“Uang ada dimana-mana, mempengaruhi kita semua, dan membingungkan sebagian besar kita. Semua orang memikirkannya agak berbeda. Uang menawarkan pelajaran mengenai hal-hal yang berlaku bagi banyak ranah dalam kehidupan, seperti, resiko, kepercayaan, dan kebahagiaan.” (hal. xx)
By
the way, luar biasa kekuatan dan dominasi uang yang
disampaikan oleh Morgan Housel dalam bukunya The Psichology of Money. Kita butuh nggak butuh dengan benda yang satu
ini. Pengalaman saya berurusan dengan uang, banyak nggak cukup tetapi sedikit
juga cukup. Complicated sekali bukan?
Data Buku The Psichology of Money [Created by Canva] |
Sepertinya bagian inilah yang dimaksud oleh Morgan
Housel dalam The Psichology of Money.
Saya terkenang kisah ketika masih berada di Beijing dengan status mahasiswa
dengan beasiswa dari Pemerintahan China. Tidak tanggung-tanggung, sebenarnya
kami sudah ditanggung segalanya termasuk asuransi kesehatan dan ‘uang buku’. Masalahnya
adalah ketika manajemen uang saku masih amburadul karena perbedaan biaya hidup
dan nilai uang.
Saya pernah mengalaminya dan percaya sekali dengan
ungkapan penulis soal uang ini. Kejadiannya sungguh tidak terduga pada semester
ketiga atau tahun kedua saya di Beijing. Meski sudah berlalu hampir sepuluh tahun,
tapi saya masih mengingatnya dengan baik.
Kejadiannya terjadi di pergantian musim dingin ke
musim semi. Kampus kami mengganti kerjasama. Hasilnya semua mahasiswa diminta
untuk mengganti rekening dari Agriculture
Bank of China menjadi China
Contruction Bank. Mungkin juga karena kampus kami sedang dalam masa
rekontruksi dan renovasi besar-besar. Ada beberapa gedung yang dirubuhkan dan dibangun
dengan gaya baru.
Pasalnya bank ini lokasinya lumayan jauh. Sekitar empat
halte bus ditambah berjalan kaki sekitar setengah halte untuk ke sana. Saya dan
teman-teman sudah membuka rekening bank melaporkan ke School of International Education (SIE), tempat mengadu dan
berurusan untuk mahasiswa asing di kampus. Oleh pihak kampus mengabarkan kalau beasiswa
akan dirapel dua bulan, jadi untuk bulan selanjutnya tidak ada transferan uang
saku karena proses mutasi.
Duh, untuk saya yang kere ini kata-kata ‘tidak ada
transferan’ adalah musibah tersebar. Apalagi sedang berada di luar negeri
dengan status jobless. Bermodal ATM
dari Indonesia dan kegalauan tingkat tinggi, saya pergi ke ATM terdekat untuk
menarik sejumlah uang untuk bertahan. Untungnya saya punya sedikit uang tabungan
di rekening Indonesia. Sekitar dua jutaan lebih, tapi sangat bernilai sedikit
di sini.
[Photo: Pexels] |
Sialnya, saya tidak mengecek bank itu memiliki logo
Master Card atau tidak. Akhirnya ATM saya ditelan mesin dan saya nggak bisa
mengambil uang sepeserpun. Sambil menangis saya kembali ke asrama dan bercerita
pada teman sekalas asal Mongolia yang kebetulan tergolong makmur. Dia mengajak
saya makan dan menawarkan pinjaman sebesar 700 RMB (sekitar 1,5 jutaan waktu
itu). Saya menolak karena tidak ingin terhutang pada orang asing. Saya yakin
masalah akan selesai dalam waktu seminggu.
Ternyata saya salah. Urusannya berlarut sampai
saya betul-betul kosong. Saya nekat pinjam uang sana sini demi bertahan hidup. Bahkan
cari kerja sana sini. Hasilnya nihil. Beberapa teman membantu dengan membelikan
makanan dengan dalih pengen makan bareng atau kebetulan punya banyak makanan. Saya
tidak berani meminjam uang pada mereka. Itu berlangsung selama sebulan.
Bulan kedua semua berbahagia karena beasiswa masuk
double. Lagi-lagi saya terkena sial. Saya
tidak bisa menarik uang yang di ATM dan pemberitahuannya error. Saya kembali ke
SIE membawa masalah. Mereka menyarankan saya kembali ke bank untuk memperbaiki
kartu. Ternyata ada beberapa orang dengan kasus kartu ATM yang diberikan error.
Bermodal uang di kartu transportasi yang minimal,
saya kembali ke bank untuk membereskan urusan ini. Hasilnya saya diberikan kartu
ATM baru dan bisa digunakan untuk transaksi. Akan tetapi, saya kembali harus
menunggu bulan depan untuk menikmati uang beasiswa saya kembali karena proses
mutasi dari kartu lama ke baru dan pemindahan data-data.
Kedengarannya memang sangat ribet dan membutuhkan
waktu yang terlalu lama. Ya, karena saya berurusan di bawah kampus dan uang
yang saya terima adalah beasiswa. Sekali lagi saya menangis, merasa hidup di
Beijing membuat saya menderita secara finansial dan terpuruk secara mental.
Uang juga dapat membuat orang terpuruk secara mental. [Photo: Pexels] |
Saya mulai malu membuka pintu untuk teman-teman
yang datang dengan makanan. Saya juga mulai nggak enak pinjam uang sama teman. Alasan
klise jika sudah terlalu lama akan dianggap berbeda. Jangan sampai orang menganggap
saya malas bayar utang. Namun kondisi memang memaksa saya untuk menyibak tirai
malu dan melakukannya. Hasilnya penolakan yang membuat saya seperti ketiban
langit runtuh.
Sedih sekali. Sampai akhirnya seorang anak baru
yang sekarang sudah sukses dengan karir jurnalis pada TV nasional menawarkan
pinjaman. Dia memberikan 500 RMB, tapi saya hanya mengambil 200 RMB. Ya, 200
RMB untuk sebulan. Saya mengatur uang sedemikian rupa untuk bertahan 50 RMB
seminggu. Sampai beasiswa saya masuk sebesar 9000 RMB atau sekitar 18 juta
untuk rapelan jajan 3 bulan.
Selesai membayar utang, membayar internet,
mengantar buah tangan untuk membalas kebaikan teman-teman selama saya
kelaparan. Akhirnya saya sadar satu hal. Ketika saya tidak punya uang, saya
bisa bertahan dengan minimal 200 RMB untuk semua pengeluaran. Ketika saya punya
banyak, saya juga mengeluarkan kas yang sama tapi jumlah berbeda.
Beginilah kekuatan uang. Punya sedikit ianya
cukup, punya banyak ianya tak cukup. Pengelolaan dan rasa syukur memilikinya
saja yang harus ditingkatkan. Begitulah pesan Morgan Housel secara garis besar
tentang kegilaan manusia dan uangnya.
Dalam The
Psichology of Money, Morgan Housel juga menjelaskan kalau tidak semua orang
perlu belajar suku bunga. Ya, seperti pengalaman saya ketika di Beijing. mata
uang berbeda, kurs berbeda, sebenarnya tidak banyak mempengaruhi banyak soal
manajemen keuangan. Saya hanya perlu belajar sejarah mengelola uang pada waktu sebelumnya
dan apa yang bisa saya perbaiki.
Morgan Housel berkata, “untuk memahami mengapa orang
terjebak utang, Anda tak perlu belajar suku bunga; Anda perlu belajar sejarah
ketamakan, kegelisahan, dan optimisme.”
Kalimat ini mendukung pengamatan Voltaire yang
mengutarakan, “sejarah tidak pernah
mengulang dirinya sendiri; manusia selalu mengulang.” Kalimat Voltaire
mengingatkan saya pada kejadian yang sama dalam pengelolaan uang. Tidak sekalipun
saya memiliki pengalaman yang sama persis, tapi pola yang terjadi sama. Karena itu
kebiasaan yang sulit sekali dirubah.
[Photo: Pexels] |
BACA JUGA: Sentilan Literasi
Keuangan dari Buku The Psichology of
Money (Morgan Housel)
Dalam menggunakan uangnya, orang cenderung gila. Apakah
membelanjakan untuk hal-hal yang membuatnya puas atau sekedar untuk menunjukkan
kepada orang lain. Penggunaan barang yang dianggap bergengsi itu salah satu
tujuannya untuk menunjukkan kondisi keuangan si pengguna. Disadari atau tidak,
diakui atau tidak, begitulah kenyataannya.
Seseorang tidak akan merasakan bagaimana pahitnya
terjebak dalam ‘kemiskinan’ karena tidak bisa menggunakan uangnya sampai dia
berada di titik yang sangat rendah. Pengalaman terjebak di Beijing dalam
kondisi nggak ada uang sepeserpun mengajarkan saya untuk memiliki dana darurat
dalam bentuk uang kas. Tidak boleh disimpan dalam bentuk tabungan apalagi
dibendakan. Ada saatnya ketika kita membutuhkannya, kita tidak bisa
mengambilnya dengan segera. Apalagi diikuti dengan hal-hal teknis yang sangat
receh.
Hal ini juga diakui dan ditegaskan oleh seorang
investor, Michael Batnick. Menurutnya, “beberapa
pelajaran harus dialami sebelum dimengerti (Hal. 4).” Nah, benar adanya. Setelah
mengalami sendiri, saya seperti mendapatkan pelajaran hidup yang amat berharga.
Jangan menjadi orang gila saat punya uang, meskipun uang tidak membuat kita
gila beneran.
0 Komentar