup
untuk tiket pulang.”
“Ayah meninggalkan uang untuk kamu.”
Aku terpaku. Bagaimana mungkin orang meninggal
punya uang? Ayah meninggal di rumah sakit. Meskipun biaya operasi ditanggung
oleh Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), tentu saja biaya obat-obatan di luar
tanggungan tidak sedikit. Biaya hidup yang mereka butuhkan selama merawat ayah
di rumah sakit juga tidak sedikit. Aku tidak berani bertanya apapun.
Seperti paham pikiranku, mamak memberi penjelasan,
“rezeki Ayah cukup banyak, Fa. Banyak sumbangan dari orang-orang. Setelah empat
puluh hari pun masih banyak sumbangan dan sedekah untuk ayah. Kalau uang ini
mamak pakai untuk biaya hidup, mamak tidak perlu keluar dan bekerja di rumah
bisa.”
Aku terkejut. Aku kalkulasikan pengeluaran dapur
mamak yang tidak seberapa berdua dengan adik laki-lakiku itu. mataku membulat.
Hatiku tergoda untuk rakus.
Wortel salah satu sayuran yang tersedia di dapur Mamak. [Photo: Pexels] |
“Semalam mamak bermimpi,” mamak melanjutkan. Dia
menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. “Ayah datang dan
menyuruh Mamak bertanya berapa yang kamu butuhkan untuk tiket pulang ke
Beijing. Uang yang ada disuruh berikan untuk kamu. Berapapun yang kamu
butuhkan.”
Aku terdiam.
Dua hari lamanya aku memikirkan antara kembali ke
Beijing atau berhenti. Ayah juga datang ke dalam mimpiku. Seperti sebuah
perintah. Ayah berpesan agar aku kembali. Kekurangan soal uang bukan masalah,
tetapi berani mengambil langkah dalam kekurangan yang paling penting.
“Bukan masalah duit, Fa. Do it!”
Sebelum aku pulang ke Beijing, pamanku datang. Dia
membawa uang untuk menambah biaya tiket. Paman yang lain juga melakukan hal
yang sama. Bahkan ada yang membelikan tiket one
way dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur.
Masalah tiket terselesaikan. Ayah benar. Masalahnya bukan duit, aku bisa tidak
untuk do it.
Blogging adalah salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan.
[Photo: Pexels]
Kehidupanku di Beijing tidak langsung berubah. Biaya hidup meningkat, sementara mimpiku untuk menjadi Ibnu Batutah untuk ayah tidak yakin tercepai. Jarak tempuh kota Beijing yang luas dan jauh, biaya hidup yang tinggi. Gambaran kuliah di luar negeri bisa berfoya-foya hanya citra dari segelintir mahasiswa asing yang berkecukupan saja.
Tidak mudah pula bertemu dengan teman senasib. Minimal yang memahami kondisi kehidupan finansial sebagai mahasiswa beasiswa yang serba kekurangan. Beberapa teman merekomendasikan aku untuk mengajar di sekolah internasional. Mereka melakukan hal yang sama untuk menambah uang saku. Kendalaku ada dua. Aku Islam dan berjilbab, dan aku bukan ras kaukasian. Aku ditolak dengan alasan mereka butuh guru yang berambut pirang, bermata biru, dan tidak berkerudung. Kerudung akan membuat anak-anak di sana ketakutan. (B.E.R.S.A.M.B.U.N.G)
0 Komentar