Saya masih ingat kejadiannya dengan jelas. Bukan saja sebuah buku, ini juga menjadi titik awal kelahiran kembali kedekatan saya dengan Mellyan. Sebelumnya kami juga berteman dekat, tapi mungkin saja kurang mesra. Kemesraan sesungguhnya dimulai dari buku ini. Benar kata orang, kedekatan akan bermula dari berbagi bantal tidur.
Berawal dari dua pesan inbox di Facebook, satu dari
orang yang saya kenal dan satunya hanya teman Facebook. Bang Junaidi Mulieng, suami
Mellyan sekarang yang dulunya masih berstatus partner merajut masa depan dan
meniti karir dengan kepala berisi ide serupa. Satu lagi Bang Nashrun Marzuki,
dulunya salah satu petinggi di Koalisi NGO-HAM Aceh yang belum pernah bertemu secara tatap muka. Kami selalu berkomunikasi melalui kolom komentar Facebook atau inbox.
Facebook sebagai salah satu media jejaring sosial. [Photo: Pexels] |
Kedua pesannya sama. Saya diajak untuk menulis
buku tentang kisah korban yang bertahan dari konflik Aceh. Katanya reportasenya
akan dibukukan. Teknik penulisannya feature, dan kami akan keliling Aceh untuk
mengumpulkan data. Terpenting adalah dana untuk peliputan tersedia.
Mellyan masih bekerja di kantor gubernur, saya pun
masih mengajar di LP3I Banda Aceh dan di-SK-kan di Pusat Pengkajian dan
Penelitian Kebudayaan Islam (P3KI) IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang dipimpin oleh Prof. Yusni Saby.
Keseharian saya mengajar jika ada jam kuliah, atau menghabiskan waktu di P3KI mengecek
dokumen, menganalisis, dan mengedit laporan hasil penelitian.
Dua inbox dengan isi yang sama ini sangat membuat
saya senang. Pasalnya, setelah Aceh Feature berhenti beroperasi di Aceh, saya
belum menemukan media yang seimbang untuk jenis karya jurnalistik ini. Menulis
feature untuk dibukukan adalah tawaran pelipur lara pengobat rindu. Terlebih lagi,
melakukan perjalanan hingga ke pelosok Aceh adalah bucket list saya sebagai penulis blog. Sebelum Oliverial, Sakura Dream Box pernah menjadi rumah
untuk melepas kepenatan.
Setelah mendapat inbox, perjalanan menulis kami
langsung dimulai. Tidak ada waktu rehat atau masa-masa menunggu titah. Inbox
itu adalah titah nyata untuk langsung bergerak. Komunikasi kami masih
menggunakan Facebook meski Bang Nash juga memberikan nomor ponselnya. Komunikasi
saya dengan Melly juga menggunakan Facebook, meski sesekali kami mengobrol
lewat SMS. Sesekali kami akan berdiskusi tatap muka sambil makan Mie Mak Beth.
Obrolan kami soal proyek penulisan buku ini tidak
lebih sepuluh menit. Sisanya kami habiskan untuk mengobrol hal lain dari mulai
mengempaskan pantat di kursi kayu, menunggui Mak Beth memasak, sampai mie
terhidang dan mendingin dan ludes tanpa sisa. Pembahasan kami bisa apa saja.
Mulai dari keinginan untuk melanjutkan S2 dan masa depan (pernikahan).
Pernikahan sebagai bagian dari topik obrolan. [Photo: James Ranieri/Pexels] |
Pertemuan awal sejak rencana itu berjalan juga
diisi oleh cerita-cerita Melly tentang perjalanan liputan sebelumnya. Ya, dia
menulis buku berjudul Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005 bersama Kahar Muzakkar. Bang Kahar seorang wartawan juga.
Kami bertemu beberapa kali bukan di lapangan saat liputan, tetapi saat bekerja
sebagai notulis di beberapa acara.
Dari obrolan di kedai Mie Mak Beth saya juga baru
tahu bahwa Dian Guci, penerjemah novel Three
Cups of Tea adalah istrinya Bang Nash. Sungguh kebetulan yang betul-betul
indah bagi saya saat itu. Siapa sangka, dari obrolan sederhana itu, akhirnya
saya bertemu dengan Kak Dian Guci dan Bang Nash di waktu selanjutnya.
Selama beberapa hari kami memang melakukan riset
tentang apa yang akan kami tulis. Selain berdasarkan arahan Bang Nash, berpedoman
dari buku yang ditulis oleh Melly dan Bang Kahar, kami juga mengandalkan banyak
informasi yang dirangkum oleh media. Melly punya data-data masalah konflik.
Selain dia rajin membaca sejarah Aceh, dia juga sudah pernah melakukan riset
sebelumnya.
Selama riset saya mendadak mual dengan berbagai cerita korban konflik. Apalagi bayangan penyiksaan di rumoh geudong yang kerap saya baca ketika usia masih dini. Koran-koran dan majalah berita di rumah cukup menjadikan referensi. Meski tidak ada lagi saat kami melakukan riset, tapi reportase yang saya baca cukup membekas dalam ingatan.
Rumoh Geudong sebagai salah satu jejak sejarah konflik Aceh.
[Photo: Search by Google]
Riset tentang konflik itu membuat saya susah makan
dan minum. Saat makan nasi terbayang nasi atau kotoran manusia yang disodorkan
kepada korban konflik saat disiksa. Saat minum air, terutama teh atau sirup,
terbayang pula kencing yang ditegukkan kepada korban siksaan. Suasana hati
berubah, selera makan nyungsep, ditambah bayang-bayang ketakutan yang
mengganggu.
Satu sisi saya ingin mundur, di sisi lain maju
adalah harapan. Sampai saya bercerita pada seorang teman yang sama-sama pernah
menjadi wartawan tentang kecemasan akan bayang-bayang bacaan masa lalu. Dia membalas
dengan sangat sederhana, “kalau kamu bisa melewati masalah saat berita
pariwisata itu menyebar dan dihakimi oleh orang. Kenapa cuma mendengarkan
cerita korban konflik kamu harus mundur?”
Nah, lantas saya membayangkan kembali. Saat kuliah
dulu saya pernah menulis transkrip dari wawancara dengan korban konflik. Kisah
perempuan yang berjuang, merelakan, dan menjadi saksi kejamnya masa-masa
konflik. Meski dibayar mahal, emosi saya sempat teraduk dengan mendengarkan
cerita mereka.
Lantas, kenapa ini tidak bisa? Dengan tekad kuat, penelusuran
data kami lakukan lebih serius. Maksudnya, saya lakukan lebih serius. Karena
Mellyan sudah pasti melakukan dengan serius sejak awal.
2 Komentar
wah saya juga jadi ikut kepikiran mbak, tapi sepertinya menarik ya menggali sejarah
BalasHapusSeru, Kak. Tapi seram.
Hapus