Eat, Pray, Love adalah sebuah film yang diadaptasi dari
novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert. Novel bergenre romantis dan
spiritual ini bercerita tentang seorang penulis yang mencari makna hidup untuk
membebaskan dirinya setelah perceraian di tiga negara, yaitu Italia, India dan
Indonesia. Novel ini diadaptasi ke film oleh Columbia Pitures dengan sutradara
Ryan Murphy, kemudian dirilis pada 13 Agustus 2010.
Pada
tahun yang sama, saya menonton film ini untuk pertama kalinya karena pemeran
utama diperankan oleh Julia Roberts. Teman saya adalah fans Julia Roberts.
Apapun peran yang dilakoni oleh Julia Roberts selalu bagus di matanya. Itu
adalah alasannya menonton film Eat, Pray,
Love.
Cover novel Eat Pray Love [Photo: Search by Image] |
Sebagai
penggila novel dan tidak terlalu menyukai nonton film, saya memutuskan untuk menonton
film ini karena tiga alasan. Alasan pertama, adaptasi dari novel ke film. Saya
suka sekali melakukan perbandingan keduanya. Suka melihat ketidaksamaan
kemudian berkomentar atas film dan buku tersebut. Itu juga karena pemahaman
saya tentang studi perfilman sangat rendah, apalagi soal film adaptasi.
Kedua,
karena film ini mengangkat tentang Indonesia. Sebelum film ini rilis di bioskop
Indonesia, kehebohannya sudah mengalahkan informasi saya bisa wisuda pada
semester genap. Saya memiliki kisah panjang untuk meraih gelar sarjana, topik
ini akan dibahas pada edisi khusus.
Intinya
saya penasaran tentang Indonesia yang digambarkan oleh Elizabeth Gilbert dan
diperankan oleh Julia Roberts ini. Seperti sudah tertebak, berbicara Indonesia
di mata orang asing selalu berbicara tentang Bali. Film ini memang
membuktikannya.
Ketiga,
karena teman saya bernama Rizki Maulida selalu membicarakan Julia Robert.
Akhirnya saya menonton film ini dengan suka cita. Saya pun lupa dari mana saya
mendapatan kopian film ini. Bukan dari teman saya ini. Dari orang lain yang
entah siapa namanya.
Julia Robert dalam film Eat Pray Love. [Photo: Search by image] |
Secara
film memang memuaskan sekali. film ini membawa saya ikut berjelajah melintasi
Italia. Saya baru tahu bahwa ketika berbicara dalam Bahasa Italia, Bahasa
verbal dan non verbal harus ikut dilibatkan sekaligus. Berbicara tentang Italia
juga berbicara makan enak dan tempat nongkrong. Inilah referensi standar saya
tentang Italia.
Ketika
si penulis menuju ke India, hal yang paling dekat untuk dipahami adalah soal budaya.
Khususnya budaya yang menekan kaum perempuan untuk menikah cepat dan
mengerjakan urusan dapur, sumur, Kasur. Perempuan yang berpendidikan tidak
dipertimbangkan sama sekali. Apakah itu memang sudah terjadi sejak dulu hingga
sekarang, ataupun dunia sudah berubah.
Berbicara
tentang India selalu melibatkan imajinasi pada perempuan modern yang tinggal di
New York dan London seperti di film Bollywood. Ataupun kehidupan berkasta
rendah maupun perempuan yang diperistri dan tinggal di rumah mertua. Pandangan
ini banyak disajikan dalam drama seri India yang tayang di TV Indonesia.
Ketika Julia Robert menemukan cinta di Indonesia. [Photo: search by image] |
Hal
lain yang saya tangkap lebih jelas ketika berbicara tentang India adalah pola
hidup spiritual yang mereka anut. Bagian ini tampak menggambarkan sisi Pray,
dimana si Elizabeth mulai mendekatkan diri untuk lebih religius.
Bali
memang dikenal pula sebagai kota romantic. Itu pula penjabaran dari kata ‘Love’ dalam film ini. ketika mengunjungi
Bali, ia bertemu dengan seseorang yang membuatnya jatuh cinta. Hal yang paling
saya ingat dari Bali di film ini justru bukan bagaimana mereka bertemu pertama
kali. Saya lebih ingat ketika ia menamai durian sebagai ‘buah rasa kaus kaki.”
Memangnya dia sudah pernah
makan kaos kaki?
0 Komentar