Musim duren dan rambutan di Indonesia bukanlah hal yang
terlalu istimewa. Akhir tahun, pasti banyak mobil yang terparkir di pinggir
jalan secara illegal. Tumpukan ikatan
buah durian atau durian berwarna menghiasi lokasi tidak biasa. Apalagi aroma
durian yang menguar seantero kampung.
Jika sebuah durian saja dibawa masuk ke rumah, esoknya aroma
rumah sudah berubah drastis. Bau durian.
Sebagai orang Indonesia, saya cukup bangga memperkenalkan buah
durian sebagai buah asli Indonesia. Bahkan dengan lantang saya akan berkata,
“Duri is thorn. Durian is thorny. This is our language.”
Meskipun banyak yang mengangguk-angguk palsu, setidaknya saya
merasa sudah mencuci otak mereka tentang buah durian dan asal usulnya. Di
Thailand, buah durian ini sudah dikembangkan dengan berbagai cara.
Apapun ceritanya, "Durian Indonesia tetap lebih baik!" [Photo: Ulfa Khairina] |
Durian terbaik Thailand tidak dijual di negara asalnya. Mereka
mengekspor ke luar negeri. Tiongkok adalah salah satu negara yang mendapat
imporan durian terbaik dari Thailand.
“Tahu nggak?! Sudah tiga tahun di China, aku baru makan durian
terbaik dari Thailand di sini. Itu juga karena aku ikut tim peneliti kerajaan
Thailand dan study banding ke China
Agriculture University. The taste is very good. Very different with other durian
all over Thai.” Cerita Adi tentang pengalamannya memakan durian terbaik.
Meskipun sudah tiga tahun di Beijing, saya juga tidak pernah
makan durian di sana. Saya punya satu kelemahan ketika makan durian. Panas
badan saya akan naik. Jika makan terlalu banyak bisa mengalami drop dan mimisan. Seringnya langsung
sakit. Itu salah satu alasan kenapa saya tidak mau makan durian di Beijing.
Suatu hari di awal musim dingin, saya dan bersama seorang
perempuan asal Thailand pergi berbelanja ke pasar. Sepanjang jalan buah durian
dijual. Tentunya tidak semeriah musim durian di Indonesia.
Teman saya berkata, “Ini durian dari Thailand. Orang China
suka mengimpor buah-buahan dari Thailand. Karena rasanya enak dan kualitasnya
bagus.”
Menurut saya dan diperkuat oleh Adi, alasan Tiongkok mengimpor
buah-buah tropis dari Thailand karena lebih dekat. Bukan saja karena bagus.
Kalau soal bagus, itu soal harga dan siapa yang akan membeli. Tepatnya memang
karena lebih dekat secara geografis dibandingkan dengan Indonesia.
Sudah lama saya tidak makan durian. Apalagi baru awal bulan,
saya baru menerima beasiswa. Keinginan untuk mencicipi durian Thailand di
Tiongkok pun menggoda. Saya menawar pada si penjual.
Akhirnya saya dapat satu bilah dengan harga termurah, 20 yuan.
Saking semangatnya saya membawa pulang. Niat saya membuat ketan durian
menggoda. Tapi setelah melihat isinya saya urungkan dan buang jauh-jauh niat
tersebut.
Durian yang saya bawa ke rumah hanya kulitnya saja. Di dalamnya
menyelip sebiji anak dengan daging tipis dan mulai kecoklatan. Saking inginnya
makan durian itu, saya paksakan untuk makan. Rasanya hambar. Seratnya banyak.
Beda sekali dengan durian Indonesia yang selama ini saya makan. Khususnya
durian di Aceh.
Saya kecewa tingkat dewa. Teman saya hanya tertawa dan menatap
kasihan. Esoknya kami kembali ke si penjual dan dia marah pada penjual. Dia
bertanya,”Hei laoban, kenapa menjual kulit
durian kepada dia?”
Si laoban berkata,
itu bukan kesalahannya. Sebagai bentuk maafnya, dia mengurangi belanjaan saya
sebanyak 2 yuan.
Pada awal musim panas, ketika berjalan-jalan di pasar San Yuan
Li, saya melihat durian dan tidak ingin membelinya. Apalagi harga yang disebut
oleh penjual sangat fantastis. Tapi buah rambutan yang terpajang di gantungan
sangat menggoda.
Satu ikat berisi lima buah dengan harga 25 yuan. Artinya 1
buah rambutan seharga 5 yuan. Teman saya mengingatkan, “Jangan beli. Sebentar
lagi kita akan kembali ke tanah air. Makanlah sepuasnya di sana.”
“Saya ngidam” kata saya padanya.
Saya membeli rambutan itu. Si laoban malah memberi bonus
tiga butir anggur merah bulat yang manis untuk saya cicipi. Di Tiongkok,
penjual sangat pelit untuk memberi calon pembeli mencicipi buah yang dijual.
Memilih buah yang akan kita beli saja tidak bisa, apalagi sampai menicipi.
Saya tidak tahu kenapa laoban
(bos, penjual) ini merelakan tiga butir anggur untuk saya. Entah pun karena
dia sudah tahu apa yang terjadi, ataupun dia memang berniat hendak bersedekah.
Ketika tiba di asrama, tragedi durian di awal musim semi
terjadi lagi. Rambutan yang besar-besar, merah-merah isinya hanya selapis
daging. Tidak tebal. Tipis sekali. hanya anaknya yang besar. rasanya asam dan
lengket. Tidak sama dengan rambutan Indonesia. Totally different.
Saya merasa seperti membeli
lima biji rambutan berbungkus kulit merah seharga Rp 50 ribu. Sejak hari itu,
saya menanamkan di hati untuk makan buah yang sedikit mahal di Indonesia ketika
berada di Beijing. Seperti buah naga, anggur hijau, apel, persik, apricot, cherry,
leci. Bukan makan papaya, manga, nenas, jeruk, apalagi duren dan rambutan.
Sudah mahal, kecewa pula.
0 Komentar