“Aku
tidak akan menghabiskan uang segini banyak hanya untuk membeli barang branded. Mau semurah atau semahal apapun
barang yang kita pakai, semuanya tergantung tampang. Kalau tampangmu memang
menyedihkan, semahal apapun yang kau pakai tetap saja terlihat murahan. Kalau
kamu memang sudah terlihat elegan dari lahir, semurah apapun kamu pakai, kau
akan terlihat sangat brandy,” Ping
berbicara panjang lebar tentang pengaruh tampang terhadap pemilihan barang
kepada May.
Ia
berbicara dalam Bahasa Thai yang saya tidak mengerti sama sekali. Sesekali May
menimpali dengan kata, “Chai, chai”
yang berarti “Ya, ya” seolah membenarkan apa yang dijelaskan oleh Ping.
Bestie saya, Deny dan May. Hobi window shopping, tapi yang belanja cuma May. [Photo: Koleksi Pribadi] |
Ping
tidak terlalu mahir berbahasa Inggris. Kami juga tidak terlalu ahli dalam
berbahasa mandarin. Beruntungnya May berasal dari Thailand, sehingga keduanya
mampu berkomunikasi dengan Bahasa nasional sendiri. Meskipun saya sering
bersama mereka, terkadang saya mampu memahami Bahasa tubuh kemudian
menebak-nebak apa yang mereka bicarakan. Sulit untuk memahami ataupun belajar
Bahasa Thai yang memiliki lima nada. Semuanya terdengar sama.
Penjelasan
Ping dijelaskan kembali oleh May kepada saya. Ia menginterpretasikan kalimat
Ping yang mengalir dalam Bahasa Thai kepada saya dalam Bahasa Inggris. Saya
mendengarkan dengan mengangguk-anggukkan kepala. Menunjukkan level pemahaman
kepada Ping dan May.
Ping
hampir tidak pernah membeli barang branded,
kecuali jika ada harga banting gila sampai 70%. Ia akan gila sekali berbelanja
sampai harus meminjam uang kepada saya, May atau teman lainnya. Ia juga tidak
pernah membawa kartu ATM serta bersamanya. Uangnya selalu pas-pasan. Cukup
untuk makan, transport dan jajan. Ping juga membawa air dalam botol dari
asrama. Ia seorang vegetarian. Untuk makan siang atau malam, sepotong ubi rebus
atau jagung rebus cukup untuknya. Berbeda dengan kami yang harus mencari rumah
makan ramah perut di kota Beijing.
Setiap
bukan Ping menghabiskan uang tidak lebih dari 500 RMB untuk berbelanja pakaian,
aksesoris dan sepatu. Ia akan menyimpannya dan tidak langsung memakainya. Barang-barang
tersebut dia simpan dan dibawa pulang kampung. Di Thailand lah ia memakai atau
menjual semua barang yang dia beli di Xidan
Garment Market.
May
kebalikan dari Ping. Barangnya selalu branded
dan mahal. Tapi tidak ada yang tahu jika barang yang May pakai bukan
sembarangan. Seperti yang dijelaskan oleh Ping, tampang menentukan harga barang
yang kita pakai. Semahal apapun harga barang yang kita pakai, jika tampang
tidak mendukung, nilainya akan jatuh juga di mata orang yang melihat.
Dusto, brand lokal pencuri hati. Nggak mesti terkenal, yang penting bukan palsu. [Photo: Ulfa Khairina] |
Setiap
melakukan window shopping dengan May
dan Deny, hanya May yang mengakhiri sebuah toko mengantri ke meja kasir. Biasanya
saya dan Deny akan berdiri tidak jauh dari pintu keluar setelah berkeliling
sekitar lima kali di dalam toko. Setelah mendapatkan belanjaannya, May akan
menenteng paper bag dengan senyum
bahagia dan malu-malu sekaligus.
“I spent my money again. I hate you guys!” omelnya begitu menemui kami.
Saya
dan Deny akan tertawa ngakak dan menahan tawa hingga ke asrama. Ketika
berkumpul di kamar salah satu di antara kami berdua, gosip akan mengalir dari
bibir merah penuh dosa ini. Biasanya Deny yang memulai.
“May always end up to some things over us,” komentar Deny. “Dia juga selalu membeli
barang yang branded. Sebenarnya mau
semahal apapun dia berbelanja, tidak ada yang tahu jika barang dia mahal.
barang yang dia belimahal-mahal terlihat sama dengan barang yang kita beli di garment market atau xijie.”
Saya
tidak bisa menahan untuk berbagi apa yang dibahas Ping pada May suatu hari.
Deny tertawa ngakak hingga sakit perut. Kedua jempolnya teracung dan air
matanya mengalir tidak bisa menahan harunya. Ia membenarkan apa yang dikatakan
oleh Ping.
H&M, brand murah yang bisa kami jangkau ketika diskon. [Photo: Noun Pichsoudeny] |
Obrolan
dan kejadian itu sudah lumayan lama. Terjadi terakhir kali sekitar setahun yang
lalu. Tapi ketika saya menonton drama The
Legend of the Blue yang diperankan oleh Lee Min Ho, memori itu seperti terpanggil
kembali. Saya ingat kejadian itu sangat nyata.
Di
salah satu adegan pada episode lima, seorang nyonya muda dan pembantunya datang
ke salon. Sayangnya, di mata pramuniaga yang terlihat kaya adalah pembantunya
yang sudah menua. Baik ketika ia tidak menggendong anjing atau tidak
menggendong anjing. Si nyonya muda sangat marah, ia menyuruh pembantunya
membuang semua pakaian yang ia punya. Baik yang baru ataupun yang sudah
terpakai beberapa kali. Menurutnya ia salah membeli pakaian.
Secara
non verbal maupun verbal, bagian ini juga menjelaskan makna yang sama. Tidak
penting seberapa kayanya kita, jika tampang tidak mendukung sebagai orang yang
berkelas, pakaian mahal tidak ada artinya. Setiap orang memiliki bawaan tampang
yang berbeda-beda. Ada yang terlahir sebagai orang yang memiliki tampang
konglomerat, ada pula yang terlahir dengan tampang melarat.
Menurut survey, orang-orang
mengatakan saya memiliki tampang melarat. Kita masuk ke golongan mana ya?
Bagaimana dengan anda, reader?
0 Komentar