Sebuah kantor di ketinggian, menghadap danau, berudara sejuk,
dan tersedia buah segar fresh from the
tree setiap harinya. Dinding kantor dipenuhi dengan buku-buku dan majalah.
Tenang, jauh dari bising meskipun berada di tengah kota.
Itulah konsep kantor yang saya inginkan. Mungkin terlalu
berlebihan di telinga sebagian orang.
Saya pernah melihat kantor dengan konsep seperti ini ketika
kecil. Letaknya di lantai dua bagian dapur rumah abusyik (dalam Bahasa Aceh berarti kakek) di kota Takengon. Ya, itu
memang kantor almarhum abusyik saya.
Gambarannya persis seperti yang saya sebut di atas.
Bisa jadi seperti inilah yang paling saya inginkan. |
Ruangannya cukup luas. Dindingnya dipenuhi dengan berbagai
macam jenis buku. Dari buku yang umum didapatkan, langka sampai terlarang.
Untuk pertama kalinya saya melihat dan menyentuh injil perjanjian lama. Saya
menemukannya di rak paling tinggi di perpustakaan abusyik. Saya pernah membacanya meskiun tidak paham.
Tentu menjadi pertanyaan, kenapa benda itu ada di sana?
Abusyik saya seorang agamis. Ia
sering memberi ceramah ke sana kemari. Ia juga paham soal agama dan
perbandingan agama. Tentu saja koleksi seperti itu tidak aneh untuk seorang abusyik. Banyak orang-orang penting
datang ke rumah setiap hari. Sekedar berdiskusi dengan abusyik ataupun hanya bersilaturahmi. Abusyik meninggal ketika saya masih duduk di kelas satu tsanawiyah.
Penjabaran saya tentang abusyik
dalam memori yang sangat singkat
itu, abusyik seseorang sekelas Aa’
Gym. Mungkin begitulah cara saya memandang beliau.
Ada tiga jendela di kantor abusyik
(mungkin lebih tepat disebut perpustakaan). Satu sisi menghadap ke danau
laut tawar. Pemandangan ini versi dekatnya seperti pemandangan dari Puncak
Pantan Terong. Jarak danau ke rumah abusyik
hanya sekitar satu atau dua kilometer saja. Jendela satunya lagi di sebelah
kanan, menghadap bagian kandang ayam. Satu lagi di dekat tangga.
Meja belajar yang saya idam-idamkan. Baru terwujud ketika tinggal di asrama CUC. [Photo: Ulfa Khairina] |
Jendela utamamenghadap danau dilewati oleh pohon jambu klutuk
menjulang dengan buah besar-besar. tidak pernah habis sepanjang tahun. Dilewati
pula secabang jambu air yang buahnya merah asam buah. Kapan saja saya
mengunjungi abusyik yang sedang
membaca atau menulis di mesin tik-nya, saya akan mendapatkan sebuah jambu
klutuk itu.
Suasana di kantor abusyik
menyenangkan. Saya suka menghabiskan waktu di sana. Ikut membuka-buka buku
cerita anak-anak berbahasa Inggris, Belanda, Arab, ataupun dalam Bahasa
Indonesia dengan ejaan lama. Mungkin saja dari sinilah kegemaran saya menulis
dan membaca menular.
Konsep kantor tersebut terus terbawa hingga saya dewasa.
Hingga saya menikmati pekerjaan menulis sebagai coping stress atupun sumber lembaran merah di dompet saya. Namun,
hingga saat ini saya belum mempunyai kantor seperti milik abusyik. Kantor dengan konsep seperti kantor abusyik punya adalah impian saya.
Saya pernah berencana mewujudkannya sebelum menikah. Apalagi
rumah orang tua saya ada di Takengon. Kami punya kebun kopi yang memiliki
pemandangan menghadap danau Laut Tawar.
Perpustakaan di CUC yang nyaman. Salah satu pustaka yang pernah hadir dalam mimpi saya. |
Di tahun kedua kuliah di China, saya mempunyai sedikit
tabungan. Sudah saya pikirkan berapa uang yang saya butuhkan untuk membuat
sebuah kamar baru di lantai dua. Sudah terbayang konsep kamar perpustakaan dan
kantor sekaligus. Meskipun pemandangannya tidak sesempurna kantor abusyik, setidaknya saya bisa bekerja
dengan tenang di sana.
Rencana ini buyar setelah saya berdiskusi dengan mamak. Saya
lupa sesuatu yang paling penting dari semua rencana tersebut.
“Rumah kita kan papan. Kalau mau ditambah bagian atasnya,
semuanya juga harus dirombak. Untuk membangun lantai dua, harus kokoh dulu
bagian rumah bagian bawahnya. Kalaupun tidak dibangun permanen, haruslah rumah
papan yang kokoh. Apalagi di atas akan dibangun perpustakaan. Sebaiknya memang
beton. Kita tidak punya dana untuk merenovasi bagian dapur menjadi beton. Bisa
juga kayu, tetapi rumah kita ini bukan kayu baru. sudah bertahun-tahun usia
kayu ini. bisa ambruk gubuk sederhana kita ini.” ungkap mamak menjelaskan.
Awal-awal rencana saya buyar, masih ada komitmen untuk
melanjutkan impian ini, membat kantor menghadap laut. Saya mulai menabung lagi
untuk mewujudkan kantor seperti milik abusyik.
Namun seiiring waktu, biaya hidup di kota besar meningkat, kebutuhan pun tidak
terkendali.
Kantor darurat ketika masih kuliah di CUC. Laptop ini pinjaman. Karena itu saya batal membangun 'kantor'. Persiapan untuk membeli laptop baru. [Photo: Ulfa Khairina] |
Saya butuh laptop baru, hardisk eksternal, kamera
professional, tiket pesawat ulang pergi, biaya penelitian, transportasi lokal,
dan lain-lain. Perlahan-lahan tabunganitu terkuras selembar demi selembar.
Setiap pengambilan di atas 1000 yuan (sekitar 2 juta rupiah). Ketika saya
sadari, tabungan saya hanya cukup untuk penyetaraan ijazah dan tiket pulang. Serta
sebuah gaun nikah.
Bagaimana pun, mimpi itu
masih ada, mimpi untuk memiliki sebuah kantor yang menghadap danau. Kalaupun bukan
danau, setidaknya menghadap pemandangan alam yang indah.
0 Komentar