Setiap orang memiliki pandangan pribadi tentang uang. Ada yang menyebut uang adalah koentjie utama dalam hidup makmur sentosa. Ada pula yang beranggapan uang adalah sesuatu yang biasa alias kebahagiaan tidak tergantung pada uang.
Tim mana pun Anda berada, terpenting selalu bijak
dalam mengelola uang itu sendiri. Secara garis besar, overall ini, sih, yang coba dijelaskan oleh Morgan Housel dalam
buku The Psichology of Money. Bagaimana
bijak dalam memakai uang dan dorongan psikologi apa yang membuat manusia seolah
sangat tergantung pada uang.
Data buku Psikologi of Money |
Baca Juga: Sentilan
Literasi Keuangan Dari Buku The
Psichology of Money
Menurt Morgan Housel pada halaman delapan,
pandangan orang-orang terhadap uang dibentuk di dunia yang berbeda-beda. Ketika
itu terjadi, pandangan mengenai uang juga berbeda. Bagi sebagian orang terlihat
konyol, bagi sebagian yang lain terlihat masuk akal.
Seketika saya teringat pada kejadian beberapa
waktu lalu ketika beberapa kawan yang berlomba berada di posisi tertentu. Saya
sempat bertanya, “kenapa harus buru-buru? Kan bisa lebih santai sedikit. Nggak
tahun ini bisa tahun depan.”
Si kawan menjawab, “uangnya, lho. Tambahannya
nggak sedikit itu.” Dia lantas merinci beberapa tambahan yang didapat ketikan
mendapat tambahan untuk posisi itu. Saya masih terbengong-bengong dengan
kalkulasinya yang terlalu matang. Saya tidak sampai terpikir begitu, karena fokus
saya bukan di besaran nominal yang saya dapat.
Saya butuh uang, sama seperti yang dibutuhkan oleh
orang lain. Akan tetapi, ambisi seperti yang dilakukan oleh si kawan tidak
sampai begitu. Bahkan saya cenderung santai untuk memenuhi ekspektasi hidup. Yach,
meski tidak bisa dipungkiri kalau pertanyaan-pertanyaan tentang “kapan kamu
punya ini? Si ini sudah punya” atau “kenapa tidak membangun ini?”
Ini dan itu berkaitan dengan uang tidak terlalu
saya pedulikan lagi. Pada akhirnya saya menganggap semua pertanyaan orang itu
adalah indikator orang lain untuk mengukur kemampuan finansial kita. Lantas
saya menerapkan satu prinsip, orang lain tidak perlu tahu soal finansial saya.
[Photo: Pexels] |
Baca Juga: Gilanya
Orang Gila Uang Dalam Buku Psichology of
Money (Morgan Housel)
Semakin orang memahami flow cash kita, semakin besar pula tantangan yang dihadapi oleh
setiap orang yang punya uang. Bagaimana tidak, perkara uang dan perputarannya
sudah tercatat dalam sejarah sejak uang ditemukan. Dalam buku The Psichology of Money, Morgan Housel menulis pencipta uang resmi
pertama adalah Raja Alyattis dari Lidya yang sekarang bagian dari Turki. Uang
diciptakan pertama kalinya pada 600 SM.
Sejak saat itu, uang sudah menjadi bagian dari
masalah turun temurun. Dimulai dari masa itu juga, sudah dikenal dengan uang
pensiun yang menjadi masalah bagi pemiliknya. Di era modern ini kemudian
tercipta social security yang
bertujuan mengubah keadaan itu. Namun menurut Morgan Housel, tunjangan social security yang diberikan pertama
tidak ada miripnya dengan dana pensiun sungguhan. Itu dulu, pada tahun-tahun
awal dana pensiun diperkenalkan dan social
security mengambil peran.
Menurut Employee
Benefit Reserach Institute, pada
tahun 1975 hanya seperempat orang yang berusia 65 tahun atau lebih tua yang
punya dana pensiun. Ini juga kondisi yang meresahkan untuk jaminan di hari tua.
Ini juga menunjukkan betapa sulitnya seseorang menabung untuk masa tua.
Ini kondisi di Amerika, lho. Housel bilang,
“seharusnya nggak ada yang kaget kalau banyak di antara kita yang payah
menabung dan berinvestasi untuk masa pensiun, (hal.13).” Artinya apa? Kesulitan
menabung dan berinvestasi adalah gaya hidup turun temurun dalam sejarah
pengelolaan keuangan.
Meskipun uang kita bertambah setiap hari dari
berbagai sumber, tapi gaya hidup kita juga meningkat. Biasanya ketika sumber
keuangan kita bertambah, maka sirkel pergaulan kita meluas. Mau tidak mau atau
sadar tidak sadar, sebagai manusia ada kecenderungan untuk mempertahankan
koneksi dan menjaga silaturahmi dengan lingkaran pertemanannya.
[Photo: Pexels] |
Menjaga hubungan baik bukan berarti tidak
membutuhkan modal. Meskipun bukan untuk mentraktir makan atau nongkrong rutin
dengan sirkel tersebut. ada hal-hal yang diluar kendali kita akan membuat manajemen
keuangan di luar teori pengelolaan uang yang sering muncul di media sosial.
Ini ada benarnya juga. Saya merasakan sendiri dan
saya tidak pernah mengeluhkan perkara ini. Ketika pemasukan saya bertambah,
saya bertemu dengan orang-orang baru yang merupakan bagian dari pertemanan.
Lantas ada undangan syukuran yang bagi orang Aceh undangan itu kecil kemungkinan
untuk terelakkan. Kalau arisan komunitas bisa dilewatkan, tapi berbeda dengan
undangan.
Untuk hal ini, saya percaya sekali kalau setiap
penambahan rezeki artinya ada tambahan kas pengeluaran. Uang-uang yang datang
ke kita sifatnya hanya singgah. Tujuan sebenarnya dia sudah memiliki tempat
saja. Ia datang untuk menguji keikhlasan dan kerelaan kita melepas apa yang
tidak benar-benar milik kita. Apakah kita merelakan dia pergi ke tempat yang
tepat, atau kita lebih senang berbuat gila dengan uang yang kita miliki.
Di buku The
Psichology of Money ini Morgan Housel menutup bab 1 yang berjudul Tak Seorang Pun Gila dengan kalimat yang
cukup menenangkan hati. “Kita semua
melakukan hal gila dengan uang, karena kita semua relatif baru dalam permainan
dan apa yang tampak gila bagi Anda boleh jadi masuk akal bagi saya.”
Seketika saya teringat pada hobi dan kesenangan
yang saya lakukan ketika memiliki uang. Bagi orang lain saya gila dan mubazir,
tapi bagi saya ini justru investasi dan tidak akan sia-sia. Ketika punya uang
saya akan mempergunakan untuk membeli tiga hal: mukena, alqur’an dan buku
bacaan.
Menimbun buku adalah bagian dari investasi [Photo: Ulfa Khairina] |
Lemari saya penuh dengan mukena yang statusnya
tergolong baru, bahkan ada yang dalam setahun baru terpakai sekali. Di rak buku
saya juga berjejer Alquran baru, ada yang belum pernah saya buka sama sekali
karena Alquran sbeelumnya belum khatam.
Buku? Jangan tanya. Ini yang paling miris, setiap bulan selalu ada tambahan
buku baru sementara saya tidak cukup waktu untuk menematkan satu buku satu
minggu. Sementara buku-buku yang datang dalam status kerja sama juga
berdatangan dan saya mengutamakan membaca buku-buku itu.
Gila bukan? Ya, begitulah gilanya perlakuan saya terhadap uang. Saya yakin mukena itu berguna. Ada waktunya dia akan berpindah ke tangan-tangan yang lebih membutuhkan. Begitu pula dengan Alquran. Sama. Buku? Jangan tanya alasannya mengapa, saya merasa peredaran buku di Indonesia sangat menguji kesabaran. Ada kalanya diskon dan seringkali saya kalap saat diskon up to 40%-60%.
Jadi, kalau ada yang bilang kita harus menyimpan uang untuk hidup yang lebih bijak, terkadang saya menggeleng. Kebijakan seseorang dalam mengelola uang tergantung pada kebutuhan seseorang dalam menjalani kebutuhannya. Tidak selamanya saya yang suka membeli dan menimbun buku boros, karena saya punya goal sendiri. Saya sedang menyicil buku-buku untuk membangun perpustakaan pribadi saya yang kelak bisa dibuka untuk umum.
0 Komentar