Suamiku memarkir motor tepat di depan klinik. Ia berkata akan segera kembali setelah melakukan finger print di kantornya. Aku mengangguk lesu dan masuk ke dalam klinik yang masih sepi itu. Aku langsung berjalan ke bagian belakang dan melihat banyak pasien sedang mengantri dokter kandungan dan anak. Ada beberapa sofa yang masih kosong. Aku memilih duduk di situ, mengeluarkan ponsel dan memainkan ponsel.
“Dik, boleh saya duduk
di sini?” Seorang perempuan dengan longdress
dan perut membuncit mendekatiku.
“Silahkan, kak” aku
mencoba tersenyum ramah dan kembali ke layar ponselku.
“Dokternya belum datang
ya?” tanyanya.
“Sepertinya belum. Dari
tadi pintunya belum dibuka.” Pandanganku tidak berpindah dari layar ponsel.
“Waduh, lama sekali. Oh,
Tuhan…” Perempun itu bersandar agak kesusahan.
[Photo: Pexels] |
Dia mengeluarkan dua
buah ponsel android dengan merek berbeda dari tas tangannya. Sesekali aku
melirik aktivitasnya di sana. Dia sedang melakukan transaksi dengan seseorang
di aplikasi obrolan. Ia membeli selusin batik pelangi dengan warna berbeda.
Kemudian melakukan transaksi internet
banking melalui ponsel lainnya. Aku kembali asyik memainkan ponsel dan
melirik-lirik toko online di ponsel
sambil men-screenshot beberapa pilihan.
“Halo, kak. Aku pesan
martabak mesir dan jamur goreng crispy-nya,
ya, kak. Antar saja ke kantor aku. Ongkos antarnya masih sama kan kak?” Dia
berbicara di telepon. Memesan makanan.
Dia pun kembali ke
ponselnya. Berbicara dengan seseorang dengan panggilan sayang. Kutebak, dia menelepon
suaminya. Ia memberi tahu posisinya saat ini dan bagaimana kondisinya.
Sementara dokter belum datang ke ruangan.
*
Vari masuk ke dalam
ruangan dengan badan basah kuyup. Persis seperti orang baru keluar dari kolam
renang dan berpakaian lengkap. Tetes-tetes air masih mengalir, menetes ke
lantai. Matanya celingak celinguk mencariku di antara belasan pasangan lain
yang mangantri di ruang tunggu.
Aku melambaikan tangan.
Dia mendekatiku. Beberapa detik saja di sana, kaki yang beralaskan sandal jepit
itu sudah basah dan membuat genangan air di ruangan.
Kutatap dia enggan.
Antara kesal dan ingin mengatakan padanya bahwa dia orang yang memalukan sekali
hari ini. Dia bisa ganti baju dulu atau mengabariku sudah basah kuyup. Tidak
perlu masuk seperti itu dan menjadi pusat perhatian orang-orang.
Tujuannya masuk ke
dalam hanya untuk bertanya, apakah dokter
sudah datang? Berapa antrian sudah
masuk ke dalam dan nomor antrianku.
Menyebalkan sekali. Aku
sudah menjelaskan puluhan kali hari ini, aku di antrian ketujuh. Jika hanya
untuk menanyakan dokter, dia bisa saja menelepon. Tidak perlu masuk.
Di balik rasa kesalku
ini, aku merasa khawatir juga dengan kondisinya. Aku mungkin sebal padanya.
Yakin sekali aku, jika Vari khawatir. Dia ingin mendampingi aku di dalam. Tidak
ingin membiarkan aku sendirian di dalam sana. Sementara para perempuan lain
didampingi oleh suaminya masing-masing.
Vari sadar menjadi
pusat perhatian. Aku mengajaknya minum kopi di café sebelah sebagai bentuk
halus mengusirnya. Vari cukup sadar itu dan mengatakan biar dia saja yang ke
café sebelah. Sementara aku menunggu di dalam sampai dokter datang. Cukup sms
dia jika nomor antrian sudah mendekati.
Begitu Vari pergi,
kudengar beberapa orang berbisik-bisik tentang Vari. Perempuan di sampingku tetap
sibuk dengan ponselnya. Meskipun aku menghabiskan konsentrasiku pada layar
ponsel, masih bisa kudengar para lelaki dan perempuan bergosip tentang suamiku,
Vari yang datang dengan basah kuyup ke dalam ruangan.
*
Ini kali ketiganya aku
datang ke klinik ini. Aku akan menjumpai dokter yang sama untuk kepentingan
yang berbeda. Dokter Amalia adalah rekomendasi dari temanku untuk memeriksakan
dan berkonsultasi kandungan selama kehamilan. Katanya dokter ini bagus,
telaten, hati-hati dan sangat sabar. Pasien boleh berkonsultasi lama, bertanya
apa saja selama proses kehamilan.
Pasiennya banyak
sekali. Sehari ia membatasi hanya untuk dua puluh orang. Kedatangan hari ini
harus menelepon dan mendaftar kemarin.
Hari ini untuk kedatangan besok. Pendaftaran dimulai pada jam 7.45 pagi.
Selain susah nyambungnya karena line telepon
terus sibuk, terkadang kuota pasien sudah penuh. Pada pukul 8.15 pagi, operator
sudah menjawab bahwa perjanjian untuk dokter Amalia sudah penuh.
Kedatanganku pertama kali
untuk memastikan hasil kehamilan yang teruji positif dengan test pack. Ternyata sudah enam minggu
tiga hari dan aku bersiap menjaga kehamilan. Dokter menyarankan agar aku kembali
dua minggu atau tiga minggu kemudian. Aku senang sekali.
Kedatanganku yang kedua
tepat seminggu kemudian. Aku merasa gelisah karena adanya flek yang muncul
selama dua hari. Hari pertama flek aku datang ke dokter lain dan dia mengatakan
aku mengalami keguguran. Janinnya tidak berkembang. Aku tidak percaya, kami
kembali ke dokter Amalia tanpa melakukan pendaftaran. Atas nama emergency, aku masuk menemuinya. Dia
memberikan vonis yang sama dan aku menjalani proses penguretan.
Kedatangan ketiga
adalah hari ini. Aku datang untuk mengontrol kondisi rahim post kuretase. Apakah kandunganku sudah bersih dan baik-baik saja.
Sekaligus aku ingin bertanya-tanya apa yang berkaitan dengan kehamilan
selanjutnya.
Beberapa puluh menit
kemudian, dokter Amalia datang dengan gaya elegannya. Celana pipa warna biru
dongker dengan kemeja panjang warna putih. Kerudungnya pashmina warna biru
elektrik. Padu sekali dengan tote bag
yang ia tenteng. Aku melirik merek tas-nya. Tidak begitu terkenal, tapi aku tahu
itu tas berkualitas bagus dan bukan murahan.
“Hamil berapa bulan,
dek?” perempuan cantik di sampingku bertanya.
“Saya kontrol
kandungan, kak. Pasca kuretase. Dua
bulan kehamilan,” kataku. Sudah terbiasa sekali menyebut kata kuret dan
keguguran dalam seminggu ini.
“Oh,” dia terkejut
sedikit. “Belum rezeki”
“Kakak berapa bulan?”
tanyaku.
“Enam bulan, tapi sakit
sekali perut saya. Memang ada miom di
perut saya. Itu mungkin jadi penyebab, tapi ini sudah anak kedua”
“Sebelumnya dengan
dokter ini juga?”
“Iya. Setelah ke banyak
dokter. Saya suka dengan Ibu Amalia. Orangnya sabar dan baik.”
Aku ingin memberi
komentar tentang kesanku terhadap dokter Amalia. Tangan perempuan ini memberi
kode agar aku memberinya waktu untuk berbicara di telepon. Aku mengangguk,
memberikan kesempatannya untuk berbicara di telepon.
Caranya dia berbicara
di telepon menunjukkan seseorang di sana sangat dekat. Suaminya. Ia berbicara
dengan lembut dan manja. Panggilan-panggilan romantis yang manis mengalir
lancar dari mulutnya. Bukan pencitraan. Begitulah mereka di rumah.
Terbayang seperti apa
aku dan suamiku. Kami tidak punya panggilan romantis. Kami tidak punya sesuatu
yang manis untuk dikenang ataupun dipamer. Kami seperti pasangan yang menikah
karena dijodohkan. Padahal aku dan Vari sudah mengenal satu sama lain cukup
lama.
Berada di sini, melihat
orang-orang di sekelilingku, aku tidak tahu harus mengatakan apa terhadap
hubungan pernikahan kami. Bukan romantis. Itu pasti.
Perempuan itu menyimpan
ponselnya di dalam tas. Ia menatapku sambil tersenyum. Aku menaganalisis
profesinya dari cara dia berkomunikasi. Dia pasti lah seseorang yang bekerja di
bank atau pekerjaan yang berkaitan dengan marketing.
“Namaku Syufra, 28
tahun. Bekerja di bank. Kamu?” tanyanya tanpa megulurkan tangan.
“Dianita, 27 tahun.
Bekerja di universitas sebagai dosen,” aku menjawab sambil tersenyum. Mengikuti
gayanya. Aku berbohong soal umurku. Sebenarnya aku berumur tiga tahun lebih tua
dari yang aku sebutkan. Sejak tadi dia memanggilku ‘dek’, aku tidak mau
membuatnya tidak nyaman denganku.
“Wah, kita hanya beda
setahun. Suaminya mana?” tanyanya.
Berbincang soal suami,
aku mulai goyah. Kesal juga iya. Kukatakan padanya kalau suamiku kehujanan. Dia
menunggu di café sambil minum kopi dan mengangin-anginkan pakaiannya. Dia tidak
mungkin masuk ke dalam dengan kondisi basah kuyup. Ternyata, dia tahu itu. Dia
ingat ketika Vari masuk dengan basah kuyup.
Percakapan kami
berlangsung panjang. Mulai dari obrolan tentang karir, kondisi kehamilan sampai
pekerjaan. Ia mengatakan kalau menyesal bekerja di bank untuk sekarang. Nasi
sudah menjadi bubur, di usia sekarang dengan kondisi hamil, hanya
mempertahankan di zona aman saja. Bukan memulai karir baru.
Dalam sepuluh menit
pertama berbincang dengan Syufra, aku sudah bisa menilainya sebagai orang yang
cukup terbuka. Termasuk orang baru seperti aku.
Perbincangan mengalir
begitu saja. Sampai seorang bocah lucu dengan mata menatap polos tersenyum
manja dari kejauhan.
“Ais, kemari nak”
Syufra memanggil bocah dengan celana panjang bermotif bendera Inggris. Bocah
itu berlari-lari ke arah ibunya. “Itu anakku dan suamiku. Kompak sekali untuk
tampil nyentrik”
“Anak yang lucu,”
kataku begitu melihat bocah bernama Ais.
“Ini suamiku, Alva. Pa,
kenalin, teman baru mama, Dianita” Syufra memperkenalkan suaminya padaku dan
aku pada suaminya.
“H-hai,” aku menyapa
lelaki yang berdiri mematung dan sedikit kaget di depanku.
“Ma, dokternya sudah
datang?” Alva mengabaikan sapaanku dan beralih berbicara pada Syufra.
Syufra menjawab
pertanyaan Alva sambil melanjutkan keluhannya. Hanya beberapa detik Alva di
sana. Sebuah memori tentang wajah itu muncul seperti album foto lama.
Tidak perlu
mengingat-ingat dimana aku pernah melihatnya. Kami pernah dekat. Dia adalah
mantan sahabatku yang pernah berselingkuh. Kemudian selingkuhannya hamil dan
dia meninggalkan sahabatku untuk menikahinya. Syufra adalah perempuan itu.
“Dian, suamiku ini
orangnya romantis dan pengertian sekali. Bikin istri tambah sayang. Iya nggak
sih?” Syufra menunjukkan bentuk cintanya dengan mengecup punggung tangan
suaminya.
Alva menepis halus,
“Ma, papa dan Ais duduk di ujung ya. Papa akan kemari kalau sudah dipanggil
sama dokter Amalia.” Kemudian Alva pergi.
“Kak Syufra sudah lama
bekerja di bank?” tanyaku hati-hati. Intinya aku ingin menyelidiki, apakah ini
orang yang membuat sahabatku nyaris bunuh diri.
“Tujuh tahun. Tapi aku
beruntung, tidak ikut peraturan menikah setelah dua tahun kontrak”
“Wah, beruntung sekali.
Kok, bisa kak?”
“Iya. Saya bekerja satu
tahun setengah, terus hamil. Jadi boleh lanjut. Lagi pula saya dan manajernya
dekat.”
“Kak Syufra beruntung
sekali.”
Syufra tersenyum
senang. Aku mulai menghitung. Tujuh tahun lalu, tepat saat sahabatku mengatakan
ada yang aneh dengan Alva. Enam bulan kemudian, Alva mengatakan kalau ia tidak
mungkin melanjutkan hubungan mereka.
Aku ingin
bertanya-tanya lagi pada Syufra. Tuhan menyelamatkannya. Ia dipanggil ke
ruangan. Alva menggandengnya mesra. Agak lama dia di dalam, sampai akhirnya aku
terlarut kembali dengan ponselku.
“Dianita, sampai jumpa
lagi,” pamit Syufra. Ia keluar dengan kursi roda dan wajah menahan sakit.
0 Komentar