“Ni de fumu zuo shenme gongzuo? (Orang tua kamu bekerja apa?)” Fan laoshi mengajukan pertanyaan ini di depan kelas Bahasa Mandari dasar. Pertanyaan ini adalah tema kouyu hari itu. Saya dan teman-teman lain sibuk mencari kosa kata untuk diperbincangkan di kelas. Ada beberapa yang bisa saya pilih, terutama yang tertulis buku pegangan. Ada laoban (pedagang atau pekerja mandiri) di sana. Maka saya akan memilih pekerjaan ini.
Beberapa
teman ada maju ke depan kelas, ada yang menunjukkan tangan untuk bertanya
dengan semangat.
“Laoshi, wode baba shi (ayah saya adalah)...
lawyer. How to say in chinese?” seorang teman bertanya dengan suara keras.
“Lishi (pengacara)”
“Laoshi, military ne? He is an
army,” gadis bertubuh bongsor dengan wajah imut bertanya.
“Jundui (tentara)”
“How about doctor?”
“Yisheng (dokter)”
“He is a pilot”
“Feixingyuan (pilot)”
Semua
bertanya dengan suara keras, semangat, dan terdengar keren. Saya dan beberapa
orang lain tidak bertanya, karena memang sudah tahu apa jawabannya. Rata-rata laoshi (guru), laoban (pedagang), atau guyuan
(karyawan) di sebuah kantor. Dalam hati saya berdecak kagum, tidak heran
kemampuan dan gaya hidup mereka di negeri rantau luar biasa, mereka memang
berasal dari anak-anak orang berpunya. Pekerjaan orang tua mereka tidak biasa,
beasiswa yang mereka dapat adalah bonus bukan kebutuhan yang harus mereka cari
untuk melanjutkan studi.
[Photo: Pexels] |
Seorang
lelaki bertubuh tinggi, berewokan, rambut lurus sebahu, memakai kaos putih
dengan celana jeans maju ke depan. Dia memagang notes dan mendekati laoshi. Entah kenapa saya tertarik
dengan urusannya. Saya memasang kuping untuk mendengar percakapannya dengan Fan
laoshi.
“He is a farmer,” jelasnya pada Fan
laoshi. “Dia pergi ke sawah waktu matahari baru terbit, lalu dia kembali saat
matahari akan tenggelam. Dia menanam padi, ketela, jagung, dan menjualnya di waktu
harvest. Kami juga memiliki sawah,
hewan ternak. He is my father, a great
man in my life.”
Saya
semakin tertarik dan mendengar percakapan mereka. Tatapan saya mulai fokus
kepada lelaki asal Pakistan ini. Namanya Muhammad Shahzad Yousufzai. Asalnya dari
Punjab, salah satu provinsi di Pakistan. Saat itu sedang lanjut magister di
jurusan International Journalism and
Communication. Dia masuk ke kelas bahasa melalui relasi baiknya dengan
pengurus fakultas.
“Ta shi yi ge nongren (dia seorang petani),” jawab
Fan laoshi singkat.
“Xie xie, laoshi (terima kasih, laoshi),” respon
Shahzad sambil berbalik dan meninggalkan Fan laoshi.
Saat
berjalan ke bangkunya, dia menoleh kepada saya yang memperhatikannya. Dia
mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum. Ternyata orangtuanya petani. Saya
mengubah kata laoban menjadi nongren. Kemudian menunggu saat dosen
saya memanggil ke depan untuk bercerita tentang pekerjaan orang tua.
Beberapa
orang yang pekerjaan orang tuanya sangat keren maju dan bercerita tentang
kehidupan mereka sebagai anak. Ada yang rajin liburan ke luar negeri setahun
sekali karena ayahnya pilot. Ada yang selalu ditinggal karena ayahnya tugas
militer ke luar daerah. Ada pula yang selalu berada di rumah, tetapi tidak
bertemu dengan orang tuanya karena anak seorang dokter.
Anak
dari tenaga pendidik selalu mendapat perhatian khusus soal pendidikan. Termasuk
memotivasi anak-anaknya untuk kuliah di luar negeri dan mendapatkan tingkatan
pendidikan lebih dari mereka. Cara mereka bercerita pun tertata.
Tibalah
giliran Shahzad. Ketika dia mulai bercerita, semua orang mencoba menyimak
seperti teman-teman lain.
“Wo de baba shi yi ge nongren (ayah seorang
petani),” katanya. Mahasiswa lain di kelas mulai berbisik-bisik. Bertanya
apa itu nongren.
Laoshi
menulis kata nongren di papan tulis.
Menambah deretan kosa kata tentang profesi yang sejak tadi ditambah sejak ada
yang maju untuk bercerita. Ketika laoshi menambahkan arti kosa kata dalam
bahasa Inggris, seketika kelas meledak. Tertawa besar dan Shahzad berdiri kaku
di kelas dengan tatapan kosong. Dia bingung apa yang salah. Kemampua bahasa
mandarinnya yang tidak cukup baik menghempaskan semua susunan kosa kata di
kepala yang akan disampaikan.
Shahzad
kembali ke bangkunya dengan linglung. Tidak ada komentar apa-apa, tapi
orang-orang masih tertawa. Laoshi bertanya, “siapa lagi yang mau maju?”
Entah
mengapa, saya terdorong untuk memperkuat cerita Shahzad tentang ayahnya yang
seorang petani. Bahasa saya juga limited
edition, tetapi ketika terpojok saya terbiasa bicara sangat fluently dan lancar seperti expert. Saya maju dan tatapan semua
orang di kelas tertuju pada saya.
“Wo de baba shi nongren, gen ta yiyang (ayah
saya adalah petani, sama seperti dia). Ta ye zai daotian gongzuo (Dia juga
bekerja di sawah). Meitian dou gongzuo, cong qi chuang dao shuijiao (setiap
hari bekerja, dari bangun tidur sampai tidur). Meiyou zuo feiji fei fei, meiyou
qu waiguo lvyou (tidak ada naik pesawat untuk terbang, tidak ada berwisata ke
luar negeri). Meitian dou zai gongzuo (tiap hari bekerja). Weishenme? (Kenapa?)
Yinwei.. meiyou ta henduo ren bu chifan (Karena... tidak ada dia banyak orang
tidak makan). Ren ren e si le (Orang-orang sudah kelaparan sampai mati). Women
ye e si le (kita juga kelaparan). Wo jiao’ao wo de baba (Aku bangga pada Ayah
saya). Women de baba bushi yi ge nongren, tamen ye shi yi ge haohan (Ayah kami
bukan seorang petani, mereka juga
seorang pahlawan).” Saya bercerita sangat berapi-api.
Karena
gugup terlalu bersemangat saya buru-buru kembali ke meja saya. Saya tidak
melihat wajah teman-teman sekalas, tetapi saya mendengar riuh tepuk tangan di
kelas yang membahana. Di papan tulis, saya melihat tambahan kata daotian (sawah), jiao’ao (bangga), haohan
(pahlawan).
Teman
sebangku saya asal Thailand berbisik, “feichang
hao (sangat bagus). You are a good public speaker.”
Saya
hanya tersenyum. Lantas melirik ke bangku ujung. Shahzad melihat saya, mata
kami bertemu. Dia tersenyum dan mengedipkan mata. Lalu mengacungkan dua jempol
pada saya.
Setelah
hari itu, saya berpikir. Banyak anak-anak petani atau anak-anak yang memiliki
orangtua tidak berpenghasilan tetap di awal bulan tidak berani bermimpi.
Jangankan untuk kuliah di luar negeri atau merantau ke kota besar, bermimpi
untuk melanjutkan paling tinggi saja tidak. Secara umum, mereka tidak salah.
Karena lingkungan masyarakat juga seringkali membuat gap pendidikan yang besar
untuk profesi tertentu berada di pendidikan tertentu.
Tembok
berupa anggapan itu bisa diruntuhkan dengan memberi bukti. Tidak ada yang tidak
mungkin kalau usaha maksimal dari diri sendiri ada. Banyak orang-orang sukses
memulai kesuksesannya dari nol. Bukan kesuksesan warisan karena orangtuanya
sudah mapan duluan.
0 Komentar