By the way, sudah lama banget saya nggak ikutan GA atau book reviewer apalagi sampai menangin GA. Kalaupun ikut, ekspektasinya nggak muluk-muluk menang, deh. Anehnya, begitu melihat Asmira Fhea dan Penerbit Clover mengadakan GA untuk buku Book Shamer, saya langsung tertarik. Tertarik untuk berbagi pengalaman sebagai book shaming.
Voila!! Tidak disangka saat pengumuman nama saya
sudah ditandai sebagai salah satu orang beruntung. Pucuk dicinta ulampun tiba.
Sore-sore saat nyantai di teras rumah, kurir JNE datang dan mengantarkan sebuah
paket mungil. Apalagi kalau bukan buku Book
Shamer ini.
Data buku Book Shamer |
Apa
Yang Menarik?
Awal membaca blurb-nya,
buku ini langsung membuat saya bertanya-tanya. Apa sih yang dilakukan seorang bookfluencer sampai dia ketar ketir?
Kebetulan juga, dunia bookstagram baru saja dihebohkan oleh sesuatu yang
membuat banyak komunitas memperbincangkannya. Rasa penasaran saya semakin
memuncak. Penasaran bagaimana penulis mengangkat sudut pandang seorang bookfluencer menghadapi masalah seperti
ini.
Premis ceritanya cukup menarik. Seorang bookfluencer bernama Amy Dhriti yang diviralkan
oleh Penulis Amatir karena dituduh sebagai pelaku book shaming. Dia kemudian mencoba melakukan berbagai penyelesaian
masalah untuk membersihkan namanya demi memenangkan kompetisi bergengsi sebagai
bookfluencer di sebuah penerbit
bergengsi.
Karakter
Sederhana dan Mengena
Bagi saya, karakter adalah bagian yang menarik
dari sebuah fiksi yang dibaca. Banyak cerita dengan genre young adult menciptakan karakter yang almost perfect dalam setiap kisah yang dibangunnya. Saya menyukai
cara Asmira Fhea membangun karakter Amy Dhriti dalam kisah Book Shamer ini. Dia tokoh utama yang tidak sempurna dengan
pengakuan dosa sebagai introvert
tingkat menangah.
Amy Dhriti ini digambarkan susah bersosialisasi,
tetapi berusaha keras untuk melakukan hal yang membuat orang lain bisa
menerimanya tanpa canggung dari pihak dirinya sendiri. Karena penulis menulis
dengan sudut pandang pertama, beban hidup si Amy ini bisa dirasakan oleh
pembaca. Rasanya saya bisa merasakan beban yang ditanggung oleh Amy dari
pertama kali muncul masalah sampai menyelesaikan masalah. Bahkan ketika
bayang-bayang masa lalu yang menjadi penyebab karakternya terbentuk juga ikut
terasa.
[Photo: Pexels] |
Selain itu, saya merasakan bagaimana perbedaan
karakter yang dibangun pada tokoh lain. Seperti Eddies yang ceria tapi serius
dan perhatian. Ada juga Raynal yang dominan, berjiwa pemimpin, dan memiliki
sisi peduli yang romantis tak terungkap. Bahkan tokoh-tokoh lain yang perannya
kecil, tapi sangat melengkapi dalam menempatkan Amy Dhriti sebagai tokoh utama
dalam Book Shamer.
Book
Shaming dan Pembentukan Karakter
Saat pembahasan soal book shaming muncul di sosial media, khususnya di kalangan bookfluencer, ada yang berpendapat bahwa
book shamer ini muncul karena merasa
bacaannya paling keren. Justru Asmira Fhea memberi gambaran bahwa pelakunya
bisa disebabkan oleh hal lain.
Amy Dhriti terlahir dari orangtua lulusan Ilmu
Politik. Mereka terbiasa membaca buku-buku politik yang didominasi oleh
nonfiksi. Sejak kecil mereka dibiasakan membaca buku-buku yang sesuai dengan
selera orangtuanya. Sehingga karakter bacaan yang terbentuk pada Amy juga
terpaku pada buku yang serius.
Amy Dhriti juga pernah menyukai buku-buku bebas
beban seperti temannya yang bernama Nimas. Baik itu buku dongeng atau bacaan
fiksi ringan yang sesuai dengan dunia anak perempuan. Ibunya melarang Amy
membaca buku seperti ini dengan alasan tidak bermutu. Sejak kecil dia terus
dijejali dengan buku serius seperti ensiklopedia.
[Photo: Pexels/Anna Nekrasevich] |
Terlahir dari orangtua yang serius dan pelaku book shaming tanpa muncul ke publik, karakter
Amy akhirnya terbentuk lebih kaku dalam melihat buku bagus dan tidak. Dia
melakukan review jujur, tapi tidak
menyortir pemilihan bahasa yang digunakan seperti apa. Kalau dipikir-pikir,
memang orang yang terbiasa membaca buku yang bagus agak sulit menerima bacaan
yang menurutnya tidak bagus. Yach, level bacaannya kan berbeda, ya.
Book
shamer di luar sana juga tidak jauh berbeda. Mereka
terbiasa membaca buku-buku bagus yang selama ini dianggap masih buku kelas
berat. Baik itu buku nonfiksi atau fiksi sekelas sastra yang memenangkan berbagai
macam penghargaan sastra. Sehingga saat orang lain membaca buku remeh alias di
bawah standarnya, lantas dianggap buku tidak mutu. Apalagi kalau dia sendiri
juga seorang penulis. Begh!
Masalah
dan Problem Solving
Book
Shamer menggambarkan pada pembaca yang tidak aktif di
dunia media sosial soal hiruk pikuk yang terjadi di kalangan bookfluencer dan penulis. Di sini jelas
sekali penulis memberikan contoh yang sangat nyata dan kerap terjadi. Bagaimana
seorang penulis yang merasa sudah bersusah payah menulis tapi tidak dihargai
oleh seorang pembaca yang bisanya hanya mengkritik. Begitupun pembaca yang
merasa buku yang dibacanya tidak sesuai selera dan terlalu kacau serta berakhir
Did Not Finish (DNF).
Saya sangat terkesan dengan kutipan yang
diungkapkan sebagai twit dari @_tunggalkarunia dalam buku Book Shamer ini. Nyata dan menohok sekali, “Buat penulis baru, memang harus siap dikritik ketika tulisan kita
sudah disebar ke publik. Suatu saat itu akan menjadi makanan kita sehari-hari.
Buat bookfluencer silahkan pilih
kata-kata yang baik untuk mengulas buku. Ndak perlu ngatain orang amatir kalau
bacaannya bukan seleramu,” (halaman 29).
Koleksi buku yang dimiliki oleh bookfluencer tidak semuanya sesuai selera. [Photo: Ulfa Khairina] |
Jleb banget, dah! Memang selama ini hal seperti
yang dikutip di atas banyak terjadi di dunia nyata. Ada penulis yang baperan
langsung ngeblokir si bookfluencer
atau curcol di story Instagram. Bagi
saya pribadi, ini akan membuat diri lebih berhati-hati. Sejenis self reminder lah.
Dalam Book Shamer, Amy Dhriti berdasarkan
saran Eddies menghadapi masalah dengan keluar dari zona amannya untuk sebuah
pencarian problem solving. Sebagai
pembaca saya bisa membayangkan bagaimana kesulitannya Amy Dhriti melepas karakternya
yang tertutup demi mencari pelaku pencorengan nama baik. Ini tidak mudah, tapi
dia berusaha melakukan hal terberat untuk menyelesaikan masalah. Bagi saya, ini
adalah nilai plus dari buku Book Shamer. Solusi yang ditawarkan
penulis jika terjadi hal yang tidak menguntungkan untuk personal branding-nya.
Bacaan
Berkualitas dan Tidak Berkualitas
Hal lain yang saya sukai dari cara Asmira Fhea
bercerita di Book Shamer adalah
tentang kualitas sebuah buku bacaan. Meski dia mengatai buku yang diulasnya
tidak berkualitas seperti penulis amatir, tapi dia bisa membandingkan mana buku
yang berkualitas dan tidak.
Amy Dhriti memiliki saingan berat bernama Irhei
Olivia. Bookfluencer ini selalu
membahas buku-buku dewasa yang mengandung kalimat vulgar, adegan pornografi
terselubung, dan dramatisasi kekerasan seksual. Amy Dhriti kebalikannya.
[Photo: Pexels/Pixabay] |
Di bab yang menjelaskan bagaimana konten yang
diproduksi oleh Amy dan Irhei saja sudah menjelaskan pada pembaca dampak sebuah
buku bagi pembacanya. Sekali lagi, huru hara di media sosial karena tuduhan book shamer itu hanya kebaperan penulis
mendapat kritik.
pada sebuah adegan yang menurut saya adalah
klimaks dari cerita ini terletak pada pertemuan antara Amy dan Irhei di
Komunitas Akar Pembaca. Amy yang meledak dengan sikap Irhei, dan Irhei yang
drama memposisikan diri sebagai korban ketidaksenangan Amy terhadap dirinya. Di
sini saya dapat merasakan bagaimana Irhei haus popularitas dan tahu cara membaca
pasar tanpa memikirkan dampak untuk pengikutnya yang lebih banyak daripada Amy.
Sebagai pembaca buku, saya juga dapat merasakan bagaimana
novel-novel dewasa mendominasi dunia perbukuan digital. Ada yang memang bagian
dari dari cerita, ada pula yang memang eum, tidak pantas. Salah satu pemateri
di sebuah kelas menulis yang saya ikuti dia menyebut dengan istilah ‘buku
mendesah’ dan ‘penjual lendir’.
Di luar istilah itu, saya ingin mengutip sedikit
uraian dosen mata kuliah Adaptation
Research Studies, Prof. Wu Hui. beliau adalah praktisi perfilman dan juga
penagajar mata kuliah yang berkaitan dengan studi adaptasi film. Di salah satu pertemuan
beliau menyebutkan tentang adegan vulgar dalam novel atau film dibutuhkan
dengan tujuan tertentu. Pertama, untuk menggambarkan hubungan tokoh dengan
tokoh lainnya. Kedua, sebagai sebuah seni.
Buku yang baik memberi makan jiwa yang baik. [Photo: Pexels] |
Kebanyakan para penulis berusaha menonjolkan
tujuan kedua, tetapi cenderung gagal. Sementara tujuan pertama, jarang
ditonjolkan dengan semestinya karena bagian ini hanya menunjukkan arah-arah ke
tindakan dan pembaca bisa menyimpulkan sendiri apa yang terjadi selanjutnya.
Asmira Fhea dengan cerdas menunjukkan dampak yang
diakibatkan oleh bacaan seperti ini kepada salah satu murid SMP di Komunitas
Akar Cerita. Dia menanggapi penolakan dari cowok yang ditaksirnya sebagai sikap
romantis, padahal itu sangat memalukan. Anak SMP itu juga lebih cerdas membaca sikap
dari lawan jenis. Bisa dikatakan, puber terlalu dini.
Mengalah
Secara Hormat dan Dikalahkan Lawan
Saya menangkap ada pesan moral tentang makna
mengalah dan dikalahkan dalam cerita ini. Terutama setelah video pertengkaran
antara Amy dan Irhei viral di media sosial. Amy terlihat seperti sosok
antagonis dengan sudut pandang yang diframing sedemikian rupa oleh camera person Irhei. Sebaliknya, Irhei
seolah mendapat simpati.
Kemenangan sejati tidak selalu diukur dari piala [Photo: Pexels] |
Keyakinan Amy terhadap kegagalan dalam lomba sudah
jelas. Dia sudah dikalahkan oleh Irhei. Akan tetapi ada satu aksi yang membuat
Amy itu seperti bukan sosok Amy setelah kita membaca keseluruhan isi buku ini.
Dia membuat konten permintaan maaf untuk Komunitas Akar Cerita. Amy mengalah
secara hormat yang justru mendapatkan nilai lebih bagi semua pihak.
Pesan akhir yang diselipkan oleh Asmira Fhea ini
sangat indah, menyentuh, dan menohok. Tidak perlu malu meminta maaf, karena semua
yang terjadi pada akhirnya memang membutuhkan akhir dengan kata ‘maaf’ dan
‘terima kasih’.
Brown
Cover
Sebagai orang yang bukan pecinta warna coklat,
warna sampul buku ini tentu bukan selera saya. Terlalu gelap. Apalagi sosok Amy
di cover juga serba coklat. Rambut warna coklat, kursi coklat, dan bajunya juga
coklat. Kelihatan seperti sampul dengan ilustrasi polos saja untuk mata yang melihat
semua warna sama tanpa tingkatannya.
Ilustrasi sampul Book Shamer (Asmira Fhea) [Photo: Gramedia] |
Di sisi lain, saya menilai bahwa keseragaman warna
coklat ini menujukkan sisi keberanian yang belum muncul dari Amy. Meskipun
makna warna coklat tidak sepenuhnya tidak menggambarkan karakter Amy, tapi
sebagiannya mewakili, kok. Dunia bookfluencer
melambangkan kesan canggih, mahal, dan modern. Yach, dunia perbukuan memang
dianggap sebagai hobi yang mahal bukan? Apalagi kalau dunia booktuber, canggih
dan modern sudah pasti.
Coklat juga identik dengan unsur tanah dan bumi.
Dalam psikologi, unsur tanah dan bumi diibaratkan sebagai seseorang yang stabil
dan kuat. Meski Amy nggak stabil-stabil amat, pada akhirnya dia menjadi sosok yang
stabil karena siap dan kuat menghadapi masalahnya.
Sedangkan dalam psikologi, warna coklat
melambangkan arti kuat, mampu diandalkan, serta pondasi kekuatan hidup.
Perjalanan Amy menyelesaikan deretan masalah dalam sebulan ini cukup terwakili
dari pilihan warna coklat pada ilustrasi sampul. Overall, semuanya memiliki dampak positif.
Rekomendasi
dan Prestasi
Pesan moral yang disampaikan oleh Asmira Fhea untuk para book reviewer lumayan mengena, sih. Terutama soal bacaan yang tidak sesuai dengan selera atau kapsitas kita. Mungkin sebaiknya tidak perlu dipublikasi dengan kalimat buruk. Kalau memang tidak bisa berkata dengan baik, jangan diulas sekalian.
Tentunya, para bookfluencer sangat direkomendasikan untuk membaca buku ini. Penulisannya runut dan rapi, gaya bahasanya oke, dan tentunya ide ceritanya umum tapi anti mainstream. Tidak heran kalau novel ini terpilih sebagai Pemenang The Writers Show 2021 yang diselenggarakan oleh GWP. Nah, untuk novel seharga Rp 80 ribu (harga Pulau Jawa), worth it lah, ya.
0 Komentar