Aku tidak tahu bagaimana awalnya kita bisa sedekat ini. Satu hal saja yang aku ingat dari pertemuan kita. Hari itu hujan lebat, aku menunggu hujan reda karena tidak membawa payung di bawah sebuah warung lontong di dekat sebuah sekolah. Aku melewatkan waktu dengan membaca novel karangan Yann Martell yang menjadi pemenang The Man Booker Prize berjudul Life of Pi. Buku di tanganku adalah cetakan ketujuh, sebelumnya aku sudah menonton film-nya di laptop, dibagi oleh seorang teman.
Kau datang, duduk tepat
di hadapanku, tanpa menyapa. Kau mengeluarkan sebuah novel juga. Aku sudah baca
novel yang kau baca, Zahir karangan Paulo Coelho. Entahlah, meskipun novel itu
cukup menarik, aku tidak tertarik dengan gaya sang penerjemah memainkan kalimat
dalam novel itu. Kau berteriak kepada pelayan, “Kak, teh panas dua.”
[Photo: Pexels] |
Dalam hati aku
bergumam, serakus itu kau? Memesan dua gelas teh panas sekaligus. Aku ingin
tertawa. Tapi urung, ketika kau menyodorkan segelas untukku tanpa basa basi.
Aku ucapkan terima kasih, kau tidak menanggapi. Selama dua jam kita larut dalam
bacaan. Aku menamatkan novelku, kau juga.
Kita saling mencuri
pandang dan terciduk sedang melakukannya beberapa kali. Selama beberapa menit
tidak ada yang memulai pembicaraan. Tapi aku jengah dan tidak suka dengan cara
ini. Maka kumulai dengan pertanyaan.
“Kau punya blog? Aku
suka membaca resensi sebuah buku dari sudut pandang yang berbeda-beda.” Kataku
sekaligus bertanya.
Kau hanya mengangguk,
kemudian mengetik sesuatu di ponsel. Lalu menyodorkan padaku. The Death Book, begitulah judul blog-mu.
Mengerikan sekali. Aku tidak bisa membayangkan isinya. Kubaca tulisan yang
paling baru, berjudul Kau Tak Akan Mati
Bersama Richard Parker. Ternyata ulasan tentang novel yang baru saja aku
tamatkan beberapa menit lalu. Life of Pi.
Hujan mulai mereda. Aku
mengetikkan alamat domainku di ponselnya. Pustaka Gee, nama yang tidak atraktif
untuk seorang bookaholic seperti si The Death Book tentunya. Dia tidak
berkata apa-apa, kemudian pergi setelah menerima ponselnya kembali, membayar
dua gelas teh panas. Aku pun tidak yakin alamat web yang aku tinggalkan masih tersimpan
di sana.
Aku kerap membaca
tulisan terbaru yang kau posting untuk mengobati rindu. Terutama ketika hujan.
Ini caraku mengenang kita, pertemuan aneh dan secangkir teh hangat yang kau
pesan untukku. Tapi kita tidak saling menyapa dan berbagi lebih jauh selama dua
tahun lebih. Satu-satunya keberanian yang aku paksakan adalah menulis komentar
di tiap tulisan terbarumu. Membaca balasanmu adalah sesuatu yang amat aku
senangi selama pertemanan maya ini.
Aku kerap menjadi aneh,
setiap mendung, aku berusaha ke warung lontong dekat sekolah itu. Sambil
membaca novel lainnya, aku berharap kau datang dan duduk di depanku. Kali ini
aku yang akan mentraktirmu teh hangat. Tapi selama dua tahun lebih pula kau
tidak pernah muncul di warung itu kala hujan. Ya, aku bukan siapa-siapa yang
bisa kau kenang dalam hidupmu.
Kukatakan aku tidak
suka takdir,tapi pertemuan kita selanjutnya memang kukatakan sebuah takdir. Di
sebuah coffee shop dengan harga fantastis, aku berniat menulis dan mengunggah
tulisan terbaru di blog. Dari pantulan jendela yang bling itu aku menangkap
pantulan wajahmu. Sayang, kau bersama seseorang yang tampaknya istimewa. Aku
diam saja, tidak menyapa. Kaupun belalu tanpa melirikku.
Menahan rasa sesak, aku
pikir kuharus meninggalkan coffe shop ini segera. Tapi sesuatu yang aneh
terjadi. Kasir menolak uangku dan mengatakan seseorang sudah membayar. Lengkap
dengan sebuah kartu dengan catatan tertulis di sana. Aku terkejut membaca
tulisan yang amat rapi itu.
“Dia siapa?” Tanyaku
pada kasir.
Sebuah cerita singkat
mengalir. Rain, book blogger dan
pemilik coffee shop ini. Dia tidak sering di sini, tapi dia akan datang ketika
hari hujan untuk mebaca di sana. Kulirik lagi tulisan di kartu itu. Di sana
tertulis sebuah judul tulisanku yang aku post
setahun lalu di blog. Kita akan bertemu
di sini.
Ya, di sana aku menulis
tentang kelak suatu hari aku akan bertemu lagi dengan dia yang mentraktirkan
aku teh. Di sebuah coffee shop dengan interior serba kayu dan penuh buku. Aku
tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan tentangnya ketika coffee shop ini
muncul sesuai dengan kebiasaanku. Aku selalu berkunjung kemari, kukatakan juga
di postingan selanjutnya bahwa coffee shop ini sudah memenuhi kriteria yang aku
impikan. Sialnya buku yang mereka pajang umumnya sudah aku baca. Aku menulis
buku apa yang aku inginkan untuk baca, sebulan kemudian buku-buku itu sudah
terpajang di rak koleksi.
Sedikitpun aku tidak
pernah menyangka jika kau adalah perwujudan dari mimpiku. Kau hadir tiba-tiba
dengan segelas teh hangat. Kemudian mewujudkan ruang baca untukku, memenuhi
keinginan bukuku. Dan… haruskah aku katakan aku jatuh cinta?
Aku merasa terusik
ketika melihatmu berjalan bergandengan dengan perempuan cantik itu. Tapi
bagaimana mengatakan aku memiliki rasa sementara aku mengenalmu hanya melalui The Death Book? Mungkin aku menyimpan
perasaan kagum, bukan cinta. Aku bukan cemburu, tapi merasa diasingkan. Ah, ternyata
aku terlalu larut bersama ungkapan semu dari kata penggemar.
Pertemuan aneh itu
berlanjut terus dan terus di setiap hujan turun. Kita lebih sering bertemu
tanpa menyapa. Dialog yang terjalin di antara kita hanya pada untingan blog.
Ungkapan hati, keluh kesah dan cerita yang ingin kita sampaikan secara tatap
muka. Kita? Mungkin hanya aku.
Tahun keempat setelah
pertemuan itu. Kau datang sendiri ke mejaku. Duduk di depanku dengan senyum
pertama kali aku lihat. Kau menyapa, sekedar halo. Lalu sebuah undangan
meluncur ke hadapanku. Tergeletak di depanku. Jantungku berdegup kencang. Aku
khawatir bulir bening akan jatuh, kemudian menunjukkan kelemahanku di depanmu.
Nyatanya aku tidak
perlu kecewa bahwa itu undangan perkawinan. Kau mengundangku sebagai pembedah
dalam sebuah acara launching buku.
Kau juga memberikan satu eksemplar buku yang membuatku terdiam tidak terkata.
Tentang kamu, tentang isi hatimu bertemu seorang perempuan di balik tebalnya novel
Yann Martel di kala hujan.
Itu aku!
Haruskah aku menolak
atau menerimanya. Suatu kehormatan untukku berada di sana dan menjadi sosok
penting dalam pikirannya selama empat tahun. Suatu kegalauan juga untukku yang
merasa tidak pantas berada satu meja dengan pemilik The Death Book. Karena dia bukan saja mampu membungkam semua
kecamuk ego dan imaji para pembaca. Tapi juga berhasil mendorongku ke lubang
kematian dengan semua harapan-harapan-harapanku.
Sebelum aku memutuskan
untuk mengatakan iya atau tidak. Di luar café hujan mulai turun. Seorang
pelayan menghidangkan dua gelas lemon tea panas. Asapnya masih menguar, aroma
lemon menusuk ke dalam hidup, menembus ke saraf otak.
2 Komentar
Keren ceritanya kak. Suka dengan kalimat terakhirnya ...
BalasHapusDan dari sinilah cerita kita yang sebenarnya akan dimulai. Dua orang penggila buku. Si penulis dan pengagum. [ ]
Terima kasih, Kak 😁
Hapus