[Photo: Ulfa Khairina] |
Takengon, ibukota Aceh Tengah yang terletak di dataran tinggi provinsi Aceh ini belakangan mulai dilirik. Bukan saja karena komoditas kopinya yang melanglang dunia, Takengon juga memiliki pesona alam sebagai destinasi utama bidang pariwisata. Panorama Burni Telong dan Danau Laut Tawar, serta festival budaya yang berlangsung setiap tahun. Aceh Tengah benar-benar serpihan tanah surga yang menjanjikan untuk para pelancong.
Saya
melewati masa kecil hingga remaja di kota Takengon. Orang tua saya memilih
menjalani hidup di kota dingin itu. Kebetulan masa-masa saya beranjak dewasa
adalah masa konflik di Aceh. Dibandingkan dengan Aceh bagian pesisir, Takengon
jauh lebih aman dengan beragam perbedaan etniknya.
Takengon
adalah kota yang dingin. Kebetulan sekali rumah kami di atas bukit yang
berhadapan dengan gunung-gunung hijau kehitaman. Saya masih ingat, setiap pukul
empat sore kami sudah keluar dengan down
jacket. Jaket yang dipakai oleh kebanyakan orang di musim dingin. Embun
mulai turun mengirimkan dinginnya hingga menembus tulang. Irama rimba juga
terdengar merdu.
Berbagai
macam suara hutan rimba terdengar dari gunung di depan bukit yang kami
tinggali. Letaknya belasan kilometer, tapi semua masih hijau dan gelap. Bahkan
saya tidak bisa membayangkan bagaimana masyarakat yang tinggal di lereng
pegunungan itu. Tidakkah mereka takut dengan ancaman binatang buas?
Mereka
tidak takut. Bahkan mereka bersahabat dengan alam. Memanfaatkan alam sebagai
sumber kehidupan. Mereka tetap mencari nafkah dari kebun kopi yang menghidupi
masyarakat secara turun temurun. Saat temperatur di bawah sepuluh derjat pun,
mereka masih sanggup masuk ke kebun kopi untuk bekerja. Kehidupan di sana
sangat harmonis dan indah.
[Photo: Search By Google] |
Ketika
saya masih anak-anak hingga remaja, jalan utama menuju kota masih terdapat
hutan kiri kanan. Bukit-bukit pinus masih menaungi kota. Udara sejuk juga
mendukung pertumbuhan aneka ragam bunga yang hanya terlihat di tempat tertentu.
Bahkan bunga-bunga yang sekarang naik kelas masuk ke dalam pot dulunya hanya
semak liar yang tumbuh sepanjang jalan. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada
pula yang menanamnya di rumah. Ia dibiarkan saja tumbuh liar di sana sebagai bagian
dari alam.
Saya
juga masih ingat di kebun kopi kami yang tidak begitu luas ada satu pohon
dengan daun seperti daun mangga, tapi berbulu. Buahnya berwarna kuning
bergerombol seperti anggur. Warnanya kuning dan kulitnya agak berbulu. Kami
menyebutnya buah biwa. Hampir semua anak di Takengon mengenal buah biwa.
Berbeda dengan sekarang, anak-anak mulai tidak mengenal lagi buah biwa. Bahkan
generasi saya sudah menyebutnya buah langka. Buah biwa adalah buah kebanggaan
kami sekarang, karena anak-anak generasi kami tidak mengenal lagi buah biwa.
Saya
juga ingat sekali di masa kecil kami tidak membeli sayuran. Semuanya tinggal
petik di halaman rumah, di kebun, atau dibagi oleh tetangga. Sayuran yang kami
makan juga tanaman yang tergolong liar seperti pakis dan jantung pisang liar.
gulai jantung pisang malah menjadi favorit saya di masa kecil. Tidak heran
sekarang mereka memanggil saya master jantung pisang karena menolak anggapan
untuk menjadi pintar harus makan yang mahal dan sehat. Bagi sebagian orang,
kuliah sampai jenjang S2 itu dianggap pintar.
Apa
yang saya alami saat kecil sekarang sudah kebalikannya. Kami harus membeli
sayur mayur. Tomat ceri yang dulunya tumbuh liar di belakang rumah tanpa
perawatan kini harus ditebus dengan harga yang lumayan dari abang penjual
sayur. Kami harus membeli, padahal tanah surga kami memberi tanpa pamrih.
[Photo: Pexels] |
Kami
membeli dua ikat bayam seharga Rp 5 ribu. Harga yang cukup fantastis mengingat
Aceh Tengah adalah lumbungnya sayur mayur yang dijual ke luar Aceh. Para
penjual sayur pun dengan santainya mengatakan semua hasil panen yang
berlimpah-limpah itu diimpor dari Medan, Sumatera Utara. Betapa nyeseknya
petani Aceh yang berlelah-lelah menanam.
Tidak
heran juga. Katanya iklim di Aceh Tengah mulai berubah. Aceh Tengah sudah tidak
dingin lagi sehingga semua tanaman yang dilempar saja tumbuh sekarang mulai
susah tumbuhnya. Belum lagi penggunaan pestisida dan lain-lain yang membuat tanah
semakin tidak sehat. Berbeda dengan masa saya kecil dulu, penggunaan pestisida
masih minim. Ayah saya yang seorang petani kerap menggunakan kompos sebagai
pupuk.
Setelah
lama berada di perantauan, saya kembali dengan berbagai kejutan. Gunung yang
menjadi kenangan indah hidup berdampingan dengan alam saat kecil dulu kini
sudah gundul. Pohon-pohonnya sudah ditebang hingga ke puncak. Perkebunan warga
mulai merambah hingga ke hutan lindung.
Wilayah
bermain kami saat kecil yang ditumbuhi ilalang dan tanaman buah liar seperti
murbei kini juga mulai berganti. Tidak ada lagi murbei kuning atau hitam yang
dapat kami jadikan sebagai darah-darahan saat bermain perang-perangan. Area itu
sudah dijadikan perumahan yang dengan cicilan untuk para warga yang memiliki
rumah impian. Kacaunya lagi murbei yang dulunya kami peroleh dengan memetik
tanpa izin sekarang sudah naik kelas masuk rak-rak dingin supermarket. Dijual
dengan harga mencekik hanya dengan menggunakan nama bahasa Inggris.
Spot
perkebunan warga yang dulunya zona bermain kami juga sudah dilepas kepada para
pebisnis. Mereka mulai membatasi pendatang gratisan dengan membuka akses wisata
panorama di atas bukit-bukit. Masuk berbayar, pembangunan ini itu sebagai
dekorasi yang terinspirasi dari wisata luar negeri, tapi tidak ada perawatan.
Sampah berserak dan berimbas pada warga asli.
Banjir
bandang yang terjadi di Paya Tumpi Baru pada tanggal 13 Mei 2020 silam salah
satu dampak yang disebabkan pembalakan liar dan perluasan area wisata. Bukan
tempat wisatanya yang salah, tapi cara pengelolaan dan perlindungannya yang
salah. Kalau saja hutan tidak ditebang, pembangunan dibatasi, dan pengunjung
sadar lingkungan tinggi. Tentu banjir tidak akan terjadi. Terlebih gunung
pepanji yang bersambungan langsung dengan lokasi panorama mulai dilapangkan dan
diganti dengan perkebunan kopi.
Bukan
hanya orang-orag yang datang ke Aceh Tengah, saya yang besar di sana pun mulai
merasa ada perbedaan suhu. Dulunya Aceh Tengah sangat dingin. Bahkan di tengah
terik siang harus memakai baju yang tebal. Pendatang tidak melepaskan jaketnya.
Berbeda dengan sekarang, pukul sepuluh pagi mulai terik. Berkeringat.
Temperatur
maksimal dulunya sekitar 18 derjat. Sekarang bisa mencapai 25 derjat lebih.
Panas. Hot jelotot bikin mata melotot
tot! Tapi mau bagaimana, kalaupun suhunya sampai 30 derjat, tidak banyak
yang bisa dilakukan sendiri. Aksi mengembalikan atau tidak menambah perubahan
iklim adalah tugas bersama. bukan tugas pribadi.
[Photo: Pexels] |
Salah
satu tanda bahwa Aceh Tengah mulai panas bagi masyarakat awam ditandai dengan
tumbuhnya tanaman yang biasa hidup di pesisir seperti kelapa. Dulunya pohon
kelapa tidak pernah tumbuh besar, apalagi berbuah. Kini pohon kelapa mulai
menunjukkan tanda-tanda mampu bertahan hingga tua. Haduh, tanda-tanda Takengon
semakin panas sudah menunjukkan gejala yang akut, ya.
Perubahan
iklim yang semakin merajelela bukan saja terjadi di Aceh Tengah yang membuat
kota kelahiran saya tidak dingin lagi. Akan tetapi seluruh Indonesia mengalami
hal yang sama. Sampai-sampai gerakan pecinta lingkungan harus turun tangan
untuk menyadarkan generasi milenial dan seterusnya untuk membuka mata bahwa
bumi harus ditempati oleh generasi selanjutnya.
0 Komentar