Berbagai cerita Seunapet masih viral dari mulut ke mulut. Di warung kopi, di ruang kuliah, dimana-mana slalu ada cerita si gadis berbaju pink. Cerita lain saya dengar dari teman sekelas saya. Dia tergabung di Unit Kegiatan Khusus (UKK) Sanggar Seni Seulawet. Aktivitasnya mengisi acara dengan menari dari satu acara ke acara lain mulai padat. Dia juga mulai dipercaya untuk menjadi penari di pesta pernikahan senior.
Satu
hari mereka menjadi penari penyambut linto
baroe (mempelai lelaki) di Bireun. Ada tiga mobil pribadi yang berangkat.
Mereka berangkat sore hari selepas maghrib. Perjalanan dari Banda Aceh
biasa-biasa saja. Mereka masih bercanda ini dan itu. Berlatih olah vokal sampai
bercerita ini dan itu.
Pada
pemberhentian makan di Sigli, mobil yang berpenumpang cowok semua bercerita.
Mobil mereka dihentikan oleh seorang cewek cantik berbaju pink. Mobil terus
melaju tanpa peduli. Supirnya pun tidak peduli. Langsung tancap tanpa bicara
apapun. Dia mahasiswa asal Pidie, sering mengendarai mobil pribadi pulang pergi
Pidie-Banda Aceh. Baginya kehadiran cewek itu malam-malam seorang diri bukan
cerita baru.
Sebagai
orang yang berpengalaman, dia membagi informasi dan tips untuk tetap selamat
hingga tujuan jika bertemu dengan gadis itu. Mereka yang mendengar tampaknya
tidak begitu peduli dengan berbagai cerita seram tentang gadis di jembatan
Seunapet itu. Termasuk teman saya yang akrab disapa Icut.
Sepulang
dari Bireun, pukul dua malam mereka tiba di Seunapet. Mobil yang dia tumpangi
berisi mahasiswa campuran. Ada lelaki dan perempuan. Icut duduk di jok depan.
Matanya belum terpejam, karena sampai jam dua pagi dia masih berbalas SMS
dengan pacarnya.
Sikap manusia juga akan mengundang kehadiran makhluk lain. [Photo: Pexels] |
Sekonyong-konyong
dia mendengar suara cekikikan yang membelah malam. Spontan matanya melihat ke
depan. Ada perempuan dengan berpakaian pink melintas cepat seperti terbang ke
arah mobil mereka. Seperti menabrak kaca depan mobil, tepat di depan Icut.
Icut
terkejut. Persendiannya lemas. Namun menit berikutnya justru teman cewek yang
duduk di belakang menjerit histeris. Dia menangis ketakutan dan meronta-ronta
seperti orang kesurupan. Mobil terus melaju melewati hutan Seulawah. Mobil
mereka baru berhenti di area perkempungan yang tidak sepi.
“Ada
cewek baju pink masuk ke dalam mobil dan dia mau mencekik aku,” kata teman
Icut. Antara percaya dan tidak percaya, mereka menenangkan teman mereka yang
ketakutan itu.
Dua
hari kemudian teman Icut sakit. Dia baru sembuh setelah dibawa ke tempat ‘orang
pintar’. Katanya dia diganggu oleh si cantik jembatan Seunapet.
Percaya?
Saya
masih percaya dan tidak. Menurut saya, mana mungkin hantu bisa nabrak mobil dan
mencekik orang di dalamnya. Sampai pada Agustus 2008, kami berkunjung ke
Takengon bertakziah. Ayah senior kami di KSR meninggal dunia. Sepulang dari
Sabang, kegiatan kami berlanjut ke Takengon.
Kami
menumpang truk Hyundai putih milik Palang Merah Indonesia (PMI), kendaraan
operasional kami keliling daerah di Aceh. Mulai dari kenduri hidup sampai
kenduri mati. Satu truk itu berisi relawan KSR yang tidak takut make up dihapus angin dan hujan. Langit
adalah atap kami, angin adalah AC kami. Sebegitu sederhananya bahagia kami para
relawan.
Usai
takziah dan bermalam di rumah senior, sempat pula berwisata ke Hotel Renggali.
Foto sana sini, kemudian pulang. Kebutulan rumah saya di lintas Takengon
Bireun. Mereka menyempatkan silaturahmi ke rumah saya. Ayah saya juga membekali
sekarung jeruk keprok khas Paya Tumpi untuk disantap di jalan.
Kami
menargetkan sampai di Banda Aceh sebelum tengah malam. Akan tetapi, kenyataan
berkata lain. Sopir yang juga relawan KSR menyempatkan singgah di Kuta Blang,
Bireun. Mengunjungi neneknya yang sudah renta. Akhirnya kami pulang setelah
makan malam di rumah nenek salah satu senior ini.
Sepanjang
perjalanan para senior yang duduk di belakang terus tertawa. Bercanda
berlebihan. Perjalanan malam membelah hutan sepanjang malam dipenuhi dengan
tawa lepas. Entah karena efek kenyang atau efek air nira yang sempat mereka
minum di hutan Bener Meriah.
Sampai
ketika tiba di jalan menurun menuju jembatan Seunapet. Tiba-tiba kepala saya
pusing. Bukan karena minum air nira atau kebanyakan makan. Saya duduk dan
memandang ke jalan lepas.
Pemandangan
yang sama seperti diceritakan oleh Icut terlihat. Seorang gadis cantik melesat
dengan tatapan marah ke arah truk yang kami tumpangi. Saya merinding dan
terkejut.
“Aaa!!”
saya terkejut dan terhempas beberapa puluh senti ke belakang.
Beberapa
senior terkejut. Mereka bertanya, “Kenapa, Fa?”
Saya
tidak ingat apa yang saya lakukan waktu itu, tapi semua tulang rasanya rontok.
Saya menunjuk ke luar truk dan pitam. Meskipun setengah sadar, saya tahu supir
truk keluar dan memarahi para senior yang membuat keributan tengah jalan.
“Kalian
memancing!” katanya marah. “Harusnya kalian sadar kalau tidak semua orang kuat.
Aku tahu dia sedikit-sedikit. Dia bisa melihat yang begituan. Kalau terjadi
musibah dengan kita bagaimana? Apa yang kita pertanggungjawabkan pada cabang?
Apa yang kita jawab pada keluarga mereka? Harusnya kalian para senior kasih
contoh yang baik pada adik-adik ini!”
Malam adalah kegelapan. [Photo: Pexels] |
Supir
masuk kembali ke balik kemudi dan membanting pintu mobil. Truk kembali melaju
membelah malam dengan kecepatan lebih kejam. Semua penumpang di bak truk diam.
Tidak ada lagi bersenda gurau.
Sayup-sayup
saya mendengar teman seangkatan di samping saya membaca Yasin. Dia bisa
menghapal QS. Yasin. Sepanjang dia membaca, sepanjang itu pula dia menguap
terus menerus. Saya juga mendengar beberapa teman lain membaca ayat kursi
dengan suara lirih. Mereka juga sama. Menguap dan tertidur.
Saat
saya bangun, sebagian dari mereka sudah tertidur. Hanya beberapa senior yang
bersuara keras masih terjaga dengan rokok terselip di bibir dan ponsel di
tangan. Antara merasa bersalah dan suasana hati mereka sudah kacau.
Bukan
kami saja yang mengalami pengalaman horor dalam perjalanan malam. Masih banyak
lagi. Bahkan ada yang tidak mengalami langsung, tapi mendapat cerita dari orang
lain yang mengalaminya.
Beberapa
bulan lalu, ayah mertua saya pula yang bercerita. Katanya ada rekannya yang
melakukan perjalanan dari Sigli ke Banda Aceh dengan mobil pick up. Di tengah
jalan di dekat Seunapet, seorang gadis muda berpakaian pink menghentikan mobil
mereka. Dia minta tumpangan untuk pulang. Tanpa curiga dia memberi tumpangan
pada gadis tersebut.
Gadis
itu naik di truk belakang pick up.
Mereka bahkan mengantarkannya ke rumah yang ditunjuk oleh si gadis. Saat
berhenti di sebuah warkop, supir pick up
menemukan jaket yang dikenakan oleh gadis itu tertinggal di bak pick up. Bermaksud mengembalikan jaket
tersebut, mereka kembali ke rumah si gadis untuk mengantar jaket.
Saat
melihat jaket tersebut, ibu si gadis langsung menangis, “ini memang jaket anak
saya, tapi anak saya sudah meninggal lama. Jasadnya belum ditemukan.”
Tamu
yang mengantar jaket ini langsung pucat. Cerita si cantik di jembatan Seunapet
baru terlintas di kepalanya. Sebelumnya, pikirannya tidak pernah terlintas. (B E R S A M B U N G).
0 Komentar