Liburan butuh healing? Saya akan memilih perjalanan menuju ke tempat baru dibandingkan tempat yang nyaman untuk staycation. Kata suami saya, liburan paling enak dan favorit ya menikmati hari libur dengan tidur di rumah saja. Karena hari kerja sudah melelahkan, sudah saatnya melepaskan penat di rumah dengan tidur. Seringkali saya tidak setuju dengan konsep liburan favorit suami saya. Adakalanya saya setuju dengan konsep ini. Apalagi sejak punya dua anak yang masih usia bayi dan balita, ruang gerak saya sangat terbatas.
Hal
paling menyenangkan dalam sebuah liburan adalah perjalanannya. Tidak perlu
singgah dalam waktu yang lama, karena sesuatu yang favorit tidak terlahir
karena kebiasaan, tetapi momen singkat saat menikmati waktu itu.
Rute Nagan Raya-Aceh Tengah di Singgah Mata [Photo: Search by Google] |
Ketika
kami memutuskan liburan ke Takengon, saya sudah tahu kalau ini akan menjadi
tempat favorit. Meskipun kami tidak pergi kemana-mana dan hanya di rumah saja.
Rumah di Takengon adalah tempat favorit untuk disinggahi, ditinggali, dan
dinikmati. Apalagi ditambah dengan masakan mamak yang hmm, tidak bisa
dikalahkan oleh Chef dari resto bintang lima sekalipun. Tidak perlu mahal,
cukup cecah terong angur saja sudah
membuat bahagia sepanjang hari.
Dari
Meulaboh, ada rute singkat dan menantang menuju ke Takengon. Tidak perlu
berputar mendaki gunung Geurutee dan Seulawah. Rute Beutong (Nagan Raya) sudah
cukup layak untuk ditanjaki oleh mobil keluarga, tetapi pastikan kalau supirnya
memang eligible untuk menyetir di
tanjakan dan tekongan patah, ya. Rutenya memang semenantang itu.
Kami
bergerak dari rumah pada pukul sepuluh pagi. Setelah semua urusan beberes
selesai. Lalu melewati jalan berdebu dan sedikit macet di depan PLTU Nagan
Raya, PT. MIFA Bersaudara dan jalan aspal menuju ke Seunagan. Di area ini agak
ngeri-ngeri sedap bagi saya. Pasalnya banyak truk pembawa beban berat melaju
dengan kecepatan tinggi. Pengendara sepeda motor yang berlomba dengan waktu tidak
kalah ligat dalam salib menyalib.
Saya
kerap mengingatkan suami untuk hati-hati. Terutama ketika berpapasan dengan
sepeda motor pekerja kebun dengan berbagai alat dinasnya. Sepanjang perjalanan
menuju Sp. Peut Nagan Raya, perjalanan masih biasa saja. Tidak ada yang begitu
istimewa. Hiruk pikuk kota kecil, kesibukan pedagang dan pekerja pemerintah,
anak sekolahan, semuanya ada di sini.
Pasar Sp. Peut Nagan Raya [Photo: tribun.com] |
Jalanan
baru mulai asyik ketika sudah memasuki area persawahan. Pemandangannya terasa
adem, apalagi jika masa padi sedang bertumbuh dan menghijau. Adem dan menangkan.
Paling seru jika perjalanan di pagi hari setelah Subuh atau menjelang maghrib
saat matahari terbenam. Pemandangan semburat jingga memang sangat indah di area
ini.
Lewat
area pesawahan, memasuki kaki gunung, suasana sejuk mulai terasa. Berbanding
terbalik dengan panasnya Aceh Barat dan Kota Jeuram. Pemandangan semak di tepi
jalan, sungai yang mengalir. Wah, serius sih. Kalau punya partner jalan yang kompak
dan hobi nongkrong di tempat wisata, tempat ini recommended banget untuk disinggahi.
Aliran
sungai berjeram kecil, banyak bebatuan dan memang tempat wisata. Perjalanan
akhir pekan akan terhambat ketika melewati area ini. Banyak kendaraan parkir
sembarangan. Muda mudi berboncengan dengan motor dan tidak mau mengalah dengan
pengguna jalan lain. Belum lagi kerumunan keluarga yang sedang membeli jajanan
atau mainan untuk anak. Paling seru memang kalau berkunjung ke tempat wisata
ini di hari kerja. Selain sepi, tempatnya jauh lebih bersih. Meskipun kerap
melewati tempat ini jika pulang ke Takengon melalui rute Beutong, saya tidak
tahu apa nama objek wisata ini.
Lewat
sungai ini, perjalanan menantang dimulai. Mobil mulai mendaki. Dulunya hanya
satu mobil saja yang aman lewat ke atas. Kalau ada mobil lain turun, bisa dipastikan
harus turun ke badan jalan. Paling seram kalau ada badan jalan yang longsor dan
jurangnya curam. Begh, pikiran bisa ke akhirat sana. Sementara amal ibadah
belum cukup saldo untuk dipertanggungjawabkan.
Semakin
lama jalanan semakin mendaki. Beberapa sisi memang ada peringatan untuk cara
berkendara yang aman. Tikungan patah dan segala jenis tantangan menguji nyali
jadi makanan. Dulu saya senang-senang saja diajak petualangan seperti ini.
Walaupun sekarang nggak masalah, tetapi nyali mulai ciut. Apalagi ketika ada
truk besar dari atas perjalanan menurun dan kami yang dari bawah harus mundur. Ini
benar-benar sport jantung.
Wisata irigasi Jeuram [Photo: Search by Google] |
Kalau
dari posisi menurun, sebelum turun gunung ada pemandangan yang bagus banget di
sisi kiri atau kanan gunung. Posisinya bisa berpindah sesuai dengan jalur
kelokan. Pemandangannya terkesan sederhana, tapi mevvah. Terutama buat orang
kota yang merindukan pemandangan dari puncak gunung. Banyak kok anak-anak muda
dari dataran naik ke area see sight ini
untuk sekedar foto, menikmati alam, dan memantau lahan kosong pembangunan perumahan
baru. Eh!
Hamparan
sawah yang super luas, perumahan penduduk, dan tentu saja musim apa yang sedang
berlangsung dapat dilihat dari atas sini. Kalau musim kering, pemandangan biasa
dan hijau pasti terlihat. Jika musim hujan dan mulai menggenang. Semua lahan
terutup dan berubah warna kecoklatan. Sekali lagi, waktu yang paling
menyenangkan untuk melihat pemandangan di sini adalah saat matahari terbit dan
terbenam. Sangat jelas makna nikmat Tuhan mana lagi yang harus kita dustakan.
Semakin
tinggi pendakian di gunung Singgah Mata, semakin dingin pula temperaturnya.
Pohon-pohon yang menjulang warnanya sudah menghitam. Berasa ada awan yang
melekat di dahan-dahan pohon. Aneka suara alam mengingatkan saya pada masa
kecil ketika tinggal di sebuah bukit dengan hutan lindung di depannya. Aneka
binatang liar terdengar jelas di telinga.
Perjalanan
melewati aspal hitam bukan saja menantang, tetapi liar dan intim dengan alam.
Jika tidak menyalakan musik di mobil, irama alam akan menjadi musik alami yang
menyenangkan sekali. Kalau berkendara dengan sepeda motor, bersiap dengan hal-hal
yang lebih menyenangkan akan terjadi. Misalnya ada hewan-hewan liar yang melintas
dan mungkin saja kita tidak pernah melihat hewan tersebut sebelumnya. Kegelapan
bisa saja menyergap meski hari masih terang di atas puncak gunung. Dingin,
berkabut, dan mistis. Kita sudah berada di puncak Singgah Mata.
Kita
melewati hutan lindung. Jangan harap warung-warung yang menjual makanan di
sana. Apalagi hypermart dengan nama bulan yang menjual makanan cepat saji.
Tidak ada conviniet store jenis itu.
Satu-satunya warung nasi terletak di lembah antara dua gunung di tepi sungai.
Namanya warung Aceh Setia. Belum sampai ke Beutong, tapi di sinilah satu-satunya
tempat penyelamat perut.
Bukit sereh wangi [Photo: Search by Google] |
Namanya
memang terkesan sukuisme, tapi menu yang dijual di sini kebanyakan masakan
Gayo. Tidak semua orang Aceh bersahabat dengan selera dataran tinggi Gayo. Bagi
saya yang besar di Aceh Tengah, menu ini tidak masalah. Jika tidak biasa,
pilihan yang bisa dijadikan pengganjal perut hanya mie instant seduh atau Pop
Mie. Harga yang dibandrol lumayan mahal. Tidak heran, mereka satu-satunya
tempat beristirahat dan mengamankan perut.
Perjalanan
selanjutnya kembali mendaki. Di sini mungkin akan lebih banyak pilihan karena
sudah memasuki kampung Beutong Ateuh. Di sini pula sejarah Aceh tercatat pada
masa konflik. Media menyebutnya dengan Tragedi Beutong Ateuh atau Pembantaia
Tgk. Bantaqiah. Jalannya sudah lebih bagus dan ada monumen yang berbetuk
alqur’an terbuka untuk mengingatkan pengguna jalan tentang sejarah berdarah
ini.
Keluar
dari kabupaten Nagan Raya, pemandangan khas Aceh Tengah yang membuat saya
merasa seperti Yunnan (China) adalah hamparan bukit Sereh Wangi. Udara yang menguar
aroma hutan liar berubah dengan segarnya aroma serai. Hmm, kepala seketika
rileks.
Perjalanan
di atas bukit ini tidak seterjal ketika berada di Gunung Singgah Mata.
Perkampungan di lembah mulai terlihat. Terkadang kampungnya terlihat miring
beberapa derjat, terkadang landai. Namun keindahannya luar biasa.
Keindahan
sejenis ini akan terus kita nikmati sampai berada di Aceh Tengah. Persawahan,
bukit hijau, perkebunan, rumah yang letaknya berjauhan, bunga-bunga liar yang
menyemak sebagai tanaman hias. Tumbuhan anggrek liar, pepohonan dengan warna
tidak biasa. Ya, inilah Aceh Tengah pedalaman.
0 Komentar