Artikel ini dipublikasikan di rubrik Citizen Reporter Harian Serambi Indonesia pada tanggal 13 Oktober 2013
-o0o-
Ketika
pertama kali ke China pada tahun 2012, saya mendapat nama Kai Li Na dari
seorang laoshi. Nama itu diambil dari
kata Khairina, nama belakang saya. Saya tak tahu apa artinya. Bagus atau tidak,
saya pun tidak tahu.
Namun,
nama asli saya tidak dipanggil lagi di kampus Communication University of China (CUC). Para laoshi memanggil saya Kai Li Na. Dua teman Indonesia saya masih
memanggil saya dengan nama Ulfa, juga teman-teman saya yang muslim. Namun teman-teman
dari Afrika, Korea, Eropa, AS dan sebagian Asia memanggil saya dengan nama
Olivia.
Beijing, kota multikultural. [Photo: Pexels] |
Entah
bagaimana awalnya, perubahan dari Ulfa menjadi Olivia terjadi begitu saja di
sebuah meja makan saat acara Chinese
Corner Multicultural. Saat perkenalan dilakukan dalam bahasa Inggris atau
bahasa Mandarin. Sebagian besar yang hadir adalah orang-orang dari belahan
Eropa dan Amerika. Tiba-tiba saja mereka sudah memanggil dengan kata Olivia. “Nama
baru’ saya itu juga menyebar di kalangan mahasiswa Korea yang jumlahnya cukup
besar di Chuanmei.
Pernah
suatu hari saya baru keluar dari lift di lantai enam asrama. Dengan santainya
saya sibuk mengirim SMS untuk seorang teman. Sebuah suara nyaring menyapa, “Olivia, ni hao.” Dia seorang mahasiswa
jurusan Advertising. Dia dan
teman-temannya dari Busan sedang memasang lemari rakitan di ujung lorong. Saya tidak
sadar sedang disapa.
Dengan
santainya saya balas menyapa mereka, bukan menjawab sapaan. Tiba-tiba mereka
terbengong dan saling melirik bergantian. Ketika saya hendak masuk ke kamar
teman, dia bertanya, “ni shi Olivia, dui
ma?” yang artinya, “kamu Olivia, benar kan?”
Mulanya
saya terbengong. Untungnya saya cepat menguasai situasi waktu itu. bayangan
saya langsung menjelajah pada malam Mandarin
Corner yang mengubah nama saya secara drastis. Ulfa menjadi Olivia.
Semua obrolan bisa bermula di meja makan. [Photo: Pexels] |
Dengan
rasa bersalah dan tidak enak, saya menjawab, “dui! Dui! Dui!” yang artinya, “benar! Benar! Benar!”kemudian menambahkan
lagi, “Maaf, saya tidak terlalu mendengar panggilan kalian.”
Mereka
tersenyum tidak enak. Tapi mengatakan tidak apa-apa. Mahasiswa Korea yang
berkuliah di Beijing masih memegang etika dan tata krama berinteraksi tinggi
dengan lingkungannya. Meskipun mereka kerap membuat pesta, minum soju sampai
mabuk, bergerombol dengan sebangsanya, mereka masih tetap ramah dan hormat pada
orang asing.
Ketika
bebricara dengan mereka, hal yang pertama ditanyakan adalah umur. Hal ini untuk
membedakan cara mereka berbicara. Bertemu dimana saja, mereka akan menyapa
duluan dengan sangat sopan.
Malamnya
Hye Jin, gadis Korea yang menyapa saya, bercerita pada Eveline, teman
sekamarnya. Dia merasa tidak enak karena tidak bisa mengingat nama Mandarin dan
nama Indonesia saya. Ia merasa sangat bersalah. Bukan hanya Hye Jin, temannya
yang lain juga. Itu karena saya tidak berpaling ketika disapa.
Setelah mendengar cerita Eveline tentang Hye Jin, teman sekamarnya, saya berusaha mengingat bahwa sekarang saya punya nama: Ulfa, Kai Li Na, dan Olivia. Selanjutnya saya berusaha mengingat, setiap ada seseorang yang menyapa di jalan dengan sapaan “Hai Olivia” atau “Olivia nihao”, semua sapaan itu berarti tertuju pada saya. Saya tak boleh cuek lagi.
Dari
kejadian nama tersebut, saya ingat kalimat seorang teman ketika di bangku
Aliyah. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Dengan siapa kita
bicara, dari dia pula kita mendapat nama atau julukan yang berbeda.”
Kalimat
itu keluar dari teman saya karena mengeluh guru khat saya selalu salah
memanggil nama. Beliau tidak menyebut saya Ulfa, tapi Eva. Sehingga semua orang
di sekeliling saya memanggil Eva. Sementara saya lebih suka dipanggil Ulfa. Sungguh.
-o0o-
Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh, mahasiswa program master di jurusan International Journalism di
Communication University of China, melaporkan dari Beijing.
0 Komentar