(Do It sudah diterbitkan dalam buku antologi ‘Kuliah Dengan 0 Rupiah’ yang diprakarsai oleh Gerakan Indonesia Membantu)
-o0o-
“Perempuan mandiri bukan saja dia aman secara finansial. Kemandirian sesungguhnya ketika dia mampu menyelesaikan masalah tanpa menyalahkan keadaan.” -@ulfa_520
Muslimah asal Indonesia, Mesir, dan Maroko [Foto: Dokumentasi Pribadi] |
-o0o-
“Ini zamannya apa-apa pakai duit. Pipis saja harus
bayar seribu perak. Apalagi yang lain. Nggak lama lagi kita harus bayar untuk
bernapas.” Titty, temanku paling cantik di antara kami berlima mengungkapkan
artinya uang di era ini. dia berbicara panjang lebar. Sudah lima menit lamanya.
Dia berceramah bagaimana perempuan-perempuan kere sepertiku akan tersingkir
dari dunia ini.
Secepatnya!
Segera!
Soon!
“Apalagi kita, nih, hidup di era globalisasi. Perempuan
itu akan dinilai dari dua sisi, skill saja
nggak cukup. Kita juga harus punya yang namanya gelar S2 untuk mendapatkan
pekerjaan. Kalau kuliah di dalam negeri, sih, banyak orang-orang. Tapi yang
lulusan dari luar negeri sekayak Eropa,
Australia, Amerika. Itu langka sekali di Aceh. Makanya, shay! Aku mau
memanfaatkan kesempatan ini,” Titty menambahkan lagi dengan gaya artis yang
paling cetar di sosial media.
Di telinga kami berempat, kalimat Titty lebih
terdengar seperti pamer kemampuan. Bukan menjelaskan cita-cita dengan
memanfaatkan kesempatan yang ada. Kami berempat melewati kondisi yang berbeda.
Meimei sudah menikah, memiliki anak, dan tidak lagi bekerja seperti semasa kami
kuliah dulu. Sissy sudah bekerja di sebuah bank swasta dengan posisi custumer service dan sedang menggalaukan
hidup yang dia anggap belum mapan. Vivi sudah menikah sebelum wisuda dan sudah
memiliki anak. Dia mengelola usaha dagang dengan suaminya di bagian barat Aceh
yang terkenal dengan penduduk bermata biru. Dan aku, Fafa, mengajar di kampus
swasta elit jenjang diploma dengan gaji pas-pasan.
Kami sepakat jika perempuan harus mandiri dan
memiliki uang sendiri. Tapi standar mandiri secara finansial itu berbeda-beda. Di
antara kami berlima, hanya aku yang memiliki standar terendah. Bagiku, cukup
itu tidak terlibat utang sana sini. Bisa makan tiga kali sehari. Bisa nongkrong
cantik sesekali. Bisa membeli buku sebulan satu eksemplar. Punya kuota internet
untuk nge-blog dan baca informasi. Cukup.
Berbeda dengan Titty dan Sissy yang memasang
standar lebih tinggi. Apa yang dia dapatkan sekarang masih jauh dari kata
cukup. Menurut mereka, nongkrong cantik di tempat ngehits setiap seminggu
sekali belum dikatakan menikmati hidup. Setidaknya tiap tahun harus bisa
liburan ke luar negeri.
Perjalanan bagi sebagian orang menjadi bagian penting dalam hidupnya. [Photo: Pexels] |
Kata-kata Titty sangat menggangguku. Aku dan Titty sepakat akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Penting bagi kami. Terlebih jika aku serius ingin bekerja di dunia akademik. Pendidikan yang lebih tinggi adalah mutlak, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa benua yang disebutkan oleh Titty adalah sebuah kemutlakan. Dan pikiran itu tidak pernah terlintas di benakku.
Titty memang berusaha keras untuk S2 ke luar
negeri. Kudengar dia mengikuti les privat IELTS dan TOEFL di lembaga pendidikan
bahasa asing di kota kami. Sementara Sissy mulai membangun jaringan di
kantor-kantor pemerintahan untuk membuka jalan menjadi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di kemudian hari.
“Memangnya menjadi dosen atau penulis bisa bikin kaya?” cibir Titty ketika aku
ceritakan akan tetap mengejar beasiswa ke luar negeri dan tetap menulis sebagai
kesenangan dan aset keabadian.
Seperti disambar petir. Aku tertohok.
Memangnya
menjadi dosen atau penulis bisa bikin kaya?
-o0o-
“Mandiri bukan perkara kamu banyak duit, Fa. Mandiri
itu bagaimana caranya kamu bertahan dengan segala kesulitan yang kamu hadapi
dan kamu bisa bertahan melewatinya. Bisa bertahan atau tidak. Inilah intinya,”
kata ayah ketika aku meminta izin untuk melanjutkan pendidikan dan setelah
lulus berharap mendapat gaji lebih tinggi.
Tidak ada kata tua untuk tetap belajar [Photo: Pixabay] |
Aku tercengang mendengar penjelasan dari ayah. Pikiranku
yang masih dikacaukan oleh virus Titty masih menolak argumentasi ayah. Dalam kepalaku
masih menari-nari mandiri itu didasari oleh finansial yang mapan. Baru kemampuan
bertahan akan menyusul.
Aku akan kuliah ke Amerika, Eropa, atau Australia.
Seperti cerita Titty yang diperkuat pula oleh cerita orang-orang, pulang dari
benua ini bukan saja dipandang hebat dan diperhitungkan di dalam masyarakat. Beasiswa
yang aku dapat dari negara-negara di bawah naungan benua ini aku bisa memiliki
banyak materi. Aku bisa membeli mobil, membangun rumah, bahkan bisa mengirimkan
dua adikku untuk melanjutkan pendidikan di negeri jiran.
Pandangan ini cukup lama bercokol di dalam kepala.
Aku tidak punya waktu dan uang berlebih untuk mempersiapkan diri pada ujian
IELTS di lembaga pendidikan. Keseharianku terus menulis di depan laptop, lalu
mengirimkan ke media. Berharap mendapatkan honor dari artikel yang dimuat dan
dapat mengurus visa yang tidak murah menuju negara di benua-benua idaman. Aku sudah
mencai informasi dari teman-teman tentang seberapa banyak budget yang harus aku persiapkan.
Meskipun para sepupuku kuliah di benua-benua
tersebut, aku tidak pernah bertanya apapun kepada mereka. Hanya unggahan foto
mereka di Facebook bercerita tentang indahnya hidup di luar negeri. Bermain ski
di hamparan salju, berfoto dengan latar belakang daun-daun musim gugur yang
berwarna kuning, orens, kemerahan. Tersenyum di hamparan tulip. Atau berpose di
salah satu sudut jalan dengan latar belakang bangunan khas negara dan sunglasses bertengger di hidung yang
melindungi dari paparan sinar matahari.
Hidup di luar negeri indah berbalut keglamoran. Hidup
impian. Inilah yang terus menerus masuk ke dalam pikiran meracuni pikiran.
“Tidak perlu ke Amerika atau ke Australia, Nak. Kemana
saja takdir membawamu tidak masalah,” kata Ayah ketika aku sampaikan ingin
kuliah lagi. “Semua orang ingin ke Amerika, Australia, atau Eropa, tapi rezeki
orang kan berbeda-beda. Ada kalanya kita memang ditakdirkan untuk menginjakkan
kaki di Asia dulu. Setelah belajar dan beradaptasi di sana, baru takdir membawa
kita ke negara sejuta ummat.”
Kuliah di kampus Eropa merupakan impian sebagian orang. [Photo: Pexels/Johannes Plenio] |
Dua minggu berselang setelah nasehat ayah akan
kegalauanku, sebuah berita datang. Dua panggilan tidak terjawab. Kemudian pada
panggilan ketiga aku terima sekaligus berita bahagia. Aku lulus ke Tiongkok
melalui beasiswa China Scholarship
Council. Respon teman-teman lumayan heboh. Ada yang memberi selamat, ada
pula yang mencemooh karena diseputaran Asia. Tekadku sudah bulat. Aku akan
tetap menerima beasiswa ini.
Masalah yang sebenarnya muncul. Meskipun untuk
menerima beasiswa, untuk keberangkatan dan pengurusan visa harus mengeluarkan
biaya sendiri. Setelah melakukan kalkulasi siang malam. Berulang kali pula aku
temukan jumlahnya tidak sedikit. Aku tidak memiliki tabungan sebanyak itu. Ayah
dan Mamak juga tidak punya. Di tahun yang sama adik bungsuku masuk ke perguruan
tinggi. Dia melepas kesempatan beasiswa ke Thailand dan memberikan peluang kepadaku.
Salah satu dari kami harus mengalah. Jika orang
tua kami mengusahakan modal berangkat, itupun hanya untuk satu orang. Adikku meminta
aku untuk meninggalkan negeri dan dia akan melanjutkan di kampus di kampung
saja. Katanya, aku yang lebih cocok untuk berangkat. Aku pasti bisa
menyelesaikan semua syarat yang ditetapkan sebagai penerima beasiswa tanpa
rintangan. Dia tidak yakin mampu menyelesaikannya. Apalagi harus belajar bahasa
baru, belajar di negeri orang dengan bahasa dan kebudayaan serta keyakinan
berbeda. Dia menyerah sebelum mencoba.
Aku pikir itu hanya alasan saja. Dia mampu
melebihi yang dia tahu. Dia hanya ingin memberikan kesempatan untukku. Sejak dua
tahun lalu aku ingin sekali melanjutkan kuliah. Sejak aku menyelesaikan
pendidikan S1 dan dia masuk Sekolah Menangah Atas. Keinginanku terhambat oleh
beberapa pertimbangan. Aku juga memilih bekerja.
“Jangan pikirkan soal biaya. Kita akan
mendapatkannya. Insyaallah. Terpenting kamu fokus dengan rencana pembelajaran
di sana. Cari informasi sebelum berangkat.” Ayah selalu memberi semangat setiap
kali melihat aku terbengong di depan jendela.
“Aku punya uang, Ayah. Selalu aku catat dan
kumpulkan. Aku punya lebih dari yang aku kalkulasikan. Permasalahannya tidak
seorang pun dari mereka sadar mengembalikan utangnya. Ada juga yang belum
membayar upahku, seperti tidak sadar membayar hakku adalah kewajina mereka.”
“Jangan selalu mengingat apa yang tidak ada di
tangan. Fokus pada apa yang ada di tabunganmu. Cukup untuk mengurus visa? Urus visa
dulu. Cukup untuk beli tiket? Beli tiket dulu. Pikirkan yang penting dulu, yang
lain menyusul. Kamu jangan khawatir.”
pengurusan visa sebagai syarat utama ke luar negeri. [Photo: Pexels/Nataliya Vaitkevich] |
Rasanya ingin aku berlari untuk memeluk ayah. Hal seperti
ini janggal untukku. Aku malah diam mematung sambil menatap ayah dengan air
mata berlinang.
Saat-saat seperti ini aku jadi berpikiran matre. Perempuan
itu bukan saja harus pintar. Perempuan juga harus punya banyak duit. Ya, duit
yang banyak agar tidak menyusahkan orang lain ketika kebutuhan di depan mata
seperti ini. agar orang-orang yang mengetahui kondisi ekonomi kita tidak lagi
memandang rendah. Setiap orang mempunyai potensi memiliki tanduk dan memandang
rendah serta menjatuhkan orang lain ketika posisi orang lain sudah selangkah
lebih maju.
Ini kondisiku saat ini. Tidak punya uang. Diremehkan
karena lulus ke Tiongkok. Ditambah pula galau cari pinjaman sana sini. Tidak ada
pula yang mempercayai memberi pinjaman dengan jumlah yang besar. Jumlah sebesar
itu harus menggadaikan atau menjual tanah.
Ayah tetap memaksaku kembali ke kota Banda Aceh
untuk mengurus semua berkas keberangkatan.
“Jangan pikirkan uang, insyaallah ada jalan,”
begitu selalu ayah mengingatkan.
Berulangkali juga aku mengutuk diriku. Kenapa aku
tidak berhemat sedikit selama ini. Justru berfoya-foya untuk sebuah pengakuan.
Di saat-saat seperti ini aku justru menyalahkan pengaruh
Titty yang selalu mengajak ke arah wah. Aku lupa bahwa aku memiliki kontrol
atas diriku sendiri. Penolakan dari diriku sendiri tentu tidak akan terikut
kehidupan yang Titty jalani. Titty merasa begitulah gaya hidupnya. Aku menyadari
gaya hidup Titty bukan gaya hidupku, tapi tetap saja aku mengikutinya.
Hangout salah satu bagian dari kehidupan anak muda. [Photo: Pexels/Kindel Media] |
Tidak sampai seminggu, ketika aku jauh dari rumah
dalam proses penyelesaian visa. Aku berusaha mendekati kembali orang-orang yang
pernah meminjam uang padaku dalam jumlah yang tidak sedikit. Meskipun tidak
tergolong banyak pula. Kudatangi juga orang-orang yang pernah memperkerjakan
aku dan belum membayar. Tidak seorangpun paham akan kode keberangkatan yang aku
ceritakan pada mereka. Mereka hanya mengucapkan selamat tanpa membayar hakku.
Ayah mengirimkan aku uang sebesar delapan juta rupiah. Jumlah yang aku pikir cukup. Ternyata masih kurang untuk kehidupan di kota Beijing. Di hari pertama saja aku sudah hampir menghabiskan semuanya. Seorang teman berbaik hati meminjamkan dua juta rupiah dengan perjanjian akan aku kembalikan ketika aku kembali di Banda Aceh saat liburan. Aku berencana pulang pada libur musim panas. Satu tahun kemudian. (B.E.R.S.A.M.B.U.N.G)
0 Komentar