Menjelang maghrib di hari perbincangan dengan Ayah, saya mendapat telepon dari ibu kos. Rasanya agak aneh ibu kos menemepon saya usai maghrib. Biasanya hanya pesan teks untuk menanyakan sesuatu. Seperti situasi terkini di kos, calon penghuni kos baru, sampai meminta kami patungan untuk memperbaiki rumah atau benda-benda yang kami pakai bersama di rumah.
Malam
itu ibu kos mengamuk. Mengatai saya dengan koleksi kosa kata yang menyakitkan.
Intinya beliau merasa saya menipu selama dua tahun. Kalimat yang paling saya
ingat hanya sebaris kalimat panjang, “ternyata selama ini saya menampung
pembohong. Kamu bukan sedang mencari beasiswa dan kuliah. Kamu bekerja dan jadi
mata-mata. Saya kecewa dan menyesal sekali sudah menampung orang yang salah.
Penghuni sebelumnya penggoda suami orang, penghuni sekarang mata-mata.”
[Photo: Pexels | Ketut Subiyanto] |
What?
Antara
ingin tertawa dan tersakiti hati, saya harus menerima cerita itu. Emosi saya
yang masih labil menolak perkataan ibu kos. Saya menjawab, “saya tidak
berbohong, Bu. Saya memang sudah selesai kuliah S1, saya sedang kuliah juga.
Kuliah SPU sambil bekerja. Apa salah saya kuliah sambil bekerja sambil mencari
peluang beasiswa S2?”
“Tidak
bisa. Saya tidak bisa menerima orang yang bekerja. Saya tidak mau menerima
orang yang kuliah sambil bekerja. Nanti orangtua kamu nyalahin kami!”
Serius!
Perbincangannya mulai tidak nyambung. Sudah saatnya mengakhiri dengan kabar
baik, “tidak apa-apa kalau saya tidak boleh tinggal di sana lagi, Bu. Saya juga
sudah mendapatkan asrama lain.”
“Bagus!
Dimana? Siapa yang mau memberi kosan untuk yang sudah selesai kuliah?”
“Saya
akan lanjut S2, Bu. Ke China,” ungkap saya akhirnya. Antara ingin membuktikan
bahwa saya memang serius mencari peluang dan bentuk perlawanan bahwa tanpa
kosan beliau saya bisa mendapatkan yang lebih baik.
Emosi
yang tadinya meledak-ledak perlahan redam. Ibu kos bertanya banyak hal. Saya
pun menjawab sekedar dan sejujurnya. Sampai percakapan di telepon berakhir.
Sebelum tidur, saya menerima sebuah pesan teks dari penghuni rumah bawah, yaitu
adik ibu kos.
“Fa, kata Maya mau kuliah ke
China? Kapan balik? Kita ngebakso dulu, yuk, sebelum berangkat.”
Damn!
Saya baru sadar. Informasi tentang saya bukan bocor dari orang lain. Mungkin
saya pernah keceplosan kepada adik ibu kos yang sangat friendly. Justru sayalah yang menempatkan diri di posisi bahaya.
Saya
tidak membalas lagi, tetapi memilih tidur dan berharap esok lebih baik.
(*)
Saya
tiba di Banda Aceh menjelang Subuh. Kos sepi, berdebu, dan beraroma pengab. Teman
kos tidak kembali selama bulan Ramadan. Apalagi mereka libur kuliah. Saya
memilih tidur sebentar, lalu bersiap untuk mengurus ini itu di Rumah Sakit, lab
Dinas Kesehatan, dan mengirim semua berkas.
[Photo: Pexels] |
Rasanya
lelah sekali. Lebih melelahkan lagi saat mengecek rekening, tapi tabungan
pas-pasan. Sangat pas-pasan. Satu-satunya cara untuk meringankan biaya
pembelian tiket adalah dengan menagih utang.
Saya
mengecek satu persatu nama di binder ukuran A6. Beberapa nama dengan nominal
pinjaman sudah terlalu lama meminjam uang. Sebenarnya meminta bukanlah bakat
saya, apalagi saya tipe nggak enakan
walau milik sendiri. Hari itu saya nekat meminta. Setelah hari itu, saya
mengakui satu pernyataan tentang silaturahmi. Uang akan memutuskan silaturahmi.
Tidak
ada yang mengembalikan sampai waktu yang saya tunggu. Bahkan ada yang tidak
mengangkat telepon sama sekali. Tidak membalas pesan juga. Lebih menyebalkan,
ada yang memblokir saya. Hasil kalkulasi dari catatan, total uang saya yang
menyebar sekitar Rp 8 jutaan. Sayangnya sampai Ayah mengirimkan modal untuk
urus visa, beli tiket, dan modal awal ke China tidak ada ada yang mentransfer
uang saya.
Ada
pula yang berbohong mengatakan sudah mentransfer, tapi struk tidak keluar. Saya
khusus mengantri setengah harian ke bank untuk cetak rekening koran. Melihat
arus keluar masuk rekening saya. Sampai customer
service bank berkata, “kalau dia memang ada transfer, sudah tercatat di
sini. Sekalipun transferannya error, tetap tercatat di kita, Kak.”
Fix! Urusan dunia sudah merusak semuanya.
Bahkan sampai sekarang komunikasi dan silaturahmi kami pun sudah terputus.
Beberapa kali saya hubungi si teman untuk menyambung silaturahmi, bukan menagih
hutang, si teman tidak merespon. Namun sejak itu, kami tidak pernah bertemu
lagi.
Visa
saya baru selesai seminggu sebelum berangkat. Semua dokumen dikirim melalui
ekspidisi overnight yang memakan
biaya tidak sedikit. Paginya saya mengambil paspor ditemani sepupu, berlanjut
membeli tiket di waktu mepet dengan daftar ulang. Sejujurnya, saya merasa sedih
saat melepaskan jutaan rupiah ke tangan travel
agent.
Kegalauan
saya berlanjut saat jelang keberangkatan. Saya bingung antara harus pulang
untuk berpamitan atau langsung melanjutkan penerbangan. Sebagian besar barang
sudah saya bawa pulang ke kampung dengan armada L300. Sebagian lagi saya jual. Buku-buku
dan sebagian besar ikut pulang kampung, pecah belah dan sepatu serta tas saya
tinggalkan di kos untuk generasi selanjutnya yang membutuhkan.
Tiga
hari sebelum berangkat kegalauan saya meningkat. Satu sisi saya ingin
berangkat, di sisi lain hati saya tidak rela. Seperti ada sesuatu yang menahan
saya, tapi tidak tahu apa yang membuat saya tertahan.
Saya
memutuskan pulang ke kampung dulu untuk pamitan, tidak lupa membeli buku Ranah
1 Warna yang baru terbit. Buku ori seperti keinginan Ayah. Saya ingin
menyerahkan langsung kepada Ayah tanpa perantara. Cukup satu hari di kampung,
kurang dari 24 jam.
Ayah
menerima buku dengan senang, tetapi sedih hati melepaskan anak gadisnya
merantau. Ayah sudah biasa melepas saya bepergian. Kali ini berbeda, jaraknya
jauh. Negeri yang asing dan tanpa didampingi siapapun. Tidak ada pula teman
berangkat. Saya benar-benar bertarung dengan label woman solo traveler ke Beijing.
Tiga
jam sebelum berangkat kembali ke Banda Aceh, Ayah duduk di teras menemani saya
makan bubur kacang hijau. Ayah menasehati saya banyak hal. Perkara iman,
pertemanan, makanan, belajar, dan output setelah
kembali dari China nantinya. Berulang kali Ayah mengingatkan agar tidak fokus
pada nilai di atas kertas. Fokus pada sesuatu yang bisa diaplikasikan ketika
saya kembali ke tanah air.
“Lulusan
luar negeri banyak, tapi hanya sedikit yang bisa membawa dirinya dalam
masyarakat. Bisa bekerja dan benar-benar dipakai ilmunya,” kata Ayah malam itu.
Menit
berikutnya Ayah kecewa karena saya mengatakan akan berangkat malam itu juga. Penerbangan
saya ke Kuala Lumpur hanya beberapa jam dari perbincangan kami. Ayah sedih,
tapi saya merasa keputusan kembali dan bertemu Ayah selama beberapa jam saja
adalah keputusan tepat.
[Photo: Pexels | Sultan Raimosan] |
Ayah
mengantar saya hingga ke pintu L300 yang menjemput pada pukul sembilan malam. Saat
berpamitan, Ayah memeluk saya lama. Ayah juga menangis. Ini benar-benar situasi
di luar dugaan. Seperti kebanyakan budaya orang Asia lainnya, tidak ada
ungkapan I love you yang diutarakan
lewat kata-kata. Pelukan Ayah juga terasa canggung karena orang Asia hampir
tidak mengungkapkan perasaan dengan cara ini.
Sepanjang
perjalanan saya menangis. Tidak tahu mengapa air mata sangat luwes keluar dari
pertahanan. Ini bukan perjalanan pertama, tapi saya merasa perjalanan kali ini
sangat berat.
(B E R S A M B U N G)
0 Komentar