Dua minggu sudah tidak ada kabar dari Kak Daliya. Status di Whatapp sepi, tidak ada notifikasi apapun di sana. Aku berulang kali mengirimkan pesan. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Status terakhir dilihat dua minggu yang lalu. Dugaan kami yang paling positif sederhana saja. Kak Daliya tidak ada kuota untuk membalas semua pesan kami.
Kak
Daliya muncul di grup keluarga tiga hari kemudian. Ketika Paman kami yang
tertua menyebut namanya dan menanyakan kabarnya. Hilang kemana kakak kami yang
paling ceriwis dan riang gembira itu?
[Photo: Pexels] |
“Qadarullah, Yaya dikonfirmasi positif
Covid-19,” jawab Kak Daliya di grup yang membuat badanku panas dingin.
Pertanyaan
demi pertanyaan diajukan untuk Kak Daliya. Mulai dari gejala, kondisi,
pengobatan, dan setelah dinyatakan sembuh kembali. Kak Daliya bercerita
semuanya. Detil sekali. Termasuk penolakan masyarakat terhadapnya. Terutama di
lingkungan kerja. Orang-orang mulai menjaga jarak dan tidak mau berkomunikasi
dengannya. Seolah dari suara pun akan menularkan virus.
Rasa
sedih, rasa terbuang, juga rasa-rasa yang lain muncul. Sementara banyak orang
yang tidak mau memeriksakan diri aman-aman saja berkeliaran. Siapa yang tahu
jika mereka adalah para pasien Covid-19 dengan status Orang Tanpa Gejala. Mereka
tidak menyadari dan menolak mengakui itu.
“Arumi
kan sering bolak balik di perjalanan. Coba sesekali melakukan tes Covid-19.
Uang bisa dicari, tapi kesehatan tidak,” kata Kak Daliya. Nyaliku menciut juga
ketika disarankan begitu. Bagaimana pun aku tidak siap dengan vonis positif
dari hasil tes.
Ketakutan
bukan tidak menghantuiku. Setiap melakukan perjalanan dengan mobil penumpang
umum, aku selalu was-was. Apalagi melihat cueknya masyarakat dengan pandemi
ini. Seolah apa yang mereka dengar dan tonton di TV setiap hari hanya gurauan
saja.
Hingga
suatu pagi, Affan meneleponku untuk pulang. Dia mengabarkan adiknya yang
seorang nakes terkonfirmasi positif. Dia terpapar dari salah satu pasien yang
melahirkan dan dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja. Adik Affan sedang
menjalani pengobatan dan karantina selama dua minggu ke depan untuk dilakukan
tes lagi.
Kegelisahanku
semakin menjadi-jadi. Terutama ketika di sampingku seorang ibu duduk dengan
tenangnya tanpa memakai masker. Tangannya ke sana kemari, menyentuh ini dan
itu. bahkan dia membantah supir ketika menyarankan untuk memakai masker.
Dalam
perjalanan dia mendapat telepon dari keluarganya di Medan. Aku masih mendengar
percakapan mereka sayup-sayup di telepon. Jelas meskipun kecil. Adiknya yang
berada di Medan terkonfirmasi positif. Dia ingin pulang ke Aceh karena tidak
bisa melakukan apapun di Medan. Perekonimian lumpuh dan dia tidak
berpenghasilan lagi.
“Di
sini biasa saja, tidak ada yang namanya positif dan negatif. Semuanya sama
saja,” kata penumpang di sampingku tenang.
“Bagaimana
mungkin aku pulang dalam kondisi begini? Bagaimana kalau aku ditangkap?”
“Ya
sudah. Pulang saja. Jangan ribut dan bilang orang kalau kamu sudah positif.
Siapa yang tahu. Kalau ada yang terpapar, mereka juga nggak tahu kalau itu dari
kamu.”
Mataku
melotot seketika. Egois sekali ibu itu. Kugeser duduk ke dekat dinding mobil
lebih rapat. Berusaha menghindari si ibu yang sangat picik pikirannya.
Tiba
di kota, aku turun duluan. Aku menunggu jemputan suami di sebuah cafe. Satu jam
kemudian suami menjemputku di cafe dan kami meluncur pulang.
“Malam
ini Arumi tidur di kamar sebelah,” kata Affan mengangetkan.
“Kenapa?”
“Kita
semua sedang dikarantina.”
Aku
diam. Kepalaku berdenyut. Semuanya seakan berputar terbalik.
Oh,
karantina!
0 Komentar