Peringkat Ke-38 Lomba Menulis Cerpen Ke-10 Tingkat Nasional yang Diselenggarakan Oleh Tulis.Me Pada 9 Agustus 2020-20 September 2020
Mata Emak selalu berkaca-kaca ketika melihat orang yang berpakaian putih, bererudung putih, mengalungkan tas leher dengan lambang bendera merah putih dan menarik sebuah koper dengan bendera yang sama. Biasanya Emak akan masuk ke kamar, mengelus-elus koper hitam tua dengan nama almarhum kakek di kamar. Koper itu bukan milik ayah dari Emak, tapi dari suami Emak, lelaki yang aku panggil Ayah.
Sejak Ayah meninggal
empat tahun lalu, tampaknya Emak tidak memiliki lagi keinginan untuk menempuh
perjalanan suci. Ya, perjalanan yang amat dirindukan oleh ummat muslim. Menuju
ke baitullah, rumah Allah. Mekkah dan
Madinah yang selalu digaungkan pada tiap nama dua orang anak perempuannya.
Aku dan adikku diberi
nama berkaitan dengan kedua kota suci itu. Diharapkan ketika kami besar nanti
bisa merindukan tanah haram itu lebih dari kami merindukan apapun. Rindu Mecca Almunawarah
dan Rindu Medina Almunawarah, itulah nama kami. Di tengah kehidupan orang
kampung, nama kami terlalu asing dengan gaya kebarat-baratan. Namun kami menyadari
nama itu tidak hanya doa dan harapan, tapi juga impian dari kedua orang tua
kami.
Seperti siang ini,
ketika seorang selebriti muncul di TV untuk mengirimkan orang tuanya ke tanah
suci, Emak seperti diingatkan kembali dengan mimpinya. Emak terenyuh melihat
air mata haru orang tua sang artis. Emak merasakan sesuatu yang hilang bersama
perginya Ayah untuk selamanya.
“Mak, kenapa?” Kutanya
ketika mendengar suara isak tangis Emak lirih di balik gorden kamar. “Mak, ada
yang salah? Apakah Emak baik-baik saja?”
Naik haji ke Baitullah, impian tiap muslim. [Photo: Pexels] |
“Tidak apa-apa. Hanya
ingat Ayahmu setiap melihat orang ke tanah suci. Sebelum meninggal, Ayahmu
berkata, kalau Emak ada rezeki, Emak harus pergi ke sana sendiri. Itu cita-cita
Ayahmu, nak.” Ungkap Emak. Untuk kesekian kalinya aku mendengar dari Emak
setiap ia menangis.
“Emak mau ke tanah suci
sekitar dua minggu untuk umrah?” Tanyaku.
“Siapa yang tidak mau?
Setiap muslim mempunyai impiannya, nak. Tapi untuk mewujudkannya itu tidak
mudah bagi orang seperti kita. Untuk makan saja susah. Bagaimana memimpikannya.
Biarlah Allah membawa kita dengan cara-Nya.”
“Tidak ada yang tidak
mungkin, Mak.” Aku berkata lirih. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku
pikirkan. Yakin tidak yakin.
Sejak perbincangan
dengan Emak itu, aku dan Medina selalu bekerja lebih keras dan menabung lebih deras.
Medina mempunyai skill lebih dari
yang aku miliki. Dia bisa membuat kue bermacam-macam, menjahit berbagai macam model
pakaian, dia juga ahli dalam mengolah makanan untuk jumlah yang banyak. Dia
menerima catering di sela-sela kuiah, terkadang juga menjahitkan pakaian
pesanan hingga larut malam menjelang pagi, dia mengerjakan apapun yang bisa
dikerjakan. Keahlianku hanya menulis, dan aku menulis lebih banyak. Mengirim ke
media-media dan menerima honornya langsung ke rekening yang kami buka atas nama
Emak untuk ke tanah suci. Hampir setahun, tabungan kami berdua cukup untuk memberangkatkan
Emak untuk umrah. Aku mendaftarkan Emak dan mendapatkan selembar tiket beserta
koper dengan lambang Indonesia dan travel
agent yang akan membawa Emak.
“Emak, ini tiket
keramat untuk naik pesawat terbang.” Medina yang keras hatinya aku suruh untuk
memberikan tiket kepada Emak. Jika aku yang memberikan, aku khawatir akan bercucuran
air mata.
“Untuk apa Emak naik
pesawat terbang? Emak tidak mau. Emak takut.” Kata Emak, membiarkan saja tiket
pesawat terbang dan sebuah paspor yang kami urus melalui agen perjalanan di
atas meja.
Medina menjelaskan
bahwa Emak sudah kami daftarkan untuk umrah agar keinginannya mengunjungi baitullah tercapai. Emak tidak percaya
dan terus menolak hingga kami berdua kehabisan akal untuk mejelaskan. Emak
tidak percaya aku dan Medina yang biasanya tidak akur bisa mengumpulkan uang
untuk perjalanan suci beliau.
Tiket dan paspor itu masih
tergeletak di atas meja. Emak tidak menyentuhnya sama sekali. Sampai akhirnya aku
melihat debu-debu menempel di sana. Emosiku meledak dan aku mencari Emak yang
baru menyelesaikan sholat Ashar.
“Emak, kenapa tidak
menghargai usaha kami sedikit pun?” Tanyaku.emak terkejut dan menatapku dengan
mata penuh dengan genangan Kristal cair. “Emak tahu bagaimana kami berusaha
untuk mewujudkan mimpi Emak? Aku dan Medina berdamai untuk tidak saling
membahas lelahnya kami. Itu semua untuk Emak.”
“Mecca, Emak tidak mau
kamu dan Medina bekerja sangat keras untuk selembar tiket itu. Emak tahu benar
bahwa kalian megeluarkan uang banyak. Simpanlah uang itu untuk kebutuhan
masing-masing.”
Kuceritakan pada Medina
tentang sikap Emak yang mengabaikan usaha kami. Kukatakan pada Emak bahwa aku
dan Medina sangat ikhlas dalam berusaha dan membelikan tiket umrah untuk Emak.
Waktu keberangkatan tinggal seminggu lagi. Emak harus segera ikut arahan dari
agen umrah yang kami daftarkan. Tapi Emak tidak berminat untuk menggapai
mimpinya.
Semakin hari Emak
semakin pendiam. Ia masih tidak menyentuh tiket keramat di atas TV. Berulang
kali kubujuk Emak agar segera mengambil tiketnya. Emak diam saja. Karena
kesabaranku sudah hilang, aku memaksa Medina untuk bicara dengan Emak.
Jawaban yang
disampaikan oleh Medina padaku cukup mengejutkan. Emak menyuruhku untuk
membatalkan keberangkatan dengan alasan Emak tidak sehat. Memang badan Emak
semakin mengurus. Aku tidak mau dengan alasan 10% dari biaya yang sudah
dikeluarkan akan hangus walaupun sisanya akan dikembalikan. Emak berkata itu
jauh lebih baik daripada Emak harus berangkat ke tanah suci untuk umrah dengan
agen.
Penuh rasa kesal aku
mendatangi agen, meminta pembatalan keberangkatan untuk Emak. Kupikir lebih
baik aku dan Medina kecewa dengan keputusan Emak. Daripada Emak murka kepada
kami dan kami menjadi malin kundang versi modern. Pihak agen marah-marah.
Mereka tidak bisa mengembalikan uang tiket. Uang tiket hangus. Selain itu
mereka juga memotong sepuluh persen dari uang akomodasi selama emak di tanah
suci. Atas kesepakatan bersama dan saran Medina yang lebih mendominasi, uang
itu tetap kami simpan di rekening Emak. Kami biarkan berbunga sampai Emak
berubah pikiran. Kami masih sepakat untuk menabung untuk emak naik haji.
Medina yang lebih santun
dan lembut berulang kali mengatakan agar Emak tidak sungkan-sungkan mengatakan
jika ingin umrah. Kami akan berusaha untuk memenuhinya. Emak diam saja.
Berbulan-bulan sampai peristiwa pembatalan umrah, Mak tidak banyak bicara
dengan kami. Sampai suatu hari Medina membawa selembar surat kabar lokal
bertiras besar kepadaku.
“Kak, tahukah kau bahwa
Emak punya firasat kuat? Tapi beliau tidak tahu cara mengungkapkan pada kita.”
Katanya. Telunjuknya menunjuk sebuah berita utama di koran berjudul ‘Penipuan Travel Umrah Azizi Terungkap’.
Tanganku gemetar. Di
sana tertulis, setiap calon jamaah mengalami kerugian hampir 20 juta. Sementara
kami hanya mengalami kerugian hampir setengahnya karena pembatalan yang aku lakukan.
Terbayang olehku jika Emak tidak meminta untuk membatalkan. Tentu saja kami
rugi penuh.
Setelah kejadian itu,
Emak mulai sehat kembali. Emak sehat walafiat. Ia makan dengan lahap, ia terus
tertawa dan senang bercanda. Emak tidak sekalipun membahas masalah naik haji
atau umrah. Meskpiun sering kali kami memergoki emak sedang menangis memeluk
koper.
Kini kami paham, Emak
bukan menolak kebaikan Mecca dan Medina-nya. Emak hanya ingin melewati dengan
jalan yang ia rindukan. Jalan yang tidak kami tawarkan, tapi dia sendiri yang
memintanya.
*
0 Komentar