Pernahkah kalian berjalan-jalan di pantai Aceh yang berpasir putih atau airnya bening seperti kristal? Mungkin tanggapanmu akan sama dengan saya. Indah dan menenangkan. Bahkan tidak perlu jauh-jauh ke Bali untuk mendapatkan pesona pantai yang menawan ini. Hanya beberapa kilometer dari jauh, hamparan pasir putih di destinasi wisata bahari sudah menjadi milik kita bersama.
Itu baru pantainya. Aceh tidak kalah dengan Indonesia bagian timur dengan pesona bawah lautnya. Laut Aceh dan terkhusus area Pulau Weh memiliki spot diving yang juara indahnya. Siapa yang tidak pernah ke sana? Malahan para bule juga wara wiri di sepanjang pantai Iboih, Gapang, dan Sumur Tiga. Belum lagi yang menyeberang ke Pulau Rubiah. Indahnya jangan ditanya.
[Photo: Pexels] |
Tahun
2008, saya pernah snorkling dengan kemampuan berenang saya yang nol besar. Saya
‘snorkling’ dipandu oleh seorang tenaga ahli. Tidak bisa disebut snorkling karena
area yang saya pilih sama sekali tidak dalam. Hanya bebepa meter dari bibir
pantai saja. di sini saja, saya sudah melihat aneka warna terumbu karang, jenis
ikan hias yang selama ini hanya saya lihat di aquarium, dan menikmati sensasi
di bawah laut lainnya.
Sesekali
saya berpapasan dengan plastik dan botol yang tenggelam di dasarnya. Ini belum
jauh ke laut lepas. Itu pun tahun 2008 silam. Belasan tahun sebelum artikel ini
ditulis. Bayangkan tahun ini, 2023 tentu bukan hal baru untuk melihat turis di
Sabang dengan berbagai tingkah lakunya. Mulai dari yang menjaga lingkungan
seperti bule yang kerap mengutip sampah. Ada juga dengan sengaja membuang
sampah makanan dan plastik ke laut dengan sengaja.
Saya
pernah melihat para pedagang yang berjualan di tepi pantai membuang tempurung
kelapa muda dan plastik botol mineral ke laut dengan santainya. Tidak ada rasa
bersalah sedikit pun. Benar-benar santai selagi di pantai.
Duh,
saya sempat kesal setengah dead. Bagaimana
bisa manusia ini masih bisa menikmati keuntungan dengan tenang. Alam dan segala
isinya memberikan kemudahan dan keindahan untuk dinikmati dan mengalirkan cuan.
Sedangkan ‘beliau’ ini malah membuang sampah ke lautan. Rasanya pengen muntahan
semua isi perut dan minta balik uangnya karena kesal.
[Photo: Pexels] |
Ini
bukan sekali dua kali. bukan pula hanya terjadi di Aceh. Di seluruh pantai
Indonesia yang menjadi objek wisata, masalah yang dihadapi sama persis. Sama-sama
bermasalah dengan kesadaran menjaga lingkungan sementara keuntungan terus
diraup tanpa beban. Lingkungan dan pesona alam diekploitasi tanpa batas.
Pada
tanggal 19 Januari 2023, situs Antara Aceh memberitakan tentang penyelam yang
membersihkan laut Pulau Rupiah dari sampah-sampah. Ya, Pulau Rubuah memang spot
terbaik untuk menyelam, berwisata, dan sekedar duduk makan minum menghilangkan
penat. Ajaibnya, sampah-sampah di sana pun tidak bisa dikatakan sedikit.
Sebanyak
10 orang penyelam mengumpulkan 80 kilogram. Wah! Jumlah yang tidak sedikit. Jika
dikumpulkan jumlah tersebut bisa menciptakan satu bukit kecil yang tidak
main-main. Jumlah sebanyak itu bisa merusak semua biota laut. Padahal masyarakat
sekitar tahu benar bahwa laut yang selama ini mereka buangi itu adalah sumber
mata pencaharian.
Sangat
disayangkan jika masyarakat sadar akan kesinambungan ekonomi yang dihasilkan
daerah wisata bahari, tapi tidak menyadari akibat yang ditimbulkan oleh adanya
sampah yang dibuang. Padahal sampah-sampah plastik yang dibuang ke laut akan
merusak ribuan biota laut. Sampah plastik tidak bisa dikatakan sepele, butuh
ratusan tahun untuk penguaraiannya.
Padahal,
para pemilik usaha dapat melakukan alternatif lain untuk melindungi lingkungan
bawah laut. Sederhana saja, mereka bisa mengumpulkan sampah-sampah dalam satu
karung dan sampah itu bisa diberikan untuk pihak lain agar didaur ulang. Memang
benar, masalah sampah di Aceh bukan masalah baru. Sampah menjadi masalah yang
paling bermasalah di antara masalah-masalah lainnya. Aceh juga membutuhkan
manajemen khusus untuk pengelolaan sampah.
Selama
ini perlindungan lingkungan bawah laut hanya dikelola oleh orang-orang yang
berjiwa kemanusiaan tinggi. Mereka melakukan pembersihan, pengelolaan, dan perlindungan
atas dasar kerelaan. Bukan karena dibayar dan diperintahkan oleh orang lain. Akan
tetapi, orang-orang yang tingkat kemanusiaannya tinggi seperti ini sangat kecil
jumlahnya. Mereka tidak seramai pelaku yang secara sadar melakukan pencemaran
lingkungan.
Banyak
sekali pantai-pantai wisata yang berpotensi ‘menerima’ dan tidak bisa menolak
sampah dari para pelancongnya. Jika di pantai-pantai yang bukan tempat wisata,
sampah-sampah yang didorong ombak ke pantai berupa kayu-kayu yang hanyut. Akan tetapi,
di tempat wisata sampah plastik bersaing dengan jumlah pasir di laut.
Menurut
survei yang dilakukan di Banda Aceh tahun 2019, sebagian besar pantai Aceh
dikuasi oleh sampai plastik. Angka persentasenya juga sangat tinggi. Sebanyak 44,70%
sampah yang mencemari pantai dan laut merupakan sampah plastik. Hanya 1, 02
kaca. Sementara pakaian atau kain, karet, olahan kayu, keramik, dan metal
masing-masing hanya sekitar nol koma saja.
Angka-angka
tersebut akan terus meningkat setiap tahunnya. Tentu saja, dengan semakin
sedikit pihak yang sadar akan penjagaan lingkungan keadaan pun semakin sulit. Apalagi
kalau hal ini erat kaitannya dengan bisnis, kepedulian, dan jangka panjang. Dalam
urusan ini memang harus dimulai dari kesadaran bersama dalam melakukan aksi. Terutama
kesadaran diri sendiri dalam menjaga milik bersama.
[Photo: Pexels] |
Ya, meskipun kedai jajan atau cafe di pantai itu milik pribadi, tetapi laut yang sudah ada sebelum manusia terlahir ke dunia adalah milih Tuhan. Statusnya milik bersama. Jadi, penjagaanya juga harus bersama. Tidak perlu muluk-muluk sampai mengajukan Rancangan Anggaran Belanja (RAB) sekaligus pengesahan dari pihak terkait. Sederhana saja, kita mulai dari diri sendiri dengan tidak membuang sampah sembarangan. Satu tindakan sederhana ini sudah menyelamatkan bagian yang akan terkotori oleh sampai. Ingatlah, sampah yang dibuang dengan aksi satu detik akan menjadi saksi kerusakan lingkungan dalam seratus tahun.
0 Komentar