Kata orang, usia 20an adalah usia transisi remaja menuju dewasa. Masa-masa setiap personal merasa sudah mendapatkan jati dirinya dan sudah dapat mengambil keputusan. Ya, itu semester lima di bangku kuliah. Saya, Anda, dan sebagian besar yang tidak membaca tulisan ini sudah melewati atau sedang berada di fase ini.
Saya sudah melewatinya lebih dari sepuluh tahun
silam. Masa-masa yang saat itu begitu indah, tapi menyisakan sedikit
penyesalan. Kalau mesin waktu Doraemon itu benar-benar ada, saya ingin memutar
waktu untuk kembali ke usia tersebut dan
memperbaiki serta mencapai apa yang saya inginkan sekarang.
[Photo: Pexels] |
Tidak bisa dipungkiri, semester lima memang
semester paling lelah dan titik bosan sebagai mahasiswa. Di semester ini mata
kuliah khusus keprodian sudah digenjot sedemikian rupa sampai kepala berasap
dan badan lelah. Masa-masa saya kuliah justru dibuat kurang tidur oleh para
praktisi jurnalistik yang mengajar di kampus IAIN Ar-Raniry. Ditambah lagi
dengan kehadiran dosen bule dari International
Center For Journalist (ICFJ) Amerika Serikat, begh! Jangan tanya bagaimana
saya bertahan hingga masih waras sampai hari ini.
Cara bule mengajar bukan hanya praktik, tapi teori
dan bacaan harus kuat. Masuk materi straight
news hari ini, dosennya langsung kasih tugas dan dikumpulkan besok pagi jam
pertama. Padahal dosennya baru masuk pada jam kedua. Kenapa cepat? Karena
dosennya baca dulu tulisan kita.
Terus, apakah cuma disuruh nulis berita? Nggak,
bestie. Kami dijejali dengan puluhan berita yang wajib untuk dibaca, buku-buku
berisi teori, dan setumpuk revisian berita yang dikembalikan dengan corat coret
dosennya.
Saya yakin, mahasiswa sekarang disodor begituan
pasti langsung mahasiswanya mencak-mencak. Ah, nggak ada nyali!
Kondisi yang sama antara dulu dan sekarang adalah
titik jenuh yang dialami mahasiswa semester lima. Semester ini sudah mulai
lelah, mager, dan oleng. Mulai kepikiran salah jurusan, mau berhenti tanggung.
Kalau lanjut kok kayak nggak minat dan sia-sia. Ada pula yang sudah kenal uang
dengan bekerja, ego dalam diri mulai bekerja. Tujuan kuliah untuk bekerja,
kalau sudah bekerja kenapa harus kuliah?
Saya juga pernah di fase ini. Saya mulai lelah dan
kebetulan bekerja. Meskipun saya mulai bekerja pada semester tiga, tapi pada
semester lima ini saya bekerja di level yang bergengsi. Skalanya sudah
internasional. Bahkan kalau ditanya apakah saya merasa menyesal berada di
posisi ini, jawabannya ya dan tidak.
[Photo: Pexels] |
Internship
di Irish Red Cross
Semester lima saya lulus internship di Irish Red Cross
Society, sebuah organisasi kemanusiaan yang berbasis di Irlandia dan punya country representation di Aceh. Mereka
menjaring empat orang relawan dari seluruh Aceh dan saya terpilih satu dari
ratusan orang yang ikut melamar. Syarat utamanya satu, tergabung dalam organisasi
Palang Merah Indonesia (PMI). Sebagai relawan KSR PMI Unit 02 IAIN Ar-Raniry,
saya punya peluang untuk mendaftar. Baru mendaftar, lho.
Begitu pengumuman lulus yang dikabarkan melalui
telepon, saya langsung melakukan perjalanan dari Takengon ke Banda Aceh. Saat
itu saya juga sedang melakukan peliputan investigasi tentang dana pariwisata di
Aceh Tengah. By the way, akhir semester empat saya mengikuti pelatihan
Jurnalistik Investigasi yang diselenggarakan oleh Free Voice Belanda dan Info
Aceh di Medan. Lalu saya memenangkan Investigative
Reporting Fellowship yang didanai oleh Free Voice. Saya dimentori langsung
oleh Nezar Patria.
Pelaksanaannya adalah menjelang masuk semester
lima. Di bagian ini saja saya sudah mulai stress. Peliputan investigasi bukan
buat liputan seru-seruan seperti nonton konser. Apalagi liputan investagasi
yang levelnya sangat tinggi dalam kegiatan jurnalistik. Saingan saya wartawan
senior, bahkan di antara mereka ada yang mengajar di kampus sebagai dosen saya.
Puluhan wartawan yang mengajukan proposal liputan, saya terpilih masuk lima
orang yang menerima ‘beasiswa peliputan’ ini.
Lantas dengan track
record ini saya mendaftar ke Irish
Red Cross Society. Awalnya modal nekat, tapi saat masuk ke tahap wawancara
saya mulai serius. Bahasa Inggris saya di bawah kata pas-pasan, sementara
pewawancaranya bule-bule dan wartawan senior dan terkenal. Untungnya saya paham
mereka bilang apa dan saya bisa menjawab dengan bahasa daiy use.
Lulus! Inilah awal masalah yang membuat semester
lima saya kacau. Ternyata saya tidak boleh ikut magang dengan sambil kuliah. Saya
hanya bisa kuliah pada hari Sabtu. Itu pun hanya 4 SKS. Sementara semester lima
saya mengambil 22 SKS ditambah dengan 2 SKS mata kuliah senior dari semester
tujuh. Sialnya lagi, mata kuliah senior ini ada di hari Sabtu. Di sinilah semua
kekacauan bermula.
[Photo: Pexels] |
Untuk
Pertama Kali Tidak Mendengarkan Saran Pembimbing Akademik
Sebenarnya PA saya sudah berulang kali mengingatkan
agar mengurangi SKS atau ambil NA saja agar aman dunia akhirat. Bekerja nyaman,
kuliah aman. Saya tidak mendengarkan beliau, apalagi saat teman-teman juga
mencuci otak saya dengan pengalaman mereka.
“Ngapain dengar PA, Fa. Hidup kita ya tergantung
sama kita. Masa depan kita tergantung sama kita. PA itu cuma ngomong saja,
kalau ada apa-apa sama kita kan PA lepas tangan,” kata salah satu sahabat saya.
Saya masih ingat sampai sekarang bagaimana semangatnya dia meracuni.
Hal ini juga berlaku soal pemilihan konsenstrasi.
Prodi KPI di kampus kami dibagi dalam dua konsentrasi, ilmu
komunikasi dan jurnalistik. Teman-teman berombongan pindah ke prodi Ilmu
Komunikasi dengan alasan lebih menjanjikan masa depan. Hanya beberapa orang
yang masuk konsentrasi jurnalistik karena memiliki latar di persma dan
penasaran.
Saya? Sebagai mahasiswa anti mainstream, tentu
saja saya akan memilih konsentrasi jurnalistik. Selain saya memiliki latar di
persma dan sudah bekerja di media internal milik Non Goverment Organization (NGO) yang dinaungi oleh Info Aceh, saya
berusaha tidak ikut-ikutan. Masa depan saya ditentukan lima tahun ke depan
sejak menentukan pilihan. Saingan saya adalah teman-teman yang berbondong
memilih Ilmu Komunikasi.
PA menyarankan saya masuk Ilmu Komunikasi dengan
berbagai pertimbangan. Bukan karena lebih populer, tapi kurikulum di kampus
yang belum matang dan masih tahap percobaan. Katanya kalau konsentrasi ini
sudah berjalan empat atau lima tahun, maka beliau tidak akan meragukan pilihan
saya.
[Photo: Pexels] |
Beliau bukan meragukan perkara skillI dan kesiapan saja untuk masuk di
konsentrasi itu. Beliau mengkhawatirkan nasib ijazah saya setelah keluar dari
kampus ini. Mengingat dan menimbang untuk melanjutkan studi di bidang
jurnalistik juga belum tersedia di tanah air beta.
Selama empat semester saya sangat patuh pada PA
saya, Bu Rasyidah. Beliau bisa saya katakan ibu kedua dan manajer saya dalam
melewati hidup di dunia tipu-tipu ini. Sebelum membubuhkan tanda tangan di KRS,
beliau bertanya banyak hal kepada saya. Kegiatan, kesibukan, kondisi orang tua,
termasuk membaca psikologis saya melalui bahasa nonverbal.
Kali ini saya tidak mendengarkan beliau. Saya
ngotot mengambil 24 SKS yang menurut beliau impossible
mission. Saat saya mengatakan harus mempertahankan beasiswa, beliau
menyarankan untuk mengambil 4 SKS saja di hari Sabtu. Itu juga karena syarat
menerima beasiswa tidak boleh terpotong status non aktif dan IPK tidak boleh
kurang dari 3,5 skala 4,00. Saat itu IPK saya 3,9 dengan kesibukan bekerja dan
berorganisasi. Jadi, dengan sombongnya saya memilih melawan PA karena merasa
mampu.
IPK
Terjun Bebas, Beasiswa Terputus
Apa yang dikatakan PA saya benar. Saya tidak bisa
mengambil 24 SKS sekaligus. Akibatnya di semester lima IPK saya terjun bebas.
Nilai saya merosot drastis. Nilai saya merosot jauh. IP terjun menjadi 2,95 karena
salah satu mata kuliah yang harusnya saya bisa tuntaskan pada hari Sabtu justru
dapat nilai E karena saya tidak bisa masuk. Tiba-tiba saja MK ini pindah hari
dan saya nggak bisa hadir.
Sementara untuk mata kuliah lain saya mendapat
nilai B semua karena tidak pernah masuk. Keuntungan populer di mata dosen
sebagai mahasiswa yang biasanya rajin ternyata cukup membantu. Apalagi dosen
saya adalah praktisi yang kerap saya temui di lapangan ketika bertugas melalui Irish Red Cross Society. Para dosen
memberi kemudahan untuk memenuhi kuliah dengan menyelesaikan tugas seperti
teman-teman di kelas. Baiknya lagi, mereka menghitung pertemuan di kelas dengan
pertemuan di lapangan.
[Photo: Pexels] |
Bagaimana tidak, saat saya berada di lapangan,
teman-teman saya juga sedang di lapangan bersama dosen-dosen saya. Jadi, mereka
belajar di lapangan dan saya juga di lapangan. Sementara mata kuliah Periklanan
yang bernilai E di kelas dan nggak pernah ke lapangan.
Perolehan IPK otomatis di bawah 3,5 dan beasiswa
saya diputus. Ya, Anda tidak salah baca. P.U.T.U.S. Meski saya punya tabungan berlimpah
untuk ukuran mahasiswa, tetap saja kesedihan merajai hari-hari. Saya menangis
kejer dan menyesal.
Tawaran
Kuliah ke Dublin City University
Meski sedih, saya kembali kerja seperti biasa.
Seolah tidak mengalami apa-apa. Di kantor, tiba-tiba saja saya dipanggil oleh
HRD dan disodorkan sebuah brosur dengan dua bahasa. Bahasa Inggris dan bahasa
gaelik. Di sana tertulis beberapa program S1 di Dublin City University. Ada beberapa jurusan yang membuat saya
tergiur yaitu communication studies,
journalism, dan multimedia.
Begh! Jangan tanya bagaimana keinginan saya kuliah
di sana. Bahkan HRDnya mengatakan ini full
scholarship dengan syarat setelah selesai kuliah saya harus tinggal di
Dublin dua tahun untuk mengabdi dan sebelum memulai kuliah saya harus belajar
bahasa gaelik selama setahun di kampus DCU.
Keraguan saya mulai muncul mengingat angka tujuh
yang akan saya lewatkan di negeri orang. Sementara di Indonesia saya sudah
melewati lima semester. Saya bertanya kepada orangtua yang memberi keputusan
sepenuhnya kepada saya. Ayah saya seseorang yang memberi kemerdekaan penuh kepada
anaknya untuk memilih. Beliau tidak pernah memaksa atau menekan pilihan
anak-anaknya di bidang pendidikan.
Dublin City University [Photo: Search by Google] |
Waktu itu rekan saya yang lebih tua dua tahun
berkata, “kasihan kalau kamu harus meninggalkan bangku kuliah hanya untuk memulai
kuliah baru. Memang keren untuk sementara, tapi kamu sudah melewatkan masa tiga
tahun sia-sia ditambah satu tahun yang tidak berguna. Saran aku, kamu
selesaikan kuliah di sini. CV kita di sini bisa kamu ajukan untuk mengajukan
beasiswa S2 ke DCU, lho.”
Semalaman saya berpikir tentang pertimbangan rekan
ini. Setelah berdikusi dengan beberapa teman, saya mendapatkan
jawaban senada. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengambil beasiswa
tersebut dan memilih mundur sambil melanjutkan pendidikan di KPI.
Ada yang lebih mengejutkan dan menyakitkan. Setelah
saya menemui HRD dan melepas kesempatan beasiswa tersebut, teman saya
menghilang dari kantor. SMS tidak masuk, inbox
di Facebook nggak dibalas. Belakangan saya baru tahu kalau teman saya sudah berangkat
ke Dublin untuk menggantikan saya mendapatkan beasiswa itu. Dia mengambil
jurusan Communication Studies di DCU,
sementara S1-nya di Universitas Syiah Kuala sudah memasuki semester sembilan di
jurusan Teknik Sipil.
Merambah
Media Nasional Berkelas
Kesedihan saya juga tidak berlangsung lama. Sehari
sebelum ulang tahun saya, tiba-tiba saja sebuah telepon dari nomor asing masuk.
Penelepon mengabarkan kalau feature
saya berjudul Ulak Ku Sedenge
diterima di portal Yayasan Pantau. Sebuah media nasional dengan gaya penulisan indepth feature dan tidak sembarangan
orang bisa lolos. Katanya sih begitu.
Malah beberapa rekan jurnalis yang lebih senior
menolak mengedit tulisan saya dengan alasan media itu tembusnya susah. Mereka
mengutamakan liputan dengan data luar biasa dan topik terkait sosial politik.
Sedangkan saya bertopik pariwisata dan budaya. Sama sekali bertolak belakang
dengan yang dikatakan oleh rekan saya itu.
Puteri Pukes, legenda masyarakat Gayo yang menjadi destinasi wisata Aceh Tengah. [Photo: Ulfa Khairina] |
Ulak
Ku Sedenge merupakan tulisan jurnalistik yang
saya kembangkan dari hasil liputan saat melakukan liputan investigasi sebelum bekerja
di Irish Red Cross Society. Hal lain
yang menyenangkan permintaan nomor rekening untuk transfer honor. Bayangkan,
nilai beli artikel ini Rp 900/kata. Panjang tulisan saya lebih dari 1000 kata.
Saya mendapatkan lebih dari Rp 1 juta rupiah saat itu.
Fokus
Kerja
Kenikmatan menulis dan mendapatkan uang sambil bekerja ternyata justru keterusan. Saya semakin rajin menulis dan mulai punya target. Saya ingin beli laptop, punya sepeda motor, dan beli rumah. Ide saya mulai muncul dimana saja. Kepekaan saya terhadap nilai berita dari sebuah peristiwa datang seperti angin. Didikan Alfian Hamzah dan Farid Gaban di Seuramo Teumuleh tahun 2006 benar-benar terpraktikkan.
Semester lima benar-benar teranggap remeh. Apalagi saat orang memiliki prinsip kuliah untuk mendapatkan ijazah. Ijazah untuk melamar kerja. Nah, saya kan sudah bekerja dan belum mendapatkan ijazah. Selagi ada, kenapa tidak dinikmati saja? Akan tetapi saya salah melangkah. (B.E.R.S.A.M.B.U.N.G)
0 Komentar