Dipublikasikan di rubrik Citizen Reporter harian Serambi Indonesia pada tanggal 30 September 2013
-o0o-
Beijing Capital International Airport [Photo: Search by Google] |
MENUMPANG
pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur,
saya tiba di Beijing Capital
International Airport pada 3 Septemner 2013 dini hari. Saya datang sendiri,
tak ada yang menjemput di bandara.
Karena
terlalu dini tiba di Beijing, saya memilih duduk manis di kursi yang tersedia.
Di samping saya seorang gadis berwajah khas Chinese
tersenyum. Saya beranikan menyapa. Saya berharap dia salah seorang
mahasiswa yang akan berkuliah di kampus yang akan saya tuju.
Ternyata
dia orang Indonesia yang tur dua minggu bersama keluarganya. Gadis itu
memperkenalkan dirinya dengan nama Ai Ai. Ibu dan kakaknya sedang mencari SIM Card untuk menghubungi teman ibunya
di Beijing. Ketika mereka kembali Ai Ai memperkenalkan saya pada keluarganya.
Keempatnya langsung mengebrubungi saya dan berpikir saya sudah lama di Beijing.
Begitu saya mengatakan ini pertama kalinya, si ibu langsung menasehati saya
banyak hal.
“Jangan
lupa makan teratur, hati-hati selama tinggal di negara orang. Kabari ke Indo
begitu kamu pakai nomor Cina. Kamu cari orang Indo sampai di kampus,” begitu
pesan ibu Ai Ai. Orang-orang Indonesia di sini punya kebiasaan menyingkat kata
Indonesia menjadi Indo.
Saat
Ai Ai dan keluarganya pergi, saya tak sendiri. Dua orang warga Malaysia
mendatangi saya karena berjilbab. Dia tanyakan makanan halal pada saya. Karena
tidak bisa banyak membantu, saya hanya berikan catatan dengan tulisan qing zhen cai yang artinya halal.
Sekitar
satu jam lebih mereka mutar-mutar di bandara mencari makanan. Seorang mahasiswa
Beijing Foreign Studies University menghampiri
saya dengan senyum lebar. Dia baru tiba dari Kazastan. Dia perlihatkan paspor
merah tua dengan kebangsaan Rusia. Di sana tertulis namanya, Artem Tsoy. Saya
pikir dia keturunan Cina di Rusia dan pindah ke Kazastan karena kebijakan
negaranya yang tak menerima orang Asia. Ternyata dia berwarga negara Korea dan
lahir di Rusia. Ia cukup ramah, malah tergolong suka bercerita. Ia juga
menginformasikan lokasi komunitas orang Indonesia di Beijing.
Semua
berjalan baik-baik saja selama berada di dalam bandara. Orang-orang yang saya
temui cukup bersahabat. Dua warga Malaysia yang menuntut ilmu di United Kingdom dan berjalan-jalan di
Beijing mau menjagai koper selama saya tinggalkan beberapa saat. Beberapa orang
juga memberikan informasi tentang kampus yang saya tuju. Mahasiswa Rusia malah
menawarkan diri mengantar ke kampus saya, tapi saya tolak karena takut. Dia
peringatkan saya akan ongkos taksi yang harus saya bayar, kemudian apa yang
harus saya lakukan setiba di kampus. Sebagai gantinya, dia beri saya secarik
kertas berisi langkah-langkah yang harus saya lakukan setiba di kampus.
Bandara internasional Beijing [Photo: Search by Google] |
Begitu
pagi mulai terang, saya mulai mencari dan menawar taksi. Tak satu pun sesuai
dengan informasi yang saya kumpulkan. Karena takut terlambat mendaftar ulang
dan sudah ingin beristirahat di asrama, saya terpaksa naik taksi dengan tarif
yang sangat mahal. Nyaris 600 ribu dalam rupiah, padahal jaraknya tak begitu
jauh.
Orang-orang
yang saya tanyai di kampus tidak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Mandarin mereka
tak bisa saya mengerti. Saya mulai tertekan. Saya putuskan tetap menggunakan
bahasa Inggris walaupun kacau. Akhirnya lelaki separuh baya asal Pakistan yang
sudah lebih dulu kuliah di Communication
University of China (CUC) membantu saya ke tempat pendaftaran.
Begitu
pendaftaran dibuka, saya cari-cari wajah Indonesia. Berbagai bangsa, berbagai
bahasa, semua menyatu dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Saya pilih titik aman
dengan bahasa Inggris. Jik sudah mentok dan lawan bicara tidak paham, baru saya
berbahasa Mandarin.
Awalnya
saya berpikir homesick hanya
menyerang setelah beberapa bulan. Ternyata tidak! Baru beberapa jam saja di
Beijing saya sudah merindukan segala hal tentang Aceh. Penduduknya yang ramah,
berbudaya, dan makanan yang enak-enak. Apapun yang saya inginkan mudah saya
dapatkan meski dengan sedikit perjuangan. Berbeda dengan di Beijing. Fasilitas
yang disediakan serba mewah, tapi saya selalu dalam keadaan was-was dalam
menggunakannya.
Pada
hari ketiga, orientasi dilakukan di aula. Sepanjang perjalanan dari asrama menuju
gedung yang berjarak lumayan jauh, saya
berkenalan dengan mahasiswa asal Amerika Serikat. Dia mengambil jurusan TV Broadcasting yang banyak diincar oleh
mahasiswa asal AS dan Afrika.
Di
aula, saya duduk di samping gadis muda bermata sipit. Dia lebih dulu menanyakan
nama saya. Ketika saya sebut nama, dia langsung berteriak girang dan menebak
saya dari Indonesia. Benar kata orang, jika sudah bertemu dengan warga
sebangsa, bahasa ibu menjadi pilihan. Sampai hari ini hanya dia dan seorang
gadis 17 tahun yang saya ketahui berasal dari Indonesia. Dalam satu minggu saja
saya akui bahwa bahasa Inggris penting, tapi bahasa lokal jauh lebih penting
kemana pun kaki melangkah. Selama bahasa masih ada di permukaan bumi, tetap
saja bahasa lokal harus dikuasai walau sedikit.
-o0o-
Mahasiswa Master’s degree jurusan
International Journalism di Communication University of China, melaporkan dari
Beijing.
0 Komentar