Madam Flamboyan

 Marinka masuk ke dalam bus berbodi besar dengan cat biru dengan buru-buru. Matanya awas melihat sekeliling. Kalau-kalau ada tempat yang masih tersisa untuk di tempati.

Ada dua. Sebelah kiri dan kanan. Sebelah kanan lebih lapang. Ada empat kursi lagi yang masih kosong. Marinka duduk. Berselang satu kursi kosong dengan perempuan berpakaian nyentrik. Gaya penyanyi dangdut, tapi keren sekali.

[Photo: iStock]


“Marinka Annadea Fernandez,” perempuan dangdut bersuara pelan mengangetkan Marinka. “Umur 29 tahun, dosen favorit di kampus elit ternama, peneliti gemilang, penulis novel romantis. Sayangnya, kisah cinta sang penulis tidak semulus kisah rekaannya.”

“S-siapa anda?” jantung Marinka berdetak kencang saat sadar dia tidak mengenal orang ini. Tapi dia tahu segala hal tentang Marinka. Ralat! Tidak segala hal. Sebagian hal sensitif tentang dirinya.

“Flamboyan,  fortune teller. Call me if you wanna know me more,” perempuan ini menjabat tangan Marinka tanpa diminta dan menyelipkan selembar kartu di telapak tangan Marinka. Ia mendekatkan pipi ke arah Marinka seperti hendak cipika cipiki, “Of course, about your life honey. I know everything.”

“Apa peduliku?! Untuk apa aku tahu tentang kamu? Apalagi menghubungimu?” Marinka mulai tidak terkendali. Ia menjauhkan diri dari perempuan aneh bernama Flamboyan. Namanya saja seperti nama kuburan. Bagaimana ia bisa mengatakan dia tahu segalanya tentang dirinya.

Come on, honey. Keep it. Let’s see.” dan bahasa yang keluar setiap mulutnya terbuka. Mengapa pula harus berbahasa Inggris terus. Wajahnya saja sudah kelihatan tok tok Indonesia. Tidak ada yang menarik dari perempuan ini selain gaya dangdutnya yang menarik perhatian.

Di pemberhentian bus selanjutnya, Marinka langsung turun. Tidak peduli kalau masih ada sekitar selusin pemberhentian bus lainnya lagi yang harus dia lewati. Tujuannya bukanlah kemari, bukan ke  tempat yang… sebuah coffe shop di depan sana menarik perhatiannya. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan pikiran.

Marinka masuk ke dalam coffee shop, tatanannya bagus. Favorit Marinka. Seorang pelayan lelaki dengan apron coklat susu menghampiri dengan menu. Sekitar satu menit ia membuka-buka dan menghitung berapa duit yang harus dia keluarkan untuk duduk di sini. Hot Cappuccino dan Tiramisu. Sip! Ini menu favoritnya, meskipun siang ini ia harus mengeluarkan uang sekitar lima puluh ribuan lebih untuk menu istimewa penghalau gundah.

Perempuan dangdut itu. Dia tiba-tiba muncul di sana dan tahu segalanya tentang dirinya. Bagaimana mungkin. Namanya juga aneh. Flamboyan. Dulu ketika masih kos di kawasan sektor barat, bunga itu ditanami sepanjang pagar kuburan. Fungsinya melindungi dan mengindahkan. Flamboyan bunga favorit Marinka, meskipun mekar setahun sekali. Sejak melihat perempuan dangdut di bus, ia jadi tak ingin melihat jenis bunga flamboyan apapun di muka bumi.

Abaikan tentang perempuan itu. Pikirkan bagaimana cara untuk mengembalikan situasi seperti ia baru saja berangkat dari rumah dan duduk manis dengan tujuan mulia di bus tadi. Ia ingin ke perpustakaan Mesjid Raya Baiturrahman dan membaca buku-buku biografi Islam. Ia ingin menyelediki lebih jauh tentang Ibnu Batutah, seorang traveler muslim yang popularitasnya juga terselip dalam kisah cinta Love Sparks in Korea. Hasil adaptasi dari novel karya Asma Nadia.

“Hot Cappucino. Tiramisu. Silahkan, kak…” pelayan berapron coklat yang tadi memberikan menu datang dengan orderan. Marinka sempat melirik name tag di seragamnya. Zen, namanya Zen.

Marinka menyeruput cappuccino yang dihidangkan Zen. Hmm, enak. Jarang-jarang dia minum cappuccino enak.

Well, Marinka bukanlah penggemar kopi. Dia hanya seorang fans dari cappuccino. Cuma cappuccino. Sejauh ia menikmati cappuccino, belum ada yang benar-benar enak menurut perkiraan Marinka. Tapi yang ini berbeba. Ini enak versi Marinka.

Ia menoleh ke belakang, melihat sosok yang berdiri di balik meja kayu. Zen hanya sendiri. Baristanya dia sendiri. Ya iyalah, ini masih jam sembilan pagi. Siapa yang gila nongkrong jam sembilan pagi. Marinka terdampar di sini juga karena insiden di bus trans tadi.

Pagi yang aneh.

“Maaf, kak. Ada yang bisa saya bantu lagi?” Zen tiba-tiba saja sudah berdiri di samping sofanya. Oh, shit! Ternyata dia pikir Marinka memanggilnya ketika menoleh ke belakang. Padahal Marinka hanya mengecek siapa yang bertugas menjadi barista.

“Chef-nya udah masuk?” tanya Marinka basa-basi. Ia yakin belum ada chef pagi ini. “Saya mau nambah pesanan nasi goreng seafood spesial.”

Mampus! Sekalian saja yang paling mahal.

Zen menggeleng. “Maaf, kak. Chef baru masuk jam setengah sebelas. Satu jam setengah lagi kalau kakak sabar menunggu.”

Marinka mengangguk. Membatalkan pesanannya. Sekalian mengatakan waktu segitu bisa membuat dia kehilangan selera makan atau kekenyangan menatap bunga-bunga yang mekar di luar jendela.

Ia memang duduk di dekat jendela kaca yang menghadap ke sebuah taman kecil terawat. Ada beberapa jenis bunga dalam pot yang sedang mekar-mekar dengan indah. Semua bunga itu Marinka tahu namanya. Di rumahnya banyak. Bedanya di sini lebih terawat saja. Dibandingkan dengan bunga-bunga di rumahnya yang tumbuh dan berkembang secara alami. Detik ini juga dia jatuh cinta pada bunga krisan putih.

*

Ruang 10, MK Global Communication

Ini benar-benar petaka. Marinka tidak bisa berkonsentrasi pada kelasnya. Kejadian tadi pagi membuatnya benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Bayangkan, sudah 30 menit mahasiswanya berkoar-koar mempresentasikan makalah. Di matanya, para mahasiswa itu hanya mengap-mengap saja membuka mulutnya. Tidak jelas bicara apa.

Perempuan dangdut terus bermain di kepalanya. Lebih banyak dari apa yang ingin dia hindari. Semakin dia mencoba mengenyahkan, semakin ngeri perempuan dangdut itu muncul.

Semakin lama semakin mengerikan. Seperti ada panggilan khusus untuk mendatanginya. Harus mendatanginya segera. Di otak waras Marinka berkata, tidak perlu mendatangi perempuan dangdut itu. Sebagai perempuan matang yang dilahirkan dalam keluarga yang agamis, terlarang sekali baginya untuk mendatangi tukang ramal untuk menanyakan nasib.

Otak tidak warasnya membela lebih dahsyat. Marinka bukan hendak menanyakan nasib. Dia hanya penasaran dengan perempuan dangdut itu. Bagaimana bisa di kota senyaman Banda Aceh ini tersedia perempuan seperti itu. Terlebih lagi, dia tahu segala hal tentang Marinka. Saudara saja tidak tahu seperti apa Marinka. Bagaimana orang asing bisa tahu sekali siapa dia.

“Miss, done! Shall we close the presentation?” pertanyaan pemakalah menyadarkan Marinka dari perempuan dangdut dan dilema yang bermain di otaknya.

“Oke. Any question to our presenters?” tanya Marinka sebelum merespon pertanyaan pemakalah.

Teriakan time is up menyadarkan Marinka lagi. Dia terlalu lama mengkhayal. Mahasiswa memakluminya. Pertemuan jam terahir memang buat konsentrasi tidak pada tempatnya.

Miss, si Rama tidak sabaran untuk closing karena mau ke peramal, miss” Saddam, mahasiswa kemayu jahil nyeletuk.

Peramal?

Kebetulan sekali. Marinka mencoba membuatan guyonan dengan mangarahkan pertanyaan iseng. Saddam dan beberapa mahasiswa lain menyebut satu nama peramal yang didatangi Rama. Flamboyan.

“Siapa Flamboyan, Rama?” Marinka bertanya langsung pada Rama. Dia juga ingin tahu apa urusan si perempuan dangdut dengan mahasiswinya.

“Dia itu peramal terkeren di abad ini. Dia juga bukan peramal sih. Dia itu psikater. Tapi tebakannya dalam mambaca kita tepat banget, miss. Gayanya aja keren. Gaya korea gitu”

Marinka nyaris terngakak. Gaya dangdut kok keren. Apa salah mereka melihat si peramal itu. Dimana-mana peramal memang nyentrik. “Bagaimana kamu bertemu dengannya? Apa dikenalkan sama orang?”

“Kita ketemu di bus, miss. Dia baca tentang saya, terus dikasih kartu nama. Ya, saya sih langsung penasaran dan datang ke prakteknya. Pasiennya banyak, miss. Banyak yang bilang solusi dari dia itu tepat. Tapi kalau mau konsultasi, harus on time.”

Marinka terkekeh, “Oh, ya? Punya praktek, ya?”

“Miss, mau ikutan saya ke prakteknya Flamboyan? Saya bawa mobil. Sering tepat lho, miss. Kemarin itu hubungan saya dengan mama kan kacau banget. Setelah ketemu dengan Madam, saya merasa baikan. Kami sudah selayaknya ibu dan anak.”

Aku tertawa kecil. Bahkan dia punya panggilan khusus untuk perempuan itu. Madam.

Saddam menepuk pundak Rama lembut, kemayu seperti biasanya, “Hei, wake up! Miss Marry is a realistic woman. She don’t like something absurd like you are talking about.”

“Namanya juga usaha. Mana tahu miss Marry tertarik untuk melihat jodoh di tempat madam,” Rama keceplosan dan cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan kanan. Matanya melebar panik.

“Ya, mana tahu saya bisa melihat perkiraan menikahi Zayn Malik lebih besar setelah bertemu dengan madam-nya Rama,” aku menambahkan guyonan dengan mencari-cari kegilaan apa yang aku bisa ciptakan.

Miss, are you sure? Zayn Malik, lho” Saddam tak kalah usil.

“So, closing. And thank you for today. See you by next week” aku menutup pertemuan kelas hari ini dengan tepuk tangan selusin mahasiswa dan mahasiswi di mata kuliah Global Communication.

Rama dan Saddam serta mahasiswa lainnya pasti tidak menyangka kalau keinginan yang tersirat untuk mendatang perempuan dangdut itu nyata. Aku hendak ke sana untuk melihat apa yang terjadi dengan diriku. Jika dia mempunyai tempat praktek, tentu saja dia seorang peramal yang handal.

Aku tahu tindakan aku akan ditentang, dikecam banyak orang. Tapi aku pun butuh kepastian dan tahu semua tentang dia. Siapa dia?

Ketika sudah di ruanganku, aku menelepon nomor yang tertera di kartu nama itu. Aku juga menyimpannya dalam kontak di ponselku. Tidak tanggung-tanggung, aku menulis namanya dengan Madam Flamboyan. Company, aku isi dengan Great Fortune Teller. Berlebihan memang. Aku punya filosofi hidup, jika kita menempatkan seseorang itu hebat. Kita juga akan diposisikan hebat oleh orang lain.

Perempuan dangdut menyuruhku datang ke prakteknya malam ini. Setelah jam sepuluh malam. Waktu yang terlalu larut untuk kawasan Banda Aceh dan sekitarnya. Anehnya aku pun tidak menolak. Aku malah mengiyakan dan mempersiapkan diri untuk menerima kejutan paling heboh abad ini.

Malam ini aku ada janji dengan Husna Agustina, seorang fotografer perempuan yang karyanya tidak bisa dipandang sebelah mata. Dia berjanji akan ke rumahku. Setelah perjanjian ke tiga belas, baru ia mendapatkan waktu yang tepat untuk mengunjungiku di rumah. Katanya lagi, dia akan membawakan aku sesuatu yang besar.

Ah, persetan dengan apa yang hendak dibawanya. Aku butuh sesuatu yang lebih jelas. Tentang siapa si Flamboyan, perempuan dangdut yang menggangguku tadi pagi. Mengganggu pikiranku tepatnya.

Panggilan selanjutnya untuk Husna.

“Beib, kita nggak bisa bertemu malam ini. Aku ada acara mendadak.” Kataku ragu-ragu. Khawatir kalau Husna tidak bisa menerima dan mencak-mencak.

“Gila! Aku bela-belain balik ke Banda Aceh cuma untuk bertemu dengan kamu tahu. Mana ini hadiah untuk lo segede bagong. Apa nggak bisa ditunda aja acara mendadaknya? Gue harus kemana dong?” omel Husna.

Ide bagus melintas di kepalaku. Aku yakin tidak ada yang sebagus ideku.

“Gini aja. Ke rumahku, deh. Ntar gue tarok kunci di bawah pot bunga semanggi.”

“Baiklah. Deal!

Aman.

*

Klinik Flamboyan, jam 11 PM

“Marinka Annadea Fernandez,” seorang perempuan secantik Barbie berdiri di depan pintu dengan buku mungil didepannya.

Gila. Kalau aku sebut ini klinik operasi plastik lebih tepat daripada menyebut ini rumah dukun. Dari awal langkahku masuk kemari, aku sudah terkagum-kagum dengan segala hal ini. Rumah minimalis yang di kelilingi pohon flamboyan merah. Pagarnya tidak begitu tinggi, tapi ditutupi oleh tumbuhan mawar kecil-kecil warna putih. Jika sekilas orang berkunjung, mereka pasti mengatakan pemilik rumah sangat nasionalis.

Tidak ada embel-embel rumah flamboyan, klinik flamboyan atau plang apapun yang menyebutkan ini tempat praktek. Kata Rama, pasiennya banyak. Aku malah tidak melihat pasien yang banyak. Hanya beberapa orang saja.

“Marinka Annadea Fernandez, finally you are here. I guess so, you can’t ignore my invitation, honey.” Senyum Flamboyan mengerikan. Aku merasakan bulu tanganku meremang. [*]

Posting Komentar

9 Komentar

  1. Wadduh, saya jadi ikutan merinding juga sama madam Flamboyan.

    BalasHapus
  2. Merinding eyyy bacanyaa. Madam Flamboyan bisa-bisanyaa bikin merinding

    BalasHapus
    Balasan
    1. Madam nyentrik bergaya penyanyi dangdut. Hahaha

      Hapus
  3. wah wah, madam flamboyan menggangu pikiranku juga

    BalasHapus
  4. Bentar aku gagal fokus, di awal kukira ini reviu buku. Ternyata, punya pribadi. 🤭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha.... Salah satu zona amanku, Mbak. Cerita pendek.

      Hapus
  5. Galfok sama gambar bunganya kak hehe

    BalasHapus