Pernahkah kalian diusir bapak kos di hari yudisium? Saat kebaya belum berganti, make up masih on di wajah, bulu mata anti badai juga belum dicabut?
Aku pernah. Kejadiannya
terjadi begitu saja, tanpa aku mengerti mengapa dan tidak lagi aku tanyakan
alasannya. Bapak kosku yang pendiam dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik
itu tiba-tiba menghadang langkahku yang susah payah mengeluarkan kaki lecet dari
heels murahan hasil jelajah Pasaraya.
Kakiku baru keluar sebelah kiri saat suaranya seperti ketakutan memanggilku.
“Va,” katanya. Dia tidak
melihatku, justru memandang kakiku yang mulai berdarah-darah. “Kamu tidak perlu
memperpanjang sewa kamar lagi, ya. Kamu sudah selesai kuliah.”
Jantungku nyaris copot
melewati kebaya ngepas yang aku pakai saat mendengar kalimat tersebut. Aku
tidak membantah, tapi aku mengangguk tanda setuju. Saat masuk ke rumah, tulangku
rasanya mau copot. Sialnya, teman-teman satu kos ternyata sedang berkumpul di
dapur sambil ngerujak.
“Kak Naeva, kamu diusir?”
Nova yang menyadari apa yang terjadi bertanya penuh kekagetan. Padahal dia tidak
perlu bertanya karena sudah tahu jawabannya apa. Aku mengangguk saja, naik ke
lantai dua, ke kamarku. Tanpa membuka kebaya, aku merebahkan diri di atas
kasur. Masih bisa kudengar desas desus temanku berbicara tentang nasibku dan
cara bapak kos mengusirku dengan tidak elegan.
Ya, kosku memang
dipawangi oleh bapak kos. Bukan ibu kos. Jangan pikir bapak kos lebih tolerir.
Bapak kos ini jelas lebih kejam dari jenis ibu kos manapun yang ada di muka
bumi. Bukan saja lebih kejam dari ibu tiri, tapi juga lebih sadis dari vampir.
Bedanya vampir menghisap darah, bapak kos menghisap isi dompet kami tanpa ampun
dengan cara menaikkan iuran kos tiap tahun.
Kamar kos yang nyaman adalah impian semua orang. [Photo: Pexels] |
Esoknya aku mulai sibuk
mencari kos baru. Tidak mudah mencari kamar kos untuk status yang bukan lagi
mahasiswa, walaupun aku belum wisuda. Pasalnya aku tidak berniat pulang
kampung, karena sudah mendapatkan pekerjaan sebelum yudisium. Aku akan menetap
di kota ini untuk waktu yang belum ditentukan. Sialnya, aku diusir dengan
alasan sudah selesai kuliah. Walaupun sisaku di kos ini masih ada sebulan lagi.
Waktu sebulan untuk
pencarian kos bukanlah hal mudah. Waktu berjalan rasanya sangat cepat.
Sementara kamar kos baru belum aku dapatkan. Ada kos elit di dekat kos lama.
Lokasi strategis dan lumayan bebas. Akan tetapi penghuninya rata-rata anak-anak
berduit atau simpanan pejabat. Aku tidak mau ambil resiko mengorbankan perasaan
dan uang untuk ngekos di sana. Aku tetap mencari kos normal. Tak perlu bagus,
asal bersih dan nyaman sudah cukup bagiku.
Teman-teman menyarankan
aku untuk menyewa rumah di komplek, rumah KPR yang disewakan pemiliknya.
Harganya lumayan, kurang terjangkau bagiku. Lagipula akses transportasi susah.
Jika tidak memiliki kendaraan pribadi akan sangat sulit. Aku menolak. Sampai
akhirnya saat menikmati mie instan, Mak Beth, si pemilik warung rumahan itu
memberi informasi berharga padaku.
“Rumah kos di sebelah ini
disewakan, Va. Coba lihat dulu, tapi jangan katakan kalau kamu sudah selesai
kuliah. Bilang saja masih kuliah, ya. kalau sudah selesai, biasanya tidak
diberikan izin untuk ngekos di situ,” kata Mak Beth memberi saran.
Aku mengikuti saran Mak
Beth, ditambah lagi teman kampusku yang pernah tinggal di kos itu juga
menyampaikan hal yang sama dengan Mak Beth. Jangan katakan sudah selesai
kuliah. Katakan belum lulus.
Setelah wisuda mencari kos lebih sulit. [Photo: Pexels] |
Informasi berguna ini aku
sampaikan pada Kak Elsa, adik pemilik kos yang tinggal di lantai bawah. Aku
diterima di kos yang hanya berjarak beberapa meter dari kos lama. Pindahan
barang pun dibantu oleh seluruh anak kos lama. Mereka aku bebaskan menginap
atau berkunjung ke kos baruku tanpa batas jam kedatangan.
Semua aman-aman saja. Aku
menyiapkan segalanya di kos baru. Aktivitasku sebagai mahasiswa juga masih
terlihat karena banyak teman-teman yang berdiskusi skripsi padaku. Aku jarang
di rumah, karena pekerjaan lapangan menuntutku keluar daerah setiap saat.
Seminggu di rumah memang aku habiskan untuk berberes. Mencuci pakaian sampai menyetrika.
Terkadang aku menghabiskan waktu untuk tidur seharian.
Beberapa bulan di kos
baru, kos sepi karena anak-anak kos mudik lebaran. Termasuk ibu kos, tapi bapak
kos tidak. Aku tiba ke kos lebih awal dari teman-teman lainnya. Aku
membersihkan ini dan itu sepeninggal beberapa hari ke kampung. Saat itulah aku
merasa ada yang janggal di kos kami.
Dapur anak kos dengan
dapur ibu kos terletak di lantai satu dan hanya dibatasi dengan triplek. Aku
merasa ada yang mengamatiku dari rumah sebelah. Gelap memang, tapi aku bisa
merasakan ada orang tak diundang di sana. Awalnya aku diam. Namun setiap aku
beraktivitas di bawah, aku selalu merasakan ada sepasang mata yang mengamati.
Berulang kali begitu.
Hantu? Bukan. Aku yakin
bukan hantu meskipun di kos kami memang aku yakini ada mahkluk lain yang
menghuni. Aku tahu itu. Kali ini sesuatu yang hanya bisa dilumpuhkan dengan
kaki kursi, bukan ayat kursi. Sambil menaiki tangga ke lantai dua, aku
menghantam dinding triplek dengan bangku kecil.
Hantu adalah cerita paling mainstream di kos-kosan. [Photo: Pexels] |
“Anjing!” kudengar suara
makian tertahan di sebelah. Bahkan ada suara berdesah-desah kesakitan. Saat itu
aku yakin sekali, rumah bawah ibu kos tidak kosong. Sepasang mata dalam gelap
yang mengintai melalui celah triplek memang milik manusia.
Seperti yang aku
butuhkan, saat menikmati mie instan di sebelah kos Mak Beth justru bercerita
tentang kejadian anak kos sebelumnya. Mereka diusir dari kos karena salah satu
dari mereka main serong dengan bapak kos. Mak beth menyalahkan si anak kos dan
juga bapak kos yang pengangguran.
Mak Beth pernah memergoki
si anak kos keluar dari celah dinding triplek yang lebar dengan pakaian tidak
pantas. Tepat ketika ibu kos sedang bekerja. Ibu kos kami bekerja sebagai PNS
di Dinas Pertambangan, sedangkan bapak kos kerja serabutan. Seringnya di rumah
saja sambil telepon sana sini. Terkadang dengan perempuan, terkadang dengan
calon klien. Aku tahu beliau bertelepon dengan siapa dari cara dia berbicara.
Ibu kos kami yang
sebenarnya bukanlah yang tinggal di rumah sebelah dan suaminya tukang ngintip
anak kos yang masih ranum-ranum itu. Ibu kos kami berada di luar daerah. Identitasku
hampir terbongkar ketika dia melakukan sidak ke lantai dua tanpa salam. Dia
memperkenalkan diri sebagai adik Kak Elsa, orang yang selama ini kami anggap
ibu kos. Setelah mengecek ini dan itu, baru dia memperkenalkan diri sebagai ibu
kos. Untung aku sudah mengganti blazer kerja dengan piyama rumah.
Setelah sidak itu, ada
yang aneh dengan rumah kami. Tarif listrik kami mendadak naik. Setiap bulan kami
harus membayar lebih seratus ribu untuk listrik. Adik-adik kos yang masih
mahasiswa mulai protes. Mereka memutuskan pindah. Sedangkan aku memutuskan
bertahan. Tidak mudah untukku mencari kos, selain bertahan apa yang bisa aku
lakukan dengan modal pas-pasan.
Sama seperti sebelumnya, aku menghabiskan waktu di luar rumah. Bekerja dan ikut kursus ini itu. Keanehan baru terjadi. Kali ini bukan lagi soal bapak kos yang tukang ngintip. Si bapak sudah diusir oleh ibu kos asli karena ketahuan menyelundupkan perempuan dan terciduk sedang mantap-mantap.
Aku tidak tahu bagaimana
nasib Kak Elsa dan suaminya. Sejak itu, Kak Elsa lebih suka mengurung diri di
rumah sepulang kerja. Sementara suaminya sudah pulang ke Pulau Jawa dan membawa
serta anak laki-laki tunggal mereka. Kak Elsa juga lebih pemurung.
Kos kami kedatangan
penghuni baru. Adik kakak yang sedang melanjutkan kuliah. Si adik masih kuliah
S1 di Pendidikan Ekonomi, sedangkan kakaknya S2 Pendidikan Biologi. Keduanya
menghabiskan waktu dengan belajar, kampus, dan pacaran. Hima dan Nova, keduanya
adalah adik kosku dari kos sebelumnya.
Sepulang dari perjalanan
ke daerah, aku menemukan rumah seperti kapal pecah. Buku berserakan, pakaian
bersih ditumpuk begitu saja. Pakaian kotor tercampak di sana sini. Aku kaget dan
langsung masuk ke kamar karena kondisi ini. Ingin membersihkan, tapi takut
keduanya tersinggung. Kubiarkan begitu saja, tapi aku tidak sanggup melihat
ketidakteraturan. Setelah berdebat dengan pikiranku sendiri, kuputuskan untuk
mengunci diri di kamar. Mengerjakan apa yang bisa aku lakukan di dalam sana.
Berhari-hari rumah tidak
dibersihkan. Sampai suatu pagi, ada yang menyapu di waktu yang sangat pagi.
Tumben rajin sekali dua kakak beradik ini, pikirku. Pukul tujuh pagi, aku
keluar dari kamar dan melihat masih banyak sampah berserakan. Mulai dari
bungkusan makanan ringan sampai bungkus nasi. Bahkan kemasan pembalut juga
tercecer di sana.
Suara orang menyapu terus
terjadi setiap pagi. Aku mulai menyangsikan pendengaranku. Apa hanya aku yang
mendengar atau mereka juga mendengar hal yang sama. Mengingat di rumah hanya
kami bertiga. Kutanyakan perihal nyapu pagi-pagi ini pada mereka.
“Nggak tahu, kak. Aku jam
segitu lagi enak-enaknya bobok. Kalau Tuan Putri Nova dan Hima lagi bobok
cantik, semuanya tidak terdengar lagi, Kak.” Komentar Nova memberi jawaban yang
pasti padaku. Hanya aku yang mendengar.
Hal ganjil lain terjadi
di malam hari. Setiap malam antara pukul sebelas malam sampai jam dua pagi,
suara lain terdengar. Ada orang naik turun tangga. Awalnya kupikir salah satu
dari kakak beradik ini diare, sehingga mengharuskan ke kamar mandi tiap saat.
Setelah lewat tiga malam masih terdengar, mulailah aku curiga ke hal-hal lain.
Keberanianku patut
diberikan penghargaan. Meski takut, aku nekat ke tangga yang lampunya selalu
putus setelah beberapa hari dipasang. Akhirnya kami tidak lagi memasang lampu
di tangga. Dalam kegelapan, aku menunggu siapa yang naik turun tangga. Meskipun
sudah kutebak bukan manusia biasa, aku hanya ingin tahu siapa.
Selalu ada alasan makhluk tak kasat mata menampakkan diri. [Photo: Pexels] |
Tidak ada yang terlihat.
Namun suara itu terus mengganggu. Subuh dengan si tukang bersih-bersih di ruang
tamu. Malam dengan orang naik turun tangga. Kehororanku belum selesai sampai di
sini. Temannya Hima menginap di rumah sekitar seminggu lebih. Dia selalu mandi
saat menjelang maghrib. Saat sedang berasoi-asoi dengan busa mandi mewah.
Seseorang menyiram punggungnya.
Dia berteriak dan berlari tanpa
handuk ke atas sambil menangis. Malam itu juga dia langsung keluar
dari kos kami dijemput pacarnya. Meskipun takut, kami bersyukur dia keluar dari
kos. Caranya bersikap di kos kami sudah keterlaluan. Dia lupa akan statusnya
sebagai penumpang gelap.
Beberapa waktu
setelahnya, Hima jatuh dari tangga. Katanya seperti ada yang menarik kakinya
saat naik tangga. Dia jatuh dan terkilir. Berdua dengan Nova kami membawanya ke
tukang urut kampung.
Si nenek berusia 107
tahun itu menatapku dengan tajam. Dia bertanya, “apa kamu mendengar orang
menyapu setiap pagi di rumah?”
Aku mengangguk. Jantungku
mulai berpacu kencang. Si nenek bertanya lagi, “apa kamu mendengar orang naik
tangga setiap malam?”
Aku mengangguk lagi.
Nenek itu tersenyum. Lantas menjelaskan, “di rumah itu ada seorang ibu dan
anak. Anaknya berusia setahun dan selalu minta main di tangga. Si ibu melalaikan
anaknya dengan naik turun tangga agar anaknya tidak menangis.”
Wajah kami bertiga
memucat. Hima nekat bertanya, “bagaimana mereka bisa meninggal dan berada di
sana, Nek?”
“Dia jatuh di tangga saat
membawa anaknya ke atas. Ada seseorang yang berhati licik menarik kakinya. Dia
dan anaknya meninggal.”
Aku bisa merasakan bulu
kudukku berdiri. Si nenek menenangkan dengan berkata padaku, “kamu tidak perlu
khawatir. Baca tiga kul sebanyak tujuh kali sambil naik turun tangga. Kemudian
ayat kursi tujuh kali juga. Setelah selesai katakan begini, kami hanya
menumpang tinggal di sini. Jangan ganggu kami. Kami tidak akan mengganggu
kalian.”
Bertiga kami mengangguk
serempak. Si nenek menatap Nova dan Hima bergantian, “kalian harus menjaga
kebersihan. Kebersihan sebagian dari iman. Jika kalian tidak menjaga kebersihan,
akan banyak lagi yang akan datang mengganggu.”
Keduanya mengangguk
serempak. Sejak itu pula rumah tidak pernah berantakan. Bersih sekali. keduanya
benar-benar menjaga kebersihan rumah. Suara orang menyapu tidak terdengar lagi.
Ibu dan anak yang naik turun tangga juga tidak terdengar lagi. Akan tetapi
keanehan terjadi suatu malam saat aku akan ke kamar mandi. Dari ujung tangga
atas, aku melihat seorang perempuan muda sedang memomong anaknya di ujung
tangga bawah.
Aku turun tanpa rasa takut.
Sebelum aku menjangkaunya, keduanya sudah menghilang dari penglihatanku. Dia sangat
muda dan bisa aku rasakan kecantikannya.
Beberapa bulan kemudian Nova dan Hima memutuskan pindah. Nova sudah bertunangan.
Di sinilah petakaku
terjadi. Ibu kos meneleponku. Dia mengusirku, “kamu sudah membohongi kami
selama dua tahun, Va. Kami tidak menerima orang yang bukan mahasiswa. Kamu
berbohong mengatakan masih mahasiswa. Kamu harus keluar dari rumah kami
segera!”
Aku mencoba menjelaskan.
Aku berstatus mahasiswa pra pasca sarjana dan sederet alasan lainnya. Ibu kos
sepertinya tidak mau mendengarkan aku. Aku berkemas dan memilih pulang kampung.
Lagipula kontrak kerjaku sudah berakhir dan belum tentu diperpanjang.
Kesedihanku terjawab
berkah. Aku lulus beasiswa ke negeri seberang. Semua fasilitas ditanggung,
termasuk tempat tinggal. Aku langsung angkat kaki tanpa permisi. Beberapa barang yang kemungkinan tidak akan aku pakai sekaligus berisiko perjalanan jauh juga aku tinggal. Sepatu, sandal, piring hadiah deterjen, dan beberapa gelas. Semuanya aku tinggal. Warisan untuk penghuni selanjutnya.
22 Komentar
Keren kak Ulfaa...
BalasHapusMakasih
HapusYa ampun, berliku-liku banget nasib jadi anak kos, ya, sampai diusir-usir segala. Tapi semua dinamikanya berbuah manis dengan undangan beasiswa dari luar negeri sampai akhirnya ga usah ngekos lagi, ya
BalasHapusIya, Pak Yonal. Alhamdulillah endingnya manis. Memang benar kata orang, "jangan mengeluh. Karena ada hikmah yang tidak kita ketahui di depan."
HapusTapi mba Ulfa belum kenalan sama ibu dan anak yang suka datang itu hehe...yaa udah keburu pergi deh..
BalasHapusIya, Mbak. Belum sempat ngobrol dan tanya kenapa. Ntar ini ada penjelasannya di cerbung. Keep reading ya, Mbak.
HapusYa ampun kebayang sih betapa kagetnya tiba-tiba di usir dari kosan di hari yang sangat istimewa. Bahkan rebahan pun belum ya, wkwk.
BalasHapusKejam banget itu Bapak Kos. Wkwkwkw
HapusKejam banget itu Bapak Kos. Wkwkwkw
HapusMbak ini fiksi atau nyata sih? Aku larut dalam ceritanya, agak merinding nih apalagi bacanya malam pula, ada kelanjutannya ga?
BalasHapusNyata yang dibalut fiksi, Mbak. Nyata dengan segala masalahnya. Fiksi dari namanya.
HapusYa Allah, diusir-usir dari kost nyesek banget, Kak. Tapi Allah ganti dengan hal-hal yang lebih baik yaa. Aku suka endingnya. Sukses terus, Kak 😍😍
BalasHapusInsyaallah. Doakan terus selalu terbaik, Mbak.
HapusBaca dari cerita, sepertinya ada penjelasan lain tentang ibu dan anak, ditunggu, loh.
BalasHapusGa bisa bayangin gimana campur aduk rasa dan emosi waktu diusir, aku pernah nunggak kosan pun Alhamdulillah ga sampai diusir, cuma ibu kosannya nanya kenapa dan mau dibayar kapan
Ada, Kak. ceritanya ada di Blue Window nantinya.
HapusYang jadi pertanyaanku, kenapa yang ngekos harus mahasiswa mbak? Apa ada harga khusus bagi mahasiswa? di tempatkku, kalau kos nggak bakal ditanya apa statusnya, yang penting mampu bayar aja. Aku baru kali ini tahu ada aturan begini. Tapi, semuanya berujung berkah ya mbak..meski akhirnya ketahuan juga, kalau aku sih udah lama kutinggal kos angker gitu. Mbak berani juga hahaha
BalasHapusKarena tinggalnya di komplek lingkar kampus. Sejenis ada perjanjian di masa lalu antara yang memberi tanah wakaf dengan pemilik kos, Kak. Jelasnya nggak ngerti juga.
HapusHahaha... Aku juga nggak ngerti juga kenapa.
BalasHapusFeeling-ku ini pengalaman Kak Ulfa, he-he, apalagi bagian dapat beasiswa ke negeri seberangnya. Wah, ternyata Kak Ulfa pemberani, bisa bertahan menghadapi makhluk-makhluk tak kasatmata.
BalasHapusIya, Kak. Ini ceritaku. Aku juga nggak punya pilihan lain. Hahahaha
Hapuswah ngeri ngeri sedap klo pengalamannya sama hantu. Saya baru tahu je, klo memang nggak mahasiswa nggak boleh ngekost, mmg ada syaratnya gitu ya harus mahasiswa?
BalasHapusLebih baik sama hantu daripada sama manusia berhati berwujud hantu, Mbak. Ada, sih, terutama kos yang yang memang ddasar tanahnya tanah wakaf atau hibah. Niatnya ya memang buat mahasiswa, Mbak.
Hapus